Part 16
Sintya meronta-ronta saat tubuh Jonan semakin menekannya. Tak henti Jonan menciumi leher, dada dan sekujur perut Sintya yang lembut dan basah karena keringat.
"Mas, tak perlu Mas lakukan ini semua, kumohon berhentilah. Berhenti, Mas Jonaaaa."
"Aku takkan berhenti, Sintya. Tidak bila kamu tetap ngotot untuk membatalkan pernikahan kita. Kita sudah terlalu jauh. Kita tak bisa mundur..." Jonan berhenti sesaat. Ia kembali menikmati tubuh Sintya yang gemetaran. Tubuh yang indah. Ia bahkan sempat-sempatnya membandingkan tubuh mungil di hadapannya dengan tubuh Selena. Sintya jauh lebih menarik.
"Berhentilah. Aku takkan mengadu. Biarkan aku," pinta Sintya.
Jonan tak peduli. Nafsu sudah menguasai akal pikirannya.
"Mas bilang sayang dan cinta sama aku, tapi tak begini caranya. Aku benci Mas. Benci ... aahh ... aahh, Mas Jo," isak bercampur desah lolos dari mulutnya saat lidah Jonan menelusup jauh di bawah perutnya.
Kakinya menendang-nendang. "Aah, Mas Jo, aaah, kumohon ..."
Tangan Sintya semakin erat digenggam Jonan. Ia menguncinya dengan lengannya yang atletis. Sintya tak berkutik. Ia kehabisan napas karena tindihan Jonan dan tentu saja ia kehabisan daya karena berteriak, menangis dan meronta-ronta.
Jonan melonggar. Ia memberikan ruang untuk Sintya sedikit bergerak. Mengangkat tubuh Sintya semakin naik ke sofa. Kesempatan itu membuat Sintya bertindak cepat. Ia berguling ke lantai. Ia merayap ke arah pecahan gelas yang belum sempat dibersihkan. Tiba-tiba kaki kirinya ditarik oleh Jonan.
"Tuhaaaan, jangan Mas Jo. Tolong aku. TOLOOONG!"
Ujung jemarinya meraih-raih pecahan beling.
Tubuh Sintya dibalik paksa. Kini ia dan Jonan saling bertatap.
"Mas! Ini bukan kamu yang kukenal. Jangan membuat aku semakin membencimu. Mas Jonan sadarlaaah! Kamu menyakitiku!"
Jonan berjongkok. Menarik kedua kaki Sintya dan menjangkaunya lebih dekat.
"Aku hanya ingin ini ... kamu milikku, Sintya."
"Aaaaaaaaah," pekik Sintya membahana.
Sintya melihat darah. DARAH.
Jonan merintih. Kedua tangannya menyentuh mata.
"Maafkan aku, Mas. Maafkan aku ..." Sintya beringsut.
Jonan berdiri. Ia masih merintih.
"Mataku."
Sintya mengambil jubah handuk yang tergeletak di lantai dan mengenakannya asal.
"Mas, Mas Jonan."
Sintya ketakutan. Yang ia ingat tadi dengan refleksnya ia mengayunkan tangannya yang menggenggam beling dan menggoreskannya ke wajah Jonan. Ia tak menduga bila tindakannya justru mengenai kedua mata Jonan.
"Aku akan menolongmu, Mas. Tunggu sebentar."
Sintya mengambil kapas dan rivanol dari kotak P3k.
"Maafkan aku, Mas," ucap Sintya merasa bersalah.
Jonan mengaduh.
Sintya mengambil baju Jonan yang berserakan.
"Pakailah dulu. Aku harus membawamu ke rumah sakit."
Sintya tahu pria di hadapannya ini adalah lelaki brengsek yang tak perlu dikasihani. Tapi rasa sayang yang masih tersimpan di hatinya, yang tumbuh baru-baru saja, tak bisa membuatnya meninggalkan Jonan begitu saja. Ya, Sintya menyadari, jauh di lubuk hatinya, ia sesungguhnya telah berhasil mencintai Jonan. Mengingat itu, hati Sintya kembali tergores.
Betapa hancur hatinya saat menyadari ia mencintai pria yang begitu teganya menyakiti dan mengecewakan teramat dalam.
"Sintya ..." Jonan seperti tersadarkan oleh sesuatu.
"Sudah jangan banyak bicara. Ada beling menancap di mata Mas. Aku tak berani mengambilnya. Kita akan ke rumah sakit."
Sintya membantu Jonan berpakaian.
"Maafkan aku, Sintya. Aku hanya tak ingin kehilanganmu. Aku hanya ingin memilikimu. Aku bodoh karena melakukan ini semua." Jonan terisak.
Sintya tak bisa berkata-kata.
Ia hanya memberikan sebuah pelukan untuk Jonan. Ia tak tahu aoa yang ia lakukan ini salah atau tidak. Itu ia lakukan untuk menutupi kecemasan diri dan rasa bersalahnya.
Bagaimana bila Jonan tak bisa melihat karena perlakuannya tadi?
*bersambung, tentu saja.
Catatan Singkat, Jelas dan Padat.
Ada yang bertanya-tanya ...
Kenapa sih partnya imut alias pendek-pendek? Hehehe. Harap maklum. Cerita ini sebenarnya mulai kutulis sejak tahun lalu. Tapi gak kelar-kelar. Belakangan aku rindu menulis. Karena iri banget sama naskah-naskah yang masuk ke Lovrinz. Kok para author produktif banget nulis? Kenapa aku enggak? Ya karena kerjaanku adalah memegang naskah orang lain, jadi naskah sendiri gak kepegang *ini mah alasan banget hahahahaha.
Jadi kenapa ini pendek-pendek, karena akunya ngetik ini di saat lagi nyusuin si bungsu, atau lagi rebahan di kasur.
Mengenai kisah Sin, cerita ini sebenarnya dilatari dari beberapa pengalaman kecil saat tinggal di Kalabahi, Alor, di tahun 2006-2007. Saat itu aku bekerja di sebuah apotik dan klinik bersama. Beberapa kisah di dalam Sin, terinspirasi dari kisah yang pernah kujalani dulu. Meski sebagian besar adalah murni imajinasi dan banyak drama di dalamnya, sedikit banyak Sin membuatku terkenang masa lalu. Hehehe.
Terima kasih buat apoteker yang menjadi kekasihku. Terima kasih sudah menjadi inspirasi untuk Sin.
Terima kasih untuk Yanti dan Nita.
Juga terima kasih dokter A.D.
Maaf bila kalian kujadikan tokoh di SIN.
I lop u puulll.
Muach.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro