Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17

Sintya diam seribu bahasa ketika berpapasan dengan Selena di koridor rumah sakit. Sedang Selena tanpa perasaan bersalah menampilkan senyum manisnya -- lebih tepat senyum ejeknya.

"Oh ya, Sintya," ujar Selena dan seketika berbalik badan, "kemarin itu mamamu menemuiku. Ah, tolong katakan padanya, segalanya akan baik-baik saja. Sampaikan permintaan maaf saya. Maaf karena saya tidak bisa memenuhi permintaannya. Saya akan tetap ada di sisi Jo. Dan kamu, pasti tahu apa yang akan kamu lakukan, bukan?" tantang Selena.

Sintya mengembuskan napas perlahan. Ia sudah memikirkan ini sebelumnya. Apalagi peristiwa kemarin begitu membekas di benaknya.

"Baik, dokter Selena. Saya sadar betul bahwa saya memang tidak berjodoh dengan Mas Jo. Jangan khawatir. Saya tetap akan membatalkan pernikahan ini. Tentang bagaimana keadaan Mas Jo, sepertinya dokter lebih tahu. Mas Jo akan baik-baik saja walau mata kanannya terluka. Yang lebih penting dari itu semua, saya tidak memaksakan diri untuk ada di sisi Mas Jo. Saya akan pergi."

Dokter Selena tersenyum. "Baguslah bila kamu mengerti."

"Permisi, saya ingin menemui Mas Jonan terlebih dahulu. Saya tidak akan lama," pamit Sintya.

Dokter Selena mempersilakan Sintya untuk masuk ke ruang perawatan Jonan. Ia pun meninggalkan wanita itu.

Sintya berjalan perlahan menuju tempat pembaringan Jonan. Pria itu masih tertidur. Ia tak ingin membangunkannya. Dibenarkannya selimut yang terjatuh di ujung brankar.

Gerakan lembutnya ternyata membangunkan Jonan.

"Siapa? Sus?"

"Aku, Mas ... Maaf sudah mengganggumu."

"Sintya? Sintya! ... Sudah lama?"

Sintya mendekat dan menggenggam jemari Jonan. "Baru saja. Tidurlah lagi ...," ucap Sintya melarang Jonan yang ingin mengambil posisi duduk.

"Tidak, aku ingin berbicara denganmu. Sayang, maafkan aku ..."

"Ssst, sudah tidak ada yang perlu dimaafkan. Istirahatlah. Biar lekas pulih. Banyak yang menunggu Mas."

"Termasuk kamu?"

Sintya bergeming.

"Sin?"

"Eh, iya. Mas ... lusa keberangkatanku. Maaf, ini keputusanku. Aku harus pergi. Segalanya telah usai." Sintya mengucapkannya dengan tenang.

Jonan tersentak. Ia mengeratkan genggaman tangan Sintya.

"Apa katamu? Keberangkatan?"

"Ya, aku akan kembali ke pulau Jawa. Hidupku bukan di sini. Ini bukan tempatku."

"Tempatmu di hatiku, Sin."

Sintya menggeleng. Ia menahan sesak di dadanya. Ia telah membohongi diri sendiri. Ia menatap wajah Jonan yang tak dapat melihatnya. Ia punya rasa sayang. Ia bahkan sudah memupuknya menjadi cinta. Tapi ia harus pergi. Ia tak ingin bara mengubah cintanya jadi benci teramat sangat. Benci terhadap dirinya sendiri. Karena begitu bodohnya dibodohi oleh lelaki.

"Pernikahan kita? Orangtua kita?"

Sintya menelan ludah. Percakapan panjang semalam dengan orangtuanya kembali menayang di benak.

Papa dan mamanya masih menyimpan rasa tidak percaya atas pengakuan Sintya. Namun keadaan rumah bisa sedikit memberikan gambaran seperti apa kejadian yang dialami putri semata wayangnya. Jonan taklah sebaik yang mereka pikirkan.

"Jika memang keputusanmu sudah bulat, Papa mengerti. Bila kamu ingin kembali ke Jawa, Papa izinkan. Pernikahanmu, Papa akan memberitahukan orang tua Jonan kenyataan yang memalukan ini. Jonan kembali dengan kekasihnya, itu alasan yang masuk akal."

Mamanya Sintya tak merespons sedikit pun. Ia masih belum menerima keputusan Sintya. Wanita paruh baya itu sangat syok. Ia menyukai calon menantunya itu. Dalam hatinya ia masih ingin menyatukan putrinya dengan Jonan. Selain rasa suka terhadap calon menantunya itu, ia juga sangat mengharapkan berbesanan dengan keluarga Widyodanu. Keluarga terpandang yang memiliki rumah sakit swasta terbesar di Indonesia. Ia sungguh akan menanggung malu bila sampai pernikahan ini gagal.

"Ma  ... Sintya butuh restu Mama untuk melangkah. Sintya tak bisa hidup bersama mas Jonan. Sintya akan menderita, Ma."

"Sintya, Mama tak habis pikir..."

"Mama cukup melihat hari ini, Ma. Sintya hampir mati karena dia. Cepat atau lambat Sintya akan tamat bila terus bersama Mas Jonan."

"Dia mencintaimu, Nak."

"Dia mencintai dirinya sendiri, Ma. Bukan Sintya."

"Sudahlah, Ma ..." Sang papa melerai.
"Biarkan Sintya melangkah," lanjutnya lagi. "Kita berdua telah salah mengatur masa depannya. Kita berdua hampir saja membunuh putri kita sendiri. Papa takkan memaafkan diri Papa andaikata Sintya hidup tak bahagia."

Sintya terharu. Dipeluknya erat sang papa. Andai saja ketika ia masih bersama Vandi sang papa bertindak bijaksana seperti sekarang ini, tentu ia dan Vandi bisa hidup bahagia berdua selamanya.

"Sintya?"

Sintya tersentak dari lamunan. "Eh iya, Mas Jo."

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Tidak ada," gelengnya. "Aku hanya ... oh ya, pernikahan kita tidak akan terjadi. Orangtua Mas sudah dihubungi papa."

Jonan menelan ludah. Sebenarnya ia sudah tahu masalah ini. Sebelum Sintya menemuinya, orangtuanya menelepon. Tentu saja segala amarah tumpah ruah dari orang tua terhadap anaknya. Jonan menerimanya dengan pasrah. Namun emosinya memuncak ketika orangtuanya meminta Jonan untuk menyudahi segalanya dengan Sintya. Hal itu tak dapat ia terima. Sintya adalah cinta satu-satunya yang bertahta dalam hatinya.

"Kamu tak boleh pergi, Sintya. Atau aku akan mengejarmu sampai ke mana pun kamu pergi!"

Sintya mengangkat wajahnya.
"Itu takkan terjadi, Mas. Jangan membuatku tambah menderita," desisnya.

"I will, Sintya."

Sintya melepaskan genggaman tangannya. Ia berjalan mundur.

"Aku pamit, Mas. Selamat tinggal."
Sintya berbalik dan membuka pintu lalu meninggalkan Jonan seorang diri.

"Aku akan mengejarmu. Sampai ke ujung bumi sekalipun," tekadnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro