Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 14

Siapa yang sanggup melawan waktu? Rasanya di dunia ini hanya waktu yang bergerak maju. Ia tak bisa diputar atau mundur. Begitulah yang dirasakan Sintya. Ia ingin melawan waktu. Sangat ingin. Tapi untuk saat ini ia hanya bisa meringkuk di dalam kamar. Tidak melakukan apa-apa selain tidur. Setelah semalaman menangis, Sintya memutuskan untuk membenamkan diri di kamar. Panggilan kedua orangtuanya tidak dihiraukan. Telepon dari Jonan pun diabaikan. Ia ingin sendiri. Benar-benar sendiri.

Hal konyol yang diutarakan Jonan di depan papanya itu sangat memalukan. Bagaimana bisa Jonan berkata hal yang sama sekali tidak benar? Menodai? Ya, mungkin saja. Tapi sejauh ini hanya bibir dan lidah Sintya saja yang telah dinodai pria itu.
Tiba-tiba saja Sintya mengusap-usap bibir kasar dengan tangannya. Kembali berputar di benaknya, bagaimana ia melihat Jonan dan Selena berciuman dengan penuh nafsu di ruang sialan itu. Bayangan itu berganti tayang, saat-saat dengan penuh kelembutan Jonan mengecup bibirnya hangat di malam itu.

"Tidaaaak. Bagaimana mungkin aku masih mengingat dengan jelas? Oh Tuhan, aku pasti sudah gila!" Sintya mengacak-acak rambutnya. Kembali ia rebahkan tubuh di ranjang. Membolak-balikkan badan. Menutup kepalanya dengan bantal. Tapi usahanya sia-sia. Karena tanpa diundang, bayangan Jonan dan Selena yang bercumbu di meja dokter  tetap menempel di netranya.

"Oh Tuhaaaan." Sintya berteriak.

Suara ketukan di pintu membuat Sintya membungkam mulutnya sendiri.

"Sin ... ada apa, Nak?" Suara lembut mamanya menyapa.

Sintya mengurut dadanya. Merapikan rambutnya lalu berjalan menuju pintu.

Mamanya menatap penuh tanya ketika daun pintu dibuka.

"Kamu gak kerja, Nak? Jonan tadi ke sini. Tapi papamu memintanya untuk memberi kamu kesempatan menenangkan diri. Biar bagaimanapun ini bukan situasi yang kondusif. Papamu mencoba memahami perasaanmu. Tapi ... tolong pahami juga perasaan kami, Sintya. Bila memang sesuatu telah terjadi padamu karena Jonan, kami memakluminya, meski agak sedikit kecewa. Tetap saja kamu harus melangsungkan pernikahan ini."

"Mam..., Sintya mau berterus terang ... Satu-satunya lelaki yang seharusnya menikahi Sintya, bukan Jonan. Bila hanya karena lelaki yang sudah menyentuh Sintya yang harus menikah dengan Sintya, maka Sintya akan meminta papa dan mama menikahkan Sintya dengan mas Vandi ..."

"Sintyaaa," hardik mamanya, "bicara apa kamu? Dia itu ..."

"Ya Sintya tahu mas Vandi itu sepupu yang tak boleh menikah dengan Sintya. Tenang saja. Walau Sintya dan mas Vandi saling mencintai, tapi kami takkan bersatu karena ... Mas Vandi sudah menikahi wanita lain... karena kalian, para orang tua yang egois. Yang hanya mementingkan keinginan sendiri. Yang tak pernah mencoba untuk memahami bagaimana sesungguhnya perasaan kami berdua sebagai anak dan insan yang saling mencintai."

"Sintya, jangan tambah ngaco kalau bicara."

"Satu lagi ... Mas Jonan tidak pernah menodai Sintya. Sintya membatalkan rencana pernikahan karena Sintya tidak mau menikah dengan lelaki brengsek pilihan papa dan mama itu. Papa dan mama pasti tahu dokter Selena, bukan?"

"Selena ...?" Sang mama mengingat-ngingat. Yang ada di kepala wanita paruh baya yang masih terlihat segar bugar itu adalah seorang dokter yang pernah menanganinya saat sakit beberapa bulan yang lalu.

"Silakan tanya sama Mas Jonan, apa yang mereka berdua lakukan? Asal mama tahu, Sintya tidak akan pernah menyerahkan hati Sintya pada lelaki yang mencintai nafsu. Sintya tidak akan menikah. Tidak akan pernah."

"Selena? SELENA!" Tanpa mempedulikan Sintya yang masih menahan gemuruh, wanita yang melahirkan Sintya itu melangkahkan kakinya menjauh.

"Maaa, mau ke mana? Sintya belum selesai bicara." Sintya menyusul sang mama.

"Ma," rajuk Sintya. "Mama mau ngapain sekarang?"

"Mama mau ke rumah sakit?" Sang mama memegang dadanya dengan tangan kanannya.

"Mama sakit? Maaf, Ma, Sintya gak bermaksud membuat mama jadi kepikiran."

"Ssst. Mama gak sakit. Mama mau ketemu Selena. Wanita itu harus menjauh dari Jonan. Pernikahanmu harus terus tetap berjalan. Dengar, Sintya, kamu tidak boleh mundur. Apa pun yang terjadi."

Sintya syok. "Maksud Mama?"

Tanpa menghiraukan Sintya, sang mama bersiap diri untuk pergi.

Sintya terpana. Apa yang baru saja terjadi? Sintya menepuk-nepuk pipinya. Sakit. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Bahkan mamanya sendiri tetap menginginkan adanya pernikahan.

Tuhan rupanya sedang bercanda. Ini takdirnya ataukah memang nasib?

"Dengar Sintya, setidaknya lakukan ini demi keluarga kita."

"What???"

Sang mama berlalu. Sintya membatu.

Satu-satunya harapan adalah memberitahu sang papa kenyataan yang sesungguhnya. Mungkin saja sang papa lebih mengerti perasaannya daripada sang mama.

Sintya mengucek matanya yang sedikit berair. Dia masih punya harapan. Masih.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro