Part 12
Kaki Sintya melangkah dengan lemas. Tangan kanannya memegang dada, seolah menahan sesak yang kian menghimpit.
Sudah, Sintya. Tak ada yang perlu kamu tangisi, batinnya menguatkan hati. Langkah menuntunnya ke ruangan apoteker. Dengan gontai ia terduduk di lantai tepat setelah ia menutup pintu.
"Mbak ...," sapa Yanti nyaris tak terdengar. Yanti berjongkok di sampingnya. Memegang pundak Sintya seolah mencoba mengerti apa yang sedang terjadi.
Sintya menahan rasa sesak di dada. Ia tak mau menangis hari ini. Tidak untuk hal memalukan seperti itu. Bagaimana bisa?
"Mbak ... duduk di kursi, yok," ajak Yanti.
Sintya mendongak. Dengan kekuatan yang tersisa ia bangkit berdiri.
"Saya pulang saja, Yan," ujarnya seraya mengembuskan napas.
"Tidak menunggu Mas Jo?"
"Apa lagi yang ditunggu?" Sintya mencoba tersenyum. "Saya harus pergi."
Yanti membiarkan Sintya keluar ruangan. Ia tahu ini saat yang tidak baik untuk mengusik, bahkan untuk berbagi kebenaran yang selama ini berusaha ia dan rekan lainnya utarakan ke Sintya.
Sintya berjalan gontai di koridor. Suara pintu terbuka membuatnya semakin mempercepat langkah.
"Sin, tunggu ..." Jonan berteriak memanggil namanya. Wajahnya tampak kusut dan penuh kecemasan.
"Jo, Jonaaan," teriak Selena seraya menarik tangan Jonan.
Ditepiskannya dengan kasar, Jonan kemudian berlari mengejar Sintya.
"Sintya ... Sin ... please, tunggu aku. Dengarkan aku."
Sintya menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. Senyum indah terpampang di wajahnya yang pucat.
"Ya, Mas. Ada apa?"
"Sintya, please," ujar Jonan frustrasi. "Ini tak seperti yang kamu lihat."
"Memangnya apa yang kulihat? Kalian hanyalah dua orang hebat di saat yang tak tepat. Dan aku tak ada urusan dengan itu," ujar Sintya dengan nada sedikit bergetar.
"Sintya..." Tiba-tiba saja Jonan menarik kedua tangan Sintya dan mendekap tubuh wanita itu dengan erat.
Sintya membeku. Tubuhnya kaku. Benteng pertahanan hatinya runtuh. Ia menangis. Ia menangis lagi setelah beberapa waktu lalu berjanji untuk tidak lagi meneteskan air mata.
"Maafkan aku, maafkan aku, Sintya. Kumohon, ini benar-benar tak ada dalam niatku untuk mengecewakanmu. Maafkan aku."
Sintya mengabaikan Jonan. Ia memejamkan mata. Bayangan gaun pengantin, keceriaan mamanya saat menerima hasil cetakan undangan, dan kehebohan wanita yang melahirkannya itu saat menelepon belasan jasa catering demi kepuasan hatinya, juga wajah papanya saat pertama kali memintanya menerima lamaran Jonan. Pedih. Semua itu membuat air mata Sintya mengalir tambah deras.
"Aku mau pulang, Mas." Sintya melepaskan dekapan Jonan. Dan mendorong tubuhnya menjauh.
"Sintya ..."
"Itu, hapus dulu bekas lipstik di pipi kanan Mas. Gak enak kalau dilihat pasien nanti. Aku izin gak kerja hari ini. Maaf, aku mau pulang."
"Sintya, kumohon," ujar Jonan sambil bersimpuh. Kedua tangannya memegang erat jemari Sintya yang mendingin.
"Apa lagi yang Mas mohonkan padaku? Sungguh aku tak bisa berkata apa-apa sekarang. Ini semua benar-benar membuatku kecewa. Kecewa. Sangat kecewa. Mas yang memintaku. Bukan aku yang meminta Mas. Aku mencoba. Sungguh mencoba menyayangimu. Dan di saat ini aku tak tahu harus melepaskan di mana rasa sayang ini."
Jonan menunduk. Justru di saat seperti ini ia tak mampu menatap kedua mata Sintya. Ia salah. Teramat salah.
"Jonan..." Tiba-tiba Selena muncul.
Sintya mengangkat wajahnya dan mengulas senyum untuk Selena.
"Ini ..." Sintya melepaskan kalung berliontin SJ dari lehernya. "Aku mendengar semuanya. Maaf, ini kukembalikan. Tak sepantasnya aku memiliki ini."
Selena terkejut. Sintya tampak tenang. Bahkan dengan kekuatan hatinya ia menyerahkan sendiri kalung itu ke genggaman Selena.
"Sintya, dua minggu lagi ..."
"Lupakan itu. Tidak ada pernikahan. Tidak ada aku dan kamu, Mas."
Jonan menggeleng frustrasi. "Tidak, ini tidak boleh terjadi. Kita akan tetap menikah."
"No! Tidak ada pernikahan. Kamu tak boleh menikah dengannya. You are mine, Jo." Selena berteriak.
Jonan geram. Sebuah tamparan mengagetkan seisi ruangan. Bahkan Yanti dan Nita yang diam-diam menonton drama tiga hati itu ikut terkejut. Mereka tidak pernah melihat Jonan bertindak kasar, tapi perbuatan kali ini membuat mereka mengenal sisi lain seorang Jonan.
"Hentikan, Selena. Ini semua karenamu. Harusnya kamu tak kembali ke sini."
Sintya mundur perlahan. Ia tidak ingin mengikuti permainan Jonan dan Selena. Ada yang lebih penting dari semua ini. Hatinya. Ia ingin melangkahkan kakinya sejauh mungkin dari tempat ini.
Ia ingin kembali. Ia ingin memutar waktu ...
Tiba-tiba saja ia merindukan suara lembut sepupunya ...
Tiba-tiba saja ia kembali merasakan cinta pada cinta pertamanya itu.
Tiba-tiba saja, ponselnya berbunyi ...
"Apa kabar, Adikku tersayang?"
Dan air mata Sintya menganak sungai.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro