Part 13
Debur ombak dan angin malam. Dua hal itu yang menemani isak Sintya di sini. Tempat yang sudah ia lupakan beberapa waktu belakangan karena kesibukannya.
Sintya belum juga pulang ke rumah. Ia belum punya kata-kata yang pas yang akan diutarakan di hadapan kedua orangtuanya. Apa yang akan terjadi seandainya ia katakan bahwa hari ini Tuhan telah membukakan matanya tentang lelaki yang akan menjadi suaminya? Sintya masih belum sanggup mengatakannya saat ini. Cukuplah kesakitan ia rasakan sendiri. Ia tak ingin mama papanya menanggung malu. Tapi ia juga tak ingin memaksakan diri, lagi, untuk belajar mencintai Jonan seperti kemarin.
Ponsel Sintya bergetar. Tanpa perlu ia lihat, ia sudah tahu persis itu pasti Jonan. Pria itu terus menghubunginya. Dan Sintya dengan malasnya mengabaikan pesan dan panggilan yang masuk. Termasuk pesan dari Vandi yang tiba-tiba saja muncul sejak siang tadi. Sintya benar-benar tak tahu apa yang akan ia perbuat setelah ini.
Hatinya benar-benar kacau.
Sementara itu ...
Jonan bungkam di ruang tamu. Kedua orangtua Sintya heran karena Jonan datang tanpa Sintya.
Jonan hanya mengatakan Sintya izin pulang lebih dulu karena sedang tidak enak badan. Jonan telah menunggu Sintya lebih dari sejam. Ia terus menghubungi Sintya tapi wanita itu tak merespons panggilan bahkan pesannya.
"Coba kaucari dia, Jonan. Ini sudah hampir jam sepuluh malam. Kota ini kecil. Mustahil kau tak bisa menemuinya. Apa kalian bertengkar? Jangan seperti anak kecil. Kalian sudah sama-sama dewasa. Coba dibicarakan baik-baik. Kelak, setelah menikah, masalah yang kalian hadapi lebih besar dari ini. Tak melulu soal cemburu atau sejenisnya. Sekarang cari dia. Bawa pulang," pinta papa Sintya.
Tanpa banyak bicara, Jonan bangkit berdiri dan pamit. Belum juga langkah kakinya menuju pintu, Sintya sedang berjalan menuju ke arahnya.
"Apa yang Mas lakukan malam-malam di sini?"
Raut Jonan tersirat rasa khawatir. "Kamu dari mana, Sin?"
"Bukan urusan Mas," ujar Sintya sambil bersin-bersin.
"Kamu sakit?" Jonan memegang pundak Sintya namun ditepis begitu saja.
"Malam, Pa. Maaf Sintya pulang telat. Tadi habis dari rumah Yanti," ujar Sintya sembari masuk rumah.
Jonan mengikutinya.
"Pa, Sintya mo bicara sebentar sama mas Jo."
Papanya mengiyakan. "Selesaikan masalah kalian baik-baik. Tak baik pertengkaran menjelang pernikahan," tambahnya lagi lalu meninggalkan dua insan itu di ruang tamu.
Sintya memandang Jonan datar. Kedua tangannya bersedekap.
"Apa yang ingin Mas katakan? Aku memberi kesempatan malam ini pada telingaku untuk mendengar."
Jonan mengembuskan napas panjang. "Sintya, kumohon dengarkan aku."
"Ya."
"Jangan batalkan pernikahan ini. Aku sungguh-sungguh menginginkanmu menjadi pendampingku, menjadi istriku. Kejadian tadi, itu di luar kemauanku. Selena ... dia hanya masa laluku saja."
Sintya mencibir, "Tapi yang terlihat tadi bukan masa lalu, Mas. Itu terjadi di depan mataku. Katakan, bagaimana aku harus bersikap?"
"Maafkan aku ..."
"Tentu. Aku memaafkan. Tapi itu tak berarti apa-apa buatku. Saat ini yang terpenting adalah, bagaimana menyudahi kebodohanku karena telah menerimamu masuk begitu jauh di hatiku."
Jonan menarik jemari Sintya.
"Hentikan, Mas. Aku tak mau Mas sentuh. Tidak sekarang, atau juga nanti."
Jonan tak menyerah. "Sintya, aku sungguh-sungguh mencintaimu. Kejadian tadi sore tidak seperti yang terlihat di matamu. Aku dan Selena memang pernah bersama. Tapi kami sudah berpisah. Kamu datang di saat aku memang sedang sendiri. Aku pria bebas, Sintya."
"Ya, bebas, sehingga Mas dengan seenaknya melakukan itu. Kita akan menikah, Mas. Kenapa tidak hal itu yang Mas ingat saat di ruang dokter tadi? Kenapa? Ya, mungkin karena sesungguhnya Mas masih mencintainya. Bukankah sebenarnya kalian tak putus? Kenapa? Kenapaaa," teriak Sintya karena sudah tak bisa lagi menahan emosi.
"Ssst, Sayang, dengarkan... dengarkan aku. Aku mengingatmu. Aku mengingat kita akan menikah, tapi Selena ... dia ... Arghhh."
"Jangan Mas limpahkan kesalahan ini karena dokter Selena. Ini salah Mas. Mas yang sudah membuat aku kecewa. Aku tidak ingin melanjutkan rencana pernikahan kita. Aku tak peduli bila toh akhirnya keluargaku menanggung malu. Itu jauh lebih baik daripada aku menahan sesak seumur hidup karena tahu bahwa suamiku ternyata memiliki cinta lain selain aku."
"Bicara apa kalian?"
Sintya dan Jonan sontak menoleh ke ruang keluarga. Di sana berdiri kedua orangtua Sintya yang memandang cemas.
"Apa yang membuat kami harus menanggung malu?" Mama Sintya membuka suara.
"Pa, Ma ..."
"Tidak ada, Om. Sintya hanya bicara melantur."
"Pa, Sintya menolak untuk dinikahkan."
"Apa?" Wajah penuh tanya seolah menelan hidup-hidup dua insan yang saling bertatap. Satu penuh harap. Satu penuh dengki.
"Sintya tidak mau menikah dengannya."
"Sintya!"
"Kami akan tetap menikah, Om."
"Tidak!"
"Ya, saya akan tetap menikahi Sintya. Karena ... saya telah menodai Sintya." Jonan mengucapkan kata-katanya dengan pasti.
Plak!
Sintya memegangi pipi kanannya yang terasa panas. Tamparan keras dari papanya membekas.
"Papa..." Sintya terisak. Dengan air mata berurai ia berlari ke kamar.
"Kamu!"
"Saya akan bertanggungjawab, Om. Saya akan menikahinya. Saya akan membahagiakannya. Saya janji, Om."
"Pergi kamu!"
Jonan berbalik setelah mengucapkan maaf berulang-ulang. Ia tahu yang ia lakukan ini salah. Tapi mungkin ini satu-satunya cara agar ia tetap bisa menikahi Sintya, wanita yang telah membuatnya jatuh hati sejak pertama bertemu.
Maafkan aku, Sintya. Aku harus melakukan ini. Harus.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro