Part 15
Jonan mondar-mandir di apotik klinik. Pikirannya tak tenang. Kejadian kemarin mau tak mau jadi omongan sekitar. Ia tahu kini telah jadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, kedatangan Selena kembali ke tempat ini saja sudah jadi pembicaraan orang. Jonan sudah mewanti-wanti para asistennya. Bahwa kedekatannya dengan Selena dahulu adalah masa lalu yang tak perlu diketahui Sintya. Tapi nyatanya semua jadi berantakan karena sikapnya yang selalu saja kalah oleh nafsu. Terlebih, Selena memang seksi dan tahu sekali bagaimana menjerat laki-laki seperti Jonan. Bukankah kepergian Selena tempo hari tanpa pamit dikarenakan seorang pria lain? Tanpa rasa bersalah kini ia kembali, entah dengan tujuan apa. Yang pasti ia berhasil memorakporandakan pikiran Jonan.
"Yanti, coba kamu telpon Sintya. Tanya keadaannya bagaimana," pinta Jonan pada Yanti, asistennya.
"Ho, tunggu sebentar." Yanti menghentikam aktivitasnya stok opname lalu mengambil ponselnya dan menghubungi Sintya.
Beberapa kali dicoba tidak ada sambungan ke nomor ponselnya. Yanti mengangkat pundak tanda tak tahu lagi harus bagaimana.
"Coba telepon ke telepon rumahnya saja."
Yanti menurut.
Nada sambung berbunyi. Yanti mengangkat jempolnya.
Tak lama kemudian terdengar suara seorang wanita.
"Halo, Mbak Sin? Ini Yanti."
"Halo, ya ... ada apa, Yanti?" Nada suara Sintya terdengar malas.
"Tak ada, cuma tanya kabar aja nih. Kapan Mbak masuk kerja lagi o?"
"Sepertinya saya akan resign, Yanti."
"Loh, kenapa?"
"Saya ingin kembali ke Jawa. Semoga saja nanti dapat pekerjaan yang lebih baik."
"Ho, begitu e? Oh ya, Mbak baik-baik saja ko?"
"Baik, Yanti. Jangan khawatirkan keadaan di sini. Semua baik-baik saja."
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, Yanti mengakhiri percakapan.
"Mas Jo, sepertinya Mbak Sintya sendiri saja di rumah. Katanya orang tuanya sedang di luar. Tadi Mbak Sintya minta tolong sama saya istirahat nanti belikan es kelapa yang ada di depan apotik tu e. Nanti biar sa yang pi pergi ke sana. Sa izin ke rumah Mbak Sintya ya."
Jonan tampak memikirkan sesuatu. "Hem, tidak usah. Biar saya yang ke sana. Ini belum jam praktik, jadi tidak ada acara racik meracik resep. Kamu jaga apotik baik-baik ya," kata Jonan sambil tersenyum. Ia lalu beranjak pergi. Membeli es kelapa dan melaju ke rumah Sintya.
***
Bel dipencet berulang-ulang. Pintu tak kunjung dibuka. Jonan mengetuk sisi jendela kamar Sintya yang letaknya di depan. Tak ada respons.
Kediaman Sintya memang sepi. Di rumah ini hanya ada 3 orang. Sintya dan kedua orangtuanya. Keluarga Sintya memang tidak pernah memakai asisten rumah tangga.
Jonan kembali memencet bel. Nihil. Lalu diberanikannya membuka pintu teras. Rupanya pintu tak terkunci. Jonan dengan leluasa masuk.
"Sin?" Jonan memanggil Sintya. Tetap tidak ada respons.
Dari samping terdengar suara guyuran air. Jonan tentu saja berpikir bahwa itu adalah Sintya yang berada di kamar mandi. Jonan memutuskan menunggu di ruang keluarga.
Sintya keluar hanya mengenakan jubah mandi. Ia menggosok-gosokkan rambut basahnya dengan handuk sambil berjalan ke arah dapur. Tangannya memegang gelas kosong.
"Sin ..."
"Astaga!" Gelas di tangan kirinya terjatuh dan pecah. Sintya memundurkan langkah begitu menyadari pria yang sedang berdiri menatapnya itu adalah Jonan, lelaki yang paling tidak ingin dilihatnya saat ini.
"Maaf aku mengagetkanmu, Sintya. Aku ... aku benar-benar tidak tahan untuk tidak menemuimu." Jonan mendekat.
"Mau apa ke sini, Mas?" tanya Sintya yang masih gemetaran. Ia semakin mundur hingga tubuhnya tertempel di dinding.
"Aku ... membawakan ini ..." Tangan Jonan mengangkat bungkusan. "Es kelapa muda," jelasnya lagi.
Jonan bermaksud menyerahkan bungkusan itu pada Sintya.
"Aww." Jonan nyaris melupakan pecahan gelas yang berserakan. Kakinya terkena pecahan yang cukup besar.
"Mas? Gak papa?" Sintya melunak. Ia hendak mendekati Jonan.
"Gak papa. Tak terlalu dalam," ujar Jonan seraya membungkuk dan mencabut beling yang tertancap di kakinya.
"Sebentar, aku ambilkan betadin." Sintya bergegas ke sisi kanan dapur, tempat kotak P3K yang memang dipasang di sana.
Sintya kembali dengan membawa obat-obatan. Sementara Jonan sudah terduduk di sofa.
Sintya membersihkan darah yang berceceran.
"Mas gak seharusnya masuk rumah orang tanpa izin."
"Kamu juga, harusnya mengunci pintu saat di rumah sendirian. Bagaimana bila orang jahat masuk?"
"Ya, itu kecerobohanku. Bahkan sekarang bukan lagi orang jahat yang masuk, tapi pria brengsek yang sangat jahat!" Sintya berkata dengan kesal.
"Sin ..." Jonan meraih tangan Sintya. "Aku mungkin memang brengsek. Tapi cinta yang kupunya untukmu ini benar adanya."
"Tolong jangan berbicara tentang cinta. Aku sungguh tidak ingin membahasnya." Sintya bangkit berdiri. Namun tangan Jonan menarik dengan sigap hingga Sintya terduduk persis di sebelahnya.
"Mas, jangan suka seenaknya sendiri. Begini ini namanya menyakiti." Sintya menarik tangannya dari genggaman Jonan. Ia memegang pergelangan tangannya yang sedikit sakit.
"Maaf, aku tak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ..." Jonan menatap mata Sintya. Wanita itu mengalihkan pandangannya.
"Kumohon, Sintya. Aku ... aku, aku tak bisa menahan ini semua. Aku ... sangat mencintaimu," ujar Jonan sungguh-sungguh. Matanya memerah. Ia bangkit berdiri. Dan menghadap ke Sintya yang masih terduduk.
"Maafkan aku..."
Tiba-tiba saja Jonan menjatuhkan tubuhnya, membekap Sintya dengan ciuman penuh gairah. Sintya tersentak. Ia begitu kaget atas perlakuan Jonan.
"Hentikan, Mas! Apa yang kamu lakukan? Stop. Tolong a--" Sintya terhimpit. Ia meronta. "Tolong Mas... Jangan begini terhadapku." Air mata mulai menetes. Ia semakin meronta. Tapi tubuh besar Jonan membuatnya kalah.
Jonan membelai lembut anak-anak rambut di kening Sintya. Aroma shampo menguar dari rambut basahnya. Ia tak melewatkan seinchi pun garis wajah Sintya dari ciuman-ciumannya. Jonan telah kehilangan kewarasannya.
Tangannya menekuri kedua mata Sintya, lalu hidung, lalu bibir tipis yang bergetar. Tangannya menyusup ke telinga. Lalu turun ke leher.
Sintya menggeliat. Ia merasakan sensasi aneh dari dalam tubuhnya. Tapi pikirannya menolak. "Mas Jonan, hentikan ini."
"Aku tak bisa berhenti, Sintya. Kamu telah membuatku terpaksa melakukan ini."
"Melakukan apa? Pergilah ... cukup sudah Mas membuatku terluka."
Jonan mengabaikan perkataan Sintya. Jemarinya terus membelai lembut kulit Sintya. Tangannya telah jauh masuk ke dalam.
Jonan sudah gelap mata. Yang ia pikirkan hanya bagaimana membuat Sintya mengerti satu hal. Bahwa Sintya butuh Jonan.
Dibukanya tali jubah yang mengikat di pinggang. Ia menyingkapnya kasar hingga tubuh polos Sintya terpampang jelas di sana.
Sintya berteriak. Ia merapatkan kakinya dengan refleks. Kedua tangannya di atas dadanya.
"Mas Jonan! Apa yang--"
Jonan kembali menciumi bibir Sintya Hingga akhirnya ia mencumbu leher hingga ke dada dengan segala kelembutan yang dimilikinya. Kedua tangan Jonan mengunci tangan Sintya yang meronta-ronta.
"Mas Jonan, ini tidak boleh terjadi."
"Ini bisa saja terjadi, Sintya." Lalu dengan penuh nafsu, Jonan membasahi tubuh Sheila dengan cumbuan-cumbuan dari bibirnya. Sintya bergelinjang.
Sintya melawan. Ia tak ingin rasa yang entah itu bercokol lama-lama di hatinya.
Jonan melepas kaosnya, sembari duduk tepat di atas tubuh Sintya. Ia lalu mendekap tubuh Sintya dengan erat. Menciumi ujung daun telinganya dan berbisik, "Tenangkan dirimu, Sintya. Aku akan mengambil yang seharusnya memang untukku lebih awal. Semoga kamu mengerti, Sintya."
Sintya berteriak. Makin berteriak manakala sesuatu di balik celana Jonan disembulkan dari tempatnya.
Sintya makin meronta. Tangisnya tambah deras. Seperti hujan ... Seperti hujan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro