Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 11

"Tolong jangan bikin segalanya runyam."

Kata-kata itu ia kirimkan ke nomor seseorang. Jonan cukup tegang saat memikirkan beberapa kejadian belakangan ini. Dengan cemas ia menyesap kopi yang hampir dingin.

"Saya gak bikin runyam, Jo. Tapi kamu yang membuat dirimu runyam."

Jonan mengernyit membaca pesan itu.

"Saya ingin bertemu. Di tempat biasa. Jangan bilang tidak. Besok, jam dua siang."

Jonan frustrasi. Ia tidak ingin mengacaukan rencana pernikahannya yang tinggal dua minggu. Tapi kedatangan Selma cukup membuatnya gila.

***

Jonan terkejut mendapati wanita itu di dalam kamarnya. Ya, tentu saja wanita itu bisa masuk karena ia memiliki kunci duplikatnya. Hanya saja keterkejutan Jonan karena wanita itu muncul di waktu yang tidak tepat.

"Untuk apa kamu kembali? Bukankah kamu yang memutuskan pergi dariku. Tanpa pamit? Lantas apa yang kamu lakukan di sini, saat ini?"

Tanpa mempersilakan Selena duduk, Jonan beranjak ke kamar mandi dan mencuci muka. Ini masih terlalu pagi dan kedatangan Selma telah mengganggu tidurnya.

"Saya merindukanmu."

"Rindu? Ck. Setelah berbulan-bulan? Yang benar saja, Selma."

Selena mendekat. Dibasuh wajah Jonan yang masih basar dengan tangan lembutnya. "Kamu tidak merindukanku? Sungguh?"

Jonan menepis tangan Selena. "Pergilah..."

"Apa wanita itu juga pernah tidur di dadamu?" Selena mengabaikan kata-kata Jonan. Ia justru mendekap dada bidang Jonan yang sedikit berbulu.

"Sungguh rindu ini butuh obatnya, Jo."

Jonan menarik napas panjang. Menjaga kewarasan tetap pada tempatnya. Tapi belaian tangan Selma dan desah napasnya yang sangat dekat dengan telinga membuat sarafnya menegang.

"Kamu tak bisa membohongi diri, Jo. Tubuhku adalah candu bagimu."

Jonan tenggelam.

***

"Yanti, saya di belakang ya. Kalau dokter Selena datang suruh langsung saja."

"Baik, Mas Jo. Nanti sa suruh ke belakang saja."

Jonan menahan gemuruh di dadanya. Dari semalam perasaannya tak menentu. Ia mengiyakan keinginan Selma untuk bertemu dengannya. Sekaligus ia ingin bertanya perihal kalung berliontin SJ yang tempo hari tak sengaja akhirnya menjadi hak milik Sintya.

Pintu terbuka mengagetkan Jonan. Ia bangun dari kursi dan berdiri dengan tegangnya.

"Hei, kenapa kamu pucat? Santai saja. Bukankah hari ini seharusnya kita senang?"

"Selena, cukup. Hentikan semua ini. Kita tak boleh begini. Kita sudah berakhir bahkan setelah kamu memutuskan tak lagi di sini waktu itu. Kenapa kamu harus kembali di saat aku sudah memilih jalan hidupku." Jonan menatap Selma dengan rasa yang entah.

"Ssst, My Sweet Jo, plis deh. Coba lihat ruangan ini. Apa kamu tak merasakan suasana rindu yang dalam di sini? Kamu lupa bagaimana hari-hari kita dulu di sini.

Jonan memejamkan matanya. Sesungguhnya masuk ke ruangan ini lagi membawa sensasi berbeda di hatinya. Nadinya selalu berdenyut lebih cepat. Aroma parfum Selena kemudian menyadarkannya. Matanya terbuka.

"Kita sudah berakhir, Selena. Kalau yang kamu maksud adalah cumbuan-cumbuan itu, sekarang sudah tak ada artinya lagi."

"Karena Sintya?"

"Jangan bawa-bawa Sintya. Dia bahkan bisa menjaga dirinya sendiri ..."

"Dari pria berengsek sepertimu?"

Jonan memegang keningnya frustrasi.
"Oh ya, mumpung aku ingat. Kenapa kamu mengembalikan kalung itu?"

"Saya tidak mengembalikannya, Jo. Saya hanya mengingatkanmu bahwa kita pernah ada. Dan selalu ada. Tapi kamu malah memberikannya untuk wanita itu. Sungguh memuakkan."

Jonan menarik napas. Ia terduduk di kursi. Sementara Selena semakin menempel padanya. Selena mendudukkan dirinya di paha Jonan. Membelai rambut ikalnya, menempelkan dadanya di wajah Jonan.

"Pernikahan itu takkan pernah terjadi, Jonan. Kamu hanya milikku," bisik Selena.

Seperti terhipnotis, Jonan membenamkan wajahnya ke dada sintal Selena. Dada yang pernah memberikan kenyamanan untuknya.
Selma tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan sigap namun perlahan ia membuka kancing baju Jonan satu per satu. Membelai dadanya dengan lembut. Jonan makin hanyut. Ia memang merindukan hal seperti ini. Ia merindukannya.

Perlahan Selena menarik Jonan ke meja. Menidurkan dirinya di sana seraya membelai perut Jonan. Lalu membuka ikat  pinggang lelaki yang sudah kehilangan akal sehatnya.

"Sudah kukatakan, tubuhku adalah candu, dan kamu tak bisa melupakanku, Jonan."

Sementara itu ...

Dua pasang mata memandang dengan cemas ke arah pintu. Dari dalam mereka melihat seorang wanita berjalan santai menuju pintu masuk. Senyum di bibirnya merekah ketika matanya bersitatap dengan salah satu gadis yang terpaku di etalase obat.

"Maaf aku kembali sebelum waktunya," ujar wanita itu seraya meletakkan hand bag-nya di sisi sang gadis yang masih melongo menatapnya.

"Tapi ..."

"Ya aku tahu, aku baru saja pulang sejam yang lalu. Dan jadwalku kembali masih tiga jam lagi. Tapi, perasaan gak enak nih. Ada yang memanggil-manggil ke sini."

Dua gadis yang sedari tadi bungkam saling sikut.

"Hei, kalian kenapa?" tanyanya sambil tersenyum menggoda. "Ah, di mana mas Jo?" Matanya berkeliling mencari sosok yang ditanya.

"Eh, itu, anu ..."

"Ada di ruang dokter, Mbak."

"Ruang dokter?" Ia melirik jam di tangan kirinya. "Ini baru jam dua lebih seperempat. Praktik dimajukan kah? Kok aku gak tahu? Ada pasien?"

Belum sempat dua gadis itu membuka bibir, ia sudah melangkahkan kaki ke ruang praktik yang letaknya di belakang apotek.

Dua gadis itu saling menggeleng dan mengangkat bahu. Seolah malas tahu apa yang akan terjadi sesaat kemudian.

Suasana ruang praktik masih sepi. Tentu saja karena praktik bersama di klinik Sejahtera ini akan dimulai pukul empat sore nanti. Ada 4 dokter yang praktik di klinik teramai di kota ini. Kota kecil di ujung Nusa Tenggara ini hanya memiliki 2 apotek. Dan apotek ini menjadi ramai karena satu-satunya tempat praktik dokter di luar rumah sakit.

Tiga ruangan dokter terbuka. Wanita itu mulai memelankan langkah kakinya. Ada yang tidak beres, batinnya. Sayup-sayup terdengar suara dari pintu yang tertutup.

Langkah kakinya mendekat. Suara-suara itu makin menusuk gendang telinganya. Tangan kanannya menyentuh kenop pintu. Hati dan pikirannya tak sejalan. Ia ingin berlari, tapi tangannya sudah menempel kuat di gagang. Dengan napas memburu ia membuka dengan sekali hentakan.

"Apa saya mengganggu?"

Dua insan terlonjak dari atas meja.

"Maaf, seharusnya kalian mengunci pintunya dengan benar," ujarnya dengan nada cukup tenang.

"Dan kamu, mas Jo, selamat bersenang-senang."

Ia menutup pintu dengan pelan. Membalikkan badan. Dan menarik napas panjang. Menjaga agar tak ada air mata yang tumpah dari pelupuk matanya.

"Sudah selesai. Sudah selesai, Sintya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro