Part 18
Sejak semalam Sintya gelisah. Perasaannya tak menentu. Keputusan bulat yang tidak dapat diganggu gugat sudah ia ambil. Tiket Merpati sudah di tangan. Penerbangan di pulau Kalabahi yang hanya sehari sekali itu hanya bisa menggunakan pesawat kecil. Esok ia sudah harus berangkat ke Kupang lantas melanjutkan penerbangan ke Surabaya lalu meneruskan perjalanan ke kota Malang, tempatnya menuntut ilmu beberapa tahun lalu.
Sintya mengutak-ngatik file di laptop milik Jonan yang memang selalu disimpan di rumah Sintya sejak mereka memutuskan menikah beberapa waktu lalu. Sintya sempat menulis beberapa cerita pendek di sana.
Tiba-tiba matanya tertuju pada satu folder--yang tadinya di-hidden. Memory of Baranusa. Begitulah nama folder itu. Hati Sintya berdebar. Firasatnya sudah tidak enak. Tapi jemari menuntunnya untuk meng-klik folder itu.
Mata Sintya berair. Namun perasaannya tiba-tiba lega. Folder itu membuka lagi kisah Jonan dan Selena jauh sebelum ia hadir. Foto-foto mesra di pinggir pantai. Di tengah laut. Di kaki gunung. Di atas ranjang. Bukan itu saja, video yang terputar semakin jelas berkisah bahwa memang Jonan dan Selena adalah sepasang kekasih yang tak pernah bisa dipisahkan. Selena tak berbohong bagaimana Jonan begitu mencintainya dan begitu pun sebaliknya.
Sintya merasa plong di dada. Tak salah keputusannya untuk pergi. Ia menutup laptop setelah memindahkan filenya ke flashdisk dan menyimpannya dalam tas. Laptop itu akan ia titipkan pada papanya untuk dikembalikan pada Jonan.
Aku benar-benar akan melupakan semua tentangmu. Bahwa rasa yang tersimpan di hatiku adalah sebuah kebohongan. Aku tak pernah menyayangimu. Bahkan aku tak pernah mengizinkan cinta hadir di hatiku. Aku pergi.
***
Satu bulan setelahnya ...
"Ish, ish, ish ... pagi-pagi si Asmirandah udah cantik aja. Mau ke mana, Mbak?" tanya Leli, penghuni kosan tepat di depan kamarnya Sintya.
"Asmirandah apaan. Doain ya. Hari ini aku mau interview. Udah cukup hibernasinya. Perut perlu diisi. Sedang dompet udah kembang kempis," ujar Sintya seraya mematut wajahnya di cermin. Merapikan riasan dan menyisir rambutnya untuk kesekian kali.
"Halah, guayaaamu, Mbak. Ben wulan sek ditransferin ortu wae lohh...," goda Leli lagi dengan logat Malangnya yang kental.
Sintya tertawa. "Ya lain dong rasanya. Makan dari keringat sendiri itu lebih nikmat."
Sudah satu bulan ini Sintya memilih ngekos. Ia ingin kembali dekat dengan suasana masa kuliahnya. Sintya diberikan tempat tinggal oleh orangtuanya, hanya saja Sintya menolak dengan halus. Ia benar-benar ingin mandiri.
"Interview di mana, Mbak?"
"Itu loh, pembenihan bibit hibrida."
Leli mengernyitkan keningnya. "Apaan tuh? Mbak mau jadi petani?"
"Ih, bukan. Aku melamar jadi sekretaris," Sintya tersenyum.
Ia lalu pamit dan kembali meminta doa agar dimudahkan. Perusahaan yang akan ia datangi bukanlah perusahaan main-main. Perusahaan asing yang sangat berkompeten ini kebetulan membuka lowongan sekretaris administrasi untuk beberapa wilayah cakupannya. Perusahaan pembenihan hibrida ini salah satu yang terbaik di Indonesia.
"Mbak naik apa? Emang sudah tahu tempatnya?"
Sintya menggeleng. "Angkutan umum adalah pilihan terbaik. Taksi belum ada kan?"
"Di mana emang?"
"Bululawang."
"Buseeet. Jauh amat. Interview jam berapa?"
"Sepuluh."
"Ya ampun, Mbak. Ini sudah jam sembilan. Gak akan cukup sejam naik angkutan umum." Leli melirik jam tangannya.
"Ah, masa?"
"Ih si Mbak. Serius ini. Bentar, tak mintain tolong temen ya. Tunggu."
Leli keluar. Tak lama kemudian ia kembali.
"Mbak Sintya, cepetan. Itu bala bantuan datang."
Sintya buru-buru keluar kamar.
"Nih, Mas, titip Mbak Sintya ya. Sebelum jam sepuluh udah harus sampai. Ngebut gak apa-apa. Asal jangan bikin dandanan mbak Sintya amburadul. Dia harus interview."
Sintya terhenyak melihat sosok di hadapannya. Ia seperti dejavu.
"Kenalan dulu deh. Saya Dani." Pria tinggi berlesung pipi itu mengulurkan tangannya. Sintya bergeming.
"Udah buruan. Kenalannya nanti di jalan aja," ujar Leli. "Sukses ya, Mbak," lanjutnya lagi.
Tanpa menunggu lama, Sintya mengikuti Dani. Pria yang mengenakan sweter biru laut itu tampak sempurna di mata Sintya. Ia merasa pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya. Tapi entah di mana.
"Pake ini, ya," ujar Dani seraya memakaika helm hitam ke kepalanya.
Sintya sempat kebingungan melihat kendaraan yang dibawa Dani. Bagaimana bisa ia duduk dengan nyaman di jok yang agak tinggi itu sementara ia mengenakan rok mini?
Tak perlu lama dalam kebingungan, Leli keluar sambil membawa kain pantai. "Nih, pake. Biar gak ke mana-mana tuh paha," candanya.
"Makasih ya, Lel. You are the best."
"Pahanya tak jaga, Lel. Gak bakal diambil orang," goda Dani. "Ayo, buruan. Waktu terus berjalan."
Sintya segera naik ke boncengan. Dani pun melajukan motornya dengan kekuatan super tapi tetap waspada selama perjalanan.
Tak ada satu jam, Sintya tiba di sebuah kawasan pabrik yang letaknya agak masuk ke pedesaan. Setelah melapor pada security, Sintya masuk ke tempat interview.
Ia belum terlalu terlambat. Meski jam sudah lewat dari jam sepuluh, si penginterview tampaknya juga belum terlihat. Sintya menunggu di ruangan sambil memainkan ponselnya.
Dibuka kotak pesan yang penuh dengan pesan-pesan dari Jonan. Tak ada satu pun pesan yang ia balas. Matanya terbelalak ketika membaca sebuah pesan yang baru saja ia terima. Tentu saja dari Jonan.
"Aku akan meninggalkan Kalabahi. Aku tahu kamu di mana. Aku akan menyusulmu, secepatnya. Aku tak lagi ingin menjadi PNS. Kukorbankan profesi apotekerku demi dirimu. Aku akan segera menemuimu. Tunggu aku."
Sintya menelan ludahnya. Tiba-tiba ia merasa ketakutan. Melebihi rasa takutnya akan interview hari ini.
"Pagi. Sudah lama menunggu?"
Suara itu mengejutkan Sintya. Ia segera bangkit berdiri dan menyalami pria yang baru saja muncul.
"Tidak, Pak. Ini baru sepuluh menit," senyumnya.
"Saya Purwa. Silakan duduk."
Sintya juga memperkenalkan diri dan bersiap mengikuti tes tertulisnya. Selang beberapa menit, ia melakukan wawancara.
"Kamu yakin mau bekerja di sini? Ini akan ditempatkan di desa, loh. Kamu bahkan tak menemukan mal di sini."
"Iya, Pak. Saya memang ingin menjauh dari hiruk pikuk perkotaan. Lagi pula sesungguhnya saya sangat menyukai suasananya yang damai."
"Tapi di sini kamu gak bisa dandan. Gak bisa nonton. Gak bisa pesen pizza dan juga kentucky."
"Semua itu gak penting. Saya gak suka dandan."
Pak Purwa yang berkulit putih dan ramah senyum kembali meyakinkan. "Serius ya. Begini, apa kamu bersedia ditempatkan di mess selama hari kerja?"
"Di mess?"
"Ya, kamu akan bekerja di team saya yang akan memegang wilayah barat. Basecamp kita di Kediri. Bila kamu bersedia, saya akan memberikan kuasa padamu untuk mengelola basecamp dan seisinya."
"Maksud Bapak?"
"Saya kebetulan akan menjadi atasanmu langsung. Bila kamu menyanggupi kerja di sawah, maka selamat bergabung. Mulai Senin kamu sudah bisa bekerja. Kamu akan jadi sekretaris saya. Heeem, juga merangkap administrator untuk wilayah barat," ujar Pak Purwa.
Sintya menyanggupi. Barangkali ia bisa kembali menjauh dari jangkauan Jonan. Kediri adalah tempat tujuannya.
"Baiklah. Selamat bergabung."
Pak Purwa mempersilakan Sintya untuk keluar.
Sintya berjalan cepat menuju parkiran. Dari kejauhan Sintya melihat Dani yang asyik bermain ponselnya.
"Eh, sudah lama menunggu?"
"Tidak. Ini termasuk cepet loh. Gimana? Diterima?"
"Iya. Yuk pulang. Aku lapar."
"Cerita dulu dong kalau diinterview itu ngapain aja," tanya Dani.
"Tadi sih cuma disuruh masak."
"Masak? Kamu melamar jadi koki?"
"Ihh, mau tahu banget deh." Santy tertawa. "Udah ah, ayo jalan."
Dani mengiyakan. Setelah memakaikan helm, Sintya segera duduk di jok.
Suara ponsel membuat obrolannya selesai.
"Nita?"
"Ya, kakak. Apa kabar o?"
"Kabar baik alhamdulillah. Ada kabar apa ini kok tumben..."
"Itu kakak... Mas Jo pergi hari ini menyusulmu. Tadi pagi sudah berangkat."
Tiba-tiba saja jantung Sintya seakan mau lepas dari tempatnya.
"Dia datang."
"Siapa?" Dani bertanya.
Sintya menggumam, "Bukan siapa-siapa."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro