Part 1
2007
"Bu Dokter, sa agak sedikit pusing. Bisa kasih sa obat sakit kepala, ko?"
Sintya menggurat senyum. "Saya bukan dokter, Pak."
"Ish, sama saja, ko. Orang yang bikin kasih sembuh dia pu nama dokter ko tidak?! Mana? Sa mau obat sakit kepala sebelah."
Sintya tertawa kecil. Ini bukan kali pertama ia dipanggil bu dokter. Hanya karena ia bekerja di tempat yang melayani kebanyakan orang sakit, ia dipanggil demikian--profesi yang sebenarnya sangat ia idamkan sejak bangku sekolah menengah atas.
Klinik Sejahtera. Sintya baru beberapa minggu bekerja di klinik milik sahabat orang tuanya. Secara khusus ia diminta untuk membantu mengontrol keluar masuknya uang di klinik yang merangkap apotek. Sebuah pekerjaan yang tentu saja ia terima dengan senang walau harus meninggalkan kota Surabaya dan juga cintanya yang terlarang. Cinta yang tak kunjung direstui kedua orang tuanya. Ya, cinta pertamanya yang kandas karena Sintya mencintai dan dicintai oleh sepupunya sendiri, Vandi.
"Terima kasih, Bu Dokter," ujar pria yang menerima bungkusan dari Sintya.
"Bila sakitnya tak kunjung reda, lebih baik Bapak periksakan diri ke dokter ya," pesan Sintya sebelum pria tadi meninggalkan apotek.
"Baik, Bu Dokter. Ah, Pak Dokter di mana?"
"Belum datang," jawab Sintya seolah paham siapa yang ditanya.
"Ho, nanti sa datang periksa sama pak Dokter Jo kalau sa masih sakit kepala. Baik, Bu Dokter, sa permisi."
Sintya kembali tertawa kecil menanggapi pria tadi. Jonan bukanlah seorang dokter sama sepertinya. Hanya saja Jo memang tak salah disebut dokter sebab sehari-hari bila bekerja Jo mengenakan jubah putih kebesarannya seperti seorang dokter. Bedanya ia tak membawa stetoskop sebagai ciri khas seorang dokter bila bertugas. Jonan hanyalah seorang apoteker yang bertanggungjawab atas apotek Klinik Sejahtera. Jonan, seorang pria kelahiran tanah jawa yang sudah menetap lebih dulu di kota ini dibanding Sintya. Sejak berdiri setahun yang lalu, Jo sengaja didatangkan langsung dari pulau jawa untuk bertanggungjawab penuh di apotek ini.
Kehadiran Sintya di apotek tentu saja membawa warna baru bagi suasana kerja Jonan. Pria itu semakin semangat bekerja. Sejak melihat gadis berambut panjang dan kerap diikat ekor kuda serta berponi tipis itu, ia merasa gairahnya meningkat.
Sintya menyadari bahwa ia sering diperhatikan Jo diam-diam. Tatapan mata elang Jo menghisapnya juga. Lama-lama di hati keduanya tumbuh rasa suka.
Tak ada yang tahu kapan keduanya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Semuanya mengalir begitu saja tanpa ada pengajuan diri menjadi kekasih atau mengiyakan untuk menjalin hubungan lebih dari sekadar teman kerja.
Kedekatan Sintya dan Jo seolah diamini oleh siapa pun yang mengenal mereka, bahkan oleh kedua orang tua. Bagi para pelanggan yang sering berkunjung ke apotek atau sekadar lewat sudah tidak asing melihat Jo dan Sintya yang tampak serasi bercengkerama di tengah-tengah tumpukan obat yang tertata rapi di rak.
"Hei, masih pagi sudah bengong. Mikirin makan siang ya?" Jawilan Jo menyadarkan lamunan Sintya.
"Tahu aja. Laper. Tadi gak sempat sarapan. Kok telat?" Sintya melirik jam tangannya. Hampir jam sepuluh.
"Tadi ke rumah sakit dulu. Ada perlu. Oh ya, nanti siang kita keluar sebentar. Ada yang ingin kutunjukkan."
***
Sepanjang jalan mata disuguhi pemandangan yang indah. Jalur utama melewati pinggir pantai. Kota Kalabahi memang dikelilingi laut. Jo mengendarai mobil dengan pelan. Membiarkan Sintya menikmati keindahan biru laut yang terpapar.
"Aku mau diajak ke mana?"
"Makan siang."
"Jauh sekali. Ke pulau seberang?" Telunjuknya mengarah ke pulau kecil di sebelah kanan Sintya.
Jonan tertawa. "Kamu mau ke sana? Nanti kuajak."
"Jauh begini aku sudah keburu pingsan. Kelaparan. Sungguh teganya. Tahu begini aku memilih makan di apotek saja," kesal Sintya karena merasa dikerjai.
"Sabar. Nanti kamu pasti suka dan akan ketagihan."
Sintya mengangguk kecil. Matanya kembali menikmati suasana. Semilir angin dari jendela mobil membuat rambutnya berkibar-kibar. Jonan melihatnya gemas.
"Sin, ini seperti deja vu. Aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya."
"Mengalami apa?"
"Ini ... berdua denganmu ... dalam suasana seperti ini."
"Ah, khayal. Ini baru pertama kali Mas mengajakku bermobil ... berjalan agak jauh pula. Kita berdua bisa diomeli bos bila tidak menemukan kita di apotek."
"Jangan khawatir. Aku sudah izin kok. Ini mobil dipinjemin kan demi mengajakmu ke tempat spesial yang kujanjikan."
Sintya ber-oh ria.
"Benar, aku merasa suasana ini tak asing. Sepertinya di satu masa lalu aku dan kamu memang sudah bersama. Dan beruntungnya kita dipertemukan lagi di masa sekarang."
"Mas sedang menggombal ya?" Tawa Sintya.
"Tepatnya aku sedang membuka ingatanmu tentang kehidupan sebelum ini. Hei, ayolah kamu ingat-ingat. Kita pernah seperti ini dulu. Aku dan kamu ... kita."
"Hahha. Mas ngelantur deh lama-lama. Aku lapar. Bisakah kita cepat sampai ke tujuan?"
Jonan tak menjawab namun, ia membelokkan mobil ke arah kanan jalan. Sebuah jalan kecil yang dapat dilalui mobil. Sintya mengamati sekitar.
"Kita mau ke mana?"
"Sssst. Sabar. Semoga aku tidak salah mengambil jalan. Aku pernah sekali ke sini.
Sintya mengernyit. "Oh tidak. Kenapa aku dibawa ke tempat seaneh ini?"
Tak ada apa-apa. Hanya pepohonan dan ... deburan ombak yang sayup-sayup terdengar.
"Ooh, kita makan siang di pinggir pantai? Apakah ada yang berjualan di sini? Sepi sekali, Mas. Menyeramkan. Jangan sampai tak ada penghuninya."
"Parnoan deh kamu. Itu ada orang selain kita," tunjuknya ke arah laut.
"Ya ampun. Itu nelayan. Dan bukan di darat seperti kita."
"Sabar sedikit."
Tak berapa lama mobil berhenti di bawah pohon rindang.
"Tunggu di sini." Jonan membuka pintu kemudi lalu beranjak keluar.
"Eeh, Mas? Mau ke mana?" teriak Sintya.
Jonan mengabaikannya. Sintya merengut kesal memandang punggung Jonan yang perlahan menghilang.
Sintya membuka ponselnya. Tak ada sinyal. Ia makin kesal. Perutnya berbunyi.
"Ya ampuuun. Aku lapaaarrr."
"Jangan kayak anak kecil gitu ah. Sabar. Sebentar lagi makanan datang." Suara Jonan mengagetkannya.
Jonan kembali duduk di kursi kemudi.
Suasana hening sesaat. Sintya masih cemberut. Jonan mengubah posisi duduknya hingga persis memandang Sintya dengan leluasa.
Merasa diperhatikan, Sintya salah tingkah.
"Kenapa sih? Bisa biasa aja gak liatin akunya?"
Jonan tersenyum tipis.
"Kamu cantik."
"Aku tahu. Banyak yang bilang begitu." Sintya masih ketus. Ia lebih peduli rasa laparnya daripada gombalan Jonan.
"Sin, aku serius." Jonan menarik tangan kanan Sintya.
Gadis itu refleks menarik diri. Tapi genggaman Jonan lebih kuat. Sebelah tangan Jonan menggenggam, sementara sebelah lagi jari jemarinya mengelus lembut tangan Sintya.
"Aku tahu ini terdengar konyol. Kita sama-sama saling suka, bukan? Dua bulan rasanya cukup untuk kita. Aku ingin meresmikannya."
"Meresmikan apa?" tanya Sintya ragu-ragu. Belaian lembut di tapak tangannya membawa rasa aneh di dadanya.
"Kamu mau begini terus?"
"Begini? Gimana?" Sintya kebingungan. Selain rasa lapar, ia tidak punya pikiran lain. "Sesungguhnya aku ingin makan. Aku gak mau begini terus. Aku belum sarapan. Dan ini sudah hampir setengah dua siang. Aku bisa pingsan beneran, Mas. Kita bahkan tidak memiliki sebotol air pun di mobil ini."
Jonan tersentak. Seperti mengingat satu hal. Ia berbalik badan. Mengambil tas di jok belakang.
"Ini. Minumlah." Air yang tinggal setengah itu disambut dengan senang hati.
"Ya ampun. Dari tadi kek. Ya ampuuunnn."
Jonan tersenyum seraya melihat Sintya yang meneguk air tergesa-gesa.
"Sabar ya. Makanan mungkin sebentar lagi tiba."
"Mungkin? Ya Tuhan beneran pingsan nih." Sintya menyandarkan lemas tubuhnya.
Jonan kembali menarik tangan Sintya. Kali ini tidak ada gerakan refleks.
"Dengar ... aku ingin kita jauh lebih serius menjalani hubungan ini."
"Hubungan apa?" Tawa kecil keluar dari bibir Sintya.
"Ya, layaknya orang pacaran."
"Memangnya kita berpacaran?"
Jonan tahu pertanyaan itu memang layak terlontar. Dibilang pacaran, tidak juga. Sebab ia tidak pernah meminta Sintya menjadi kekasihnya. Tapi dibilang tidak juga ia kerap menyiratkan bahwa Sintya adalah miliknya dan tak ada satu pun yang boleh mengganggu. Tentu saja Sintya pun juga menyiratkan begitu. Tak ada yang memberi perhatian lebih pada Jonan di tempat kerja atau di mana pun saat mereka berdua.
"Jadiiii?" Sintya mengeluarkan suara.
Jonan tersenyum. "Aku mau melamarmu."
"Hah?"
"Kenapa?"
"Kenapa??"
"Ya kenapa mesti hah? Kamu gak senang aku melamarmu?" Jonan tampak kecewa.
"Bu-bukan begitu, Mas. Aduh..." Sintya menyadari sikapnya yang menyebalkan. Sintya membenarkan posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Johan.
"Mas?"
"Heem..."
"Marah ya?"
"... hmmm."
"Maaf."
"Bisa dengarkan aku bicara?"
Sintya mengangguk.
"Aku sudah mencoba mengenalimu lebih dari yang kamu tahu. Tidak. Jangan bicara apa-apa dulu. Biar aku menyelesaikan apa yang ingin aku ungkapkan."
Lagi-lagi Sintya mengangguk.
"Aku mulai jatuh cinta padamu sejak malam itu. Malam dimana kita diperkenalkan. Ada yang mengikatku untuk mendekatimu. Aku tahu itu tak mudah untuk masuk di hatimu. Sebab ada yang lain yang masih kamu simpan dengan rapi di sana." Jonan membaca keterkejutan di wajah Sintya.
"Ya, aku tahu tentang Vandi dan apa yang terjadi dengan hubungan kalian. Tapi aku tak peduli hal itu. Aku hanya ingin kamu. Dan hatimu. Walau sudah ada potongan lain yang membeku di sana. Aku mencintaimu. Bolehkah aku?"
...
"Sin?"
"Eh, aku sudah boleh bicara?"
Sebuah cubitan sukses mendarat di pipi Sintya.
"Oneng!"
"Siapa?"
"Kamu!"
"Aku lapar. Mana makanannya?"
"Kamu benar-benar lapar?"
"Mas Jo, aku sungguh kela--"
Jonan membungkam mulut Sintya dengan bibirnya. Kedua tangan Jonan memegang pipi Sintya. Dilumatnya bibir tipis Sintya dengan lembut.
Sintya tersentak. Degup jantungnya berpacu. Matanya terpejam. Bayangan Vandi melintas di pelupuk.
Sintya mendorong tubuh Jo yang kian menghimpitnya. Napasnya terengah-engah.
"Kamu tidak menyukaiku?"
"Bukan begitu, Mas. A-aku hanya kaget." Sintya bimbang. Di satu sisi ia menyukai kedekatannya dengan pria yang memberinya beribu perhatian belakangan ini. Di sisi lain, ia merasa perlu untuk menjaga dirinya hanya untuk Vandi, cinta pertamanya yang mungkin satu saat nanti akan kembali bersama.
"Kaget? Atau sebenarnya kamu menolakku?"
"Bu-bukan. Aku juga menyukaimu. Tapi ..."
"Vandi?" Jonan mencibir. Dia mengetahui kenyataan bahwa Sintya dan Vandi memang takkan pernah bersatu. Untuk itulah dia memberanikan diri mendekati Sintya.
"Aku akan membuatmu melupakan Vandi, Sin."
"Mas ..."
"Kamu tak harus menjawab lamaranku saat ini. Meski sesungguhnya ini adalah sebuah penolakan untukku. Nanti, suatu saat nanti, kamu pasti bisa mencintaiku."
"Mas ..."
"Merasakan bibirmu tadi, sepertinya kamu tak pernah berciuman seperti itu ya?" goda Jonan.
"Maasss sumpah aku mau makan."
Jonan mendekat.
"Tidak, jangan cium aku. Aku mau makan."
"Aku tidak ingin menciummu. Itu ... makanan sudah datang," tunjuk Jonan ke di balik tubuh Sintya. Dua orang datang membawa nampan.
"Kita makan di mobil. Kalau di luar aku khawatir kamu gak kuat jalan lalu pingsan beneran. Kamu mau digendong? Gak khawatir aku menciummu lebih dari tadi?"
Sintya melemparkan botol bekas minuman yang sudah kosong ke arah Jonan.
Menyebalkan.
Jonan menerima nampan dan mengucapkan terima kasih kepada si pengantar makanan. Jonan mempersilakan Sintya untuk menikmati ikan bakar pesanannya.
"Kamu gadis satu-satunya yang tak beraroma tubuh yang pernah kukenal," gumam Jonan.
Kata-kata Jonan membuat Sintya tersedak.
"Maksud Mas?"
"Eh, tak apa. Bukan hal yang penting."
"Aku seperti mendengar kata 'bau tubuh'. Sepertinya ini bau ikan bakar deh. Apa hanya aku yang lapar? Mas tidak makan?"
Jonan meringis gemas. Dalam hatinya ia meyakinkan diri bahwa rasanya tidak salah. Ia telah benar-benar jatuh hati pada kepolosan seorang Sintya. Sebelumnya kedua orangtua Sintya, terutama papanya memang ingin menjodohkan putri satu-satunya itu dengan Jonan. Bahkan sebelum Sintya menginjakkan kaki di kota kecil ini pembicaraan itu sudah ada. Jonan tahu itu salah satu cara papanya memisahkan Sintya dari Vandi.
"Mas, kok melamun? Makan dulu, terus kita balik ke apotek. Bisa-bisa kena SP kita nanti. Sudah jam se--"
"Ada sisa makanan di sini..." Jemari Jonan menyapu sudut bibir Sintya.
"Ooh," ujar Sintya malu-malu seraya memundurkan wajahnya.
"Sudah... pertanyaanku tadi jangan dijadikan beban. Kita berjalan seperti sebelumnya. Aku menunggu."
Perkataan Jonan sedikit menenangkan hati Sintya. Saat lapar tadi ia tak bisa berpikir jernih. Pun saat kekenyangan yang ada hanyalah hasrat ingin tidur karena semilir angin pantai membuatnya mengantuk.
"Iya, Mas. Makasih ya. Untuk makan siang yang lumayan unik. Dan juga ... untuk pernyataan Mas tadi."
Jonan tersenyum menanggapi. Meski rasa hatinya sedikit kecewa, ia tidak memperlihatkannya di hadapan Sintya.
"Jadi, masih berkomunikasi dengan mas-mu itu?"
"Mas Vandi? Tentu saja. Semalam kami ngobrol sampai dini hari ... bla bla bla..."
Jonan tiba-tiba menyesal sudah mempertanyakan pria itu. Dia bagai kambing congek yang mendengar ocehan Sintya tentang Vandi.
Perjalanan kembali ke apotek terasa begitu membosankan. Jonan ingin membungkam bibir Sintya dengan bibirnya tapi apa daya ia harus segera melajukan mobil sebelum praktik dokter dibuka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro