Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Misi Bersama

Garindra menyambutku dengan heboh ketika aku pulang. Tunggu, maksudku bukan Garindra versi pria kaya yang angkuh dan menyebalkan itu, melainkan Garindra versi anak kucing mungil yang menggemaskan.

Aku harus mengaku dosa. Aku sudah berusaha menemukan nama yang paling tepat untuk si kitten yang kubawa dari GBK, tetapi yang muncul di pikiranku malah "Garindra" terus-terusan. Jadi, kuputuskan untuk menamai kucing ini Garindra saja. Namun, mengingat warna bulunya yang menunjukkan bahwa kemungkinan besar kucing ini betina, sementara Garindra adalah nama yang sangat maskulin, aku memberinya nama panggilan "Rin".

Biar sajalah. Meski agak konyol, hal ini lumayan membawa kebahagiaan kecil bagiku. Membayangkan bagaimana ekspresi kesal Garindra versi manusia yang tersinggung kalau tahu namanya menjadi nama kucing dekil sudah cukup menghibur bagiku. Kapan lagi aku bisa menguyel-uyel Garindra, meski itu bukan versi sebenarnya?

"Sini, Rin." Aku menuang makanan kucing ke wadahnya yang sudah kosong. "Pelan-pelan aja makannya, jangan barbar," tegurku karena Rin dengan penuh semangat menubruk wadah makannya hingga terdorong cukup keras.

Rin makan dengan lahap. Sesekali dia menggeram ketika aku menyentuh bulunya, mungkin dia kira aku hendak mencuri makanannya.

Hatiku sedikit terenyuh. Tentu banyak hal yang dilalui Rin mungil di luar sana sampai dia begitu waspada. Mungkin dia harus bertaruh nyawa untuk sekadar mendapatkan secuil makanan yang nggak mengenyangkan. Anak sekecil ini harus bertahan hidup di dunia. Sendirian. Hanya mengandalkan dirinya sendiri.

Sama sepertiku, yang juga hanya punya diriku sendiri.

Kusentuh kepala Rin, tapi dia menggeram dan mencakar tanganku.

"Aduh!" seruku kaget. "Kalem aja sih! Gue juga nggak doyan makanan kayak gitu!" gerutuku.

Namun, tentu saja Rin nggak paham gerutuanku.

Kubiarkan Rin menikmati makan malamnya yang sedikit terlambat, karena aku baru sampai rumah pukul setengah 11 malam, untuk bebersih diri. Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya berbagai penyakit. Jadi, meski pulang tengah malam, mandi dan keramas setelah bekerja wajib hukumnya.

Selesai mandi, kuisi perutku yang sedikit keroncongan dengan sebutir buah pear yang kutemukan di kulkas. Sore tadi aku hanya sempat menelan dua buah gorengan pemberian Agus. Namun, aku juga nggak mau makan berat karena sekarang sudah terlalu malam.

Menjelang pukul 12 malam aku sudah berbaring di bawah selimut. Rin juga ikut bergelung di sela-sela kakiku. Aku sudah nyaris terlelap ketika ponselku berbunyi, ada pesan masuk. Tadinya aku berniat membiarkan saja, tetapi aku juga penasaran siapa yang menghubungiku tengah malam begini. Bagaimana kalau dari rumah sakit?

Jadi, dengan terkantuk-kantuk aku membuka chat itu.

+62 811 21xxxx:
Ini Garindra. Besok bisa ketemu?
Kita harus memulai kerjasama kita kan?

Kantukku sontak hilang.

(*)

Kutatap jam tangan di pergelanganku. Sudah lewat dari pukul setengah 11 malam dan yang kutunggu-tunggu belum juga tiba. Sekali lagi kubaca pesan teks terakhir yang kuterima untuk memastikan aku nggak salah baca atau mengerti.

Garindra akan menjemputku di lobi OMC setelah shift kerjaku selesai. Karena hari ini aku shift dua, aku baru selesai pukul 10 malam. Memang bukan jam yang umum untuk janjian dengan seseorang, tetapi hanya itulah waktu yang bisa kuberikan kepadanya. Aku nggak mungkin mengorbankan jam kerjaku untuk menemuinya lebih awal, sama seperti dia yang mustahil menemuiku siang-siang karena kesibukan. Ha! Kemenangan kecil atas Garindra seperti ini lumayan memuaskan hati juga.

Sebenarnya aku nggak benar-benar tahu apa yang harus dilakukan ketika menawarkan kerja sama kepada Garindra kemarin malam. Aku hanya lelah dicurigai terus-terusan, dan berharap Garindra menilai tawaran kerja samaku sebagai bentuk keseriusanku bahwa aku juga korban dalam situasi ini. Sayangnya, chat Garindra tadi malam membuktikan bahwa semuanya nggak sesederhana yang kupikirkan. Pria itu lebih serius dari dugaanku. Sekarang, aku sudah nggak mungkin mundur.

Tapi di mana dia? Apa molor waktu janjian adalah kebiasaan yang harus dimaklumi karena dia orang kaya?

Aku sudah memutuskan untuk order ojek online ketika sebuah sedan hitam berlogo lingkaran putih-biru berhenti tepat di lobi OMC, tempatku menunggu sejak setengah jam yang lalu. Kaca jendela sisi kanan belakang terbuka. Sosok Garindra terlihat di sana. Tanpa senyum, tanpa keramahan.

"Masuk," katanya pendek, seolah menyuruh bawahannya.

Tunggu. Secara teknis, aku kan memang karyawan Garindra?

Aku berjalan dengan kagok, memutari sisi belakang mobil untuk mencapai sisi pintu lainnya. Ketika tanganku sudah berada di handel pintu, kutarik napas panjang-panjang. Tentu saja Garindra memakai mobil mewah ke mana-mana. Apa yang kuharapkan? Garindra berkeliaran naik motor bebek murah?

Santai, Ray. Chill. Kamu duduk di kursi penumpang. Kamu nggak nyetir sendiri, dan sopir Garindra pastilah sudah ahli mengendalikan benda ini.

Dengan sugesti itu, aku memasuki kabin belakang mobil Garindra. Gerakanku sedikit kaku dan selama beberapa detik setelahnya aku hanya diam–aku bahkan lupa menyapa si pemilik kendaraan.

"Are you okay?"

Wajar bila kemudian Garinda bertanya.

Aku menghela napas panjang, lalu menoleh padanya dan tersenyum.

"Ya," jawabku. "Nggak apa-apa."

Ini sedikit memalukan, tetapi bekas dari kecelakaan itu adalah aku nggak bisa lagi memandang mobil dengan cara yang sama. Selain nggak berani menyetir lagi,i sensasi dingin di tengkuk dan juga air liur yang mendadak mengental di tenggorokan itu selalu ada setiap kali aku hendak menaiki mobil, termasuk sebagai penumpang. Karena itu, aku memilih menggunakan ojek online dan hanya naik taksi ketika benar-benar terpaksa. Aku sudah bilang bukan bahwa mobilku rusak parah sampai ke tahap biaya perbaikannya akan sama mahal dengan membeli yang baru? Aku sudah menjual mobil itu dengan harga berapa pun yang ditawarkan, dan nggak berniat membeli mobil lagi seumur hidupku. Lagi pula, aku juga nggak punya uang.

Ketika pikiranku sudah lebih tenang, aku bisa melihat situasi di sekitarku dengan lebih baik. Mobil sudah melaju pelan di jalan raya, seorang pria paruh baya mengendalikannya dari balik kemudi. Aroma parfum mobil yang harum tercium di hidungku, bercampur dengan parfum pria yang duduk di sebelahku.

"Omong-omong," Aku baru sadar satu hal. "kita mau ke mana?"

Kenapa aku nggak memikirkan hal ini sebelumnya? Bertemu dengan pria asing dan berbahaya seperti Garindra di larut malam seperti ini, aku nggak sedang menggali kuburanku sendiri, kan?

"Makan malam?" Garindra balas bertanya. "Cara paling gampang supaya kita bisa sekalian berdiskusi."

"Selarut ini?" Aku tertawa geli. "Yang buka jam segini palingan restoran cepat saji 24 jam. Pak Garindra kan nggak mungkin makan fast food."

"Garindra."

"Maaf?"

"Cukup panggil saya Garindra. Kamu nggak lagi tugas jaga."

Oh. Bisakah begitu?

"Dan kenapa kamu berasumsi saya nggak bisa makan fast food?" tanya pria itu.

Kali ini aku terdiam. Benar juga. Kenapa aku yakin sekali Garindra nggak makan fast food? Tapi ... bukankah semua orang kaya memang nggak makan fast food? Maksudku, selain concern soal kesehatan, mereka punya banyak uang untuk mendapatkan makanan yang sama lezatnya dengan kadar gizi yang baik dan nggak berpotensi membuatmu terkena kanker beberapa puluh tahun kemudian.

"Tapi kamu benar, anyway," kata Garindra lagi sebelum aku menjawab. "Saya memang nggak makan fast food, dan kita nggak akan ke restoran semacam itu."

Lebih tepatnya, Garindra membawa kami ke sebuah restoran sushi. Aku belum pernah mendengar tentang restoran bernama ANATA, sushi by Chef Takizawa ini, tetapi rasa nyaman langsung terasa begitu aku memasuki bangunan berbentuk rumah tradisional Jepang, di balik pagar yang cukup tinggi. Pelataran parkirnya luas dan terkesan hangat dengan lampu-lampu taman kekuningan. Banyak tumbuhan di sana, sehingga di siang hari aku yakin suasananya begitu hijau.

Aku nggak yakin sebuah restoran sushi masih buka di waktu-waktu seperti ini. Namun, begitu Garindra memasuki rumah, seorang pria Jepang berseragam koki menyapanya dari balik meja bar yang rapi. Mereka berbincang dalam bahasa Inggris, yang intinya Garindra berterima kasih karena Chef Takizawa berkenan menerimanya malam-malam begini. Yep. Kurasa pria yang menatapku sembari tersenyum ini adalah Chef Takizawa sendiri.

Seorang pria lain yang lebih muda mengantarkan aku dan Garindra ke ruangan privat yang berada di dalam sisi restoran. Melihat bagaimana seluruh restoran kosong dan kursi-kursi di luar sudah rapi, pastinya Garindra "memaksa" restoran ini untuk menjamu kami di luar jam operasional. Ruangan itu berukuran 2 x 2,5 meter dengan meja pendek dan tatami yang terlihat elegan. Aroma teh menguar begitu pintu dibuka. Sebelum pergi, pria itu memutar piringan hitam di sudut ruangan, melantunkan lagu-lagu tradisional Jepang.

Setelah pria itu pergi dan pintu ruangan menutup, aku masih tercengang. Semua kemewahan ini ... untuk apa? Maksudku, ini obrolan soal kerja sama, kan?

"Pernah ke sini sebelumnya?"

Pertanyaan Garindra memupus ketakjubanku. Aku menggeleng pelan. Mana mungkin aku punya uang untuk mengakses makan malam mewah semacam ini? Bahkan kurasa ini bukan tipe restoran yang akan muncul di konten-konten food vlogger karena hanya orang-orang seperti Garindra yang tahu informasi tentang restoran ini.

"Kamu bakal suka makanannya," kata Garindra lagi. "Nggak ada duanya."

Oh. Itu membuat segalanya menjadi lebih buruk. Mungkin aku harus mencatat malam ini sebagai salah satu malam bersejarah dalam kehidupan kulinerku yang nggak akan pernah terulang.

Garindra menuang teh dari teko yang cantik ke dua cangkir kecil.

"So .... Aratrika Rayya." Pria itu menggeser satu cangkir ke hadapanku, lalu mengangkat cangkirnya sendiri sampai ke bawah dagu. "Gimana kerja di OMC? Apa sudah ada pasien yang lebih menyebalkan dari saya?"

Eh?

Nada Garindra datar-datar saja ketika mengatakan hal itu. Ekspresinya juga tenang, nggak ada kejengkelan atau kemarahan karena dianggap menyebalkan. Semata-mata kesadaran penuh bahwa kelakuannya sebagai pasien memang merepotkan.

"Belum," jawabku, berusaha bodo amat. "Kamu yang paling menyebalkan."

Aneh. Garindra malah tertawa.

"Senang mendengarnya," sahut Garindra acuh. "Kamu punya pacar?"

Butuh waktu panjang untuk aku bisa memahami pertanyaan Garindra. Ketika sudah paham, barulah aku tersentak kaget, karena pertanyaan itu sangat aneh! Kenapa topik pasien OMC bisa berbelok ke soal pacar?!

"Ap–apa maksudnya?"

"Jangan salah paham," jawab Garindra, meletakkan cangkirnya di atas tatakan dengan gerakan elegan. "Saya sedang mencari tahu apa ada titik temu di antara kita berdua."

"Titik temu?"

Garindra mengangguk. "Nggak tahu kamu gimana, tapi saya nggak percaya sama kebetulan. Semua kejadian di dunia pasti ada sebab dan akibat. Kita merasa sebagai dua orang asing yang dipertemukan dalam situasi janggal, kan? Tapi saya yakin di suatu tempat, di hidup kita yang lalu, ada satu titik temu. Pasti ada hubungannya. Mungkin kita mengenal orang yang sama, atau tanpa sadar terlibat dalam sesuatu yang sama, entahlah. Itulah yang saya ingin cari tahu malam ini."

Cara Garindra memaparkan persoalan memang seperti businessman sejati. Jelas, runut, dan masuk akal.

"Singkatnya, kita harus saling mengenal untuk mencari tahu akar persoalannya."

"Oh, begitu," gumamku.

"Oke, kita bisa mulai dengan OMC." Garindra menegakkan posisi duduknya. "Kamu bilang, kamu mulai kerja di OMC sembilan tahun yang lalu."

Aku mengangguk.

"OMC diambil alih oleh yayasan sekitar waktu yang sama. Tahun 2014, kan? Nah, saya sendiri baru terjun langsung ke perusahaan tujuh tahun yang lalu, alias tahun 2016."

"Sebelumnya gimana?" tanyaku. "Maksud saya, sebelum di perusahaan, kamu di mana?"

"Nggak di mana-mana. Sebelum itu, saya cuma cucu seorang kakek-kakek yang kebetulan kaya raya."

Terlalu merendah. Aku tahu Garindra sudah terjun di perusahaan kakeknya sejak remaja. Sejak usia 17 tahun Garindra sudah sering dilibatkan dalam kegiatan perusahaan meski hanya sebagai pemagang muda. Ketika usianya 19 tahun, sambil menempuh pendidikan di luar negeri, Garindra bergabung dengan tim business development Grup Nagaprana. Lalu saat usianya 23 tahun, Garindra sempat menjadi vice president departemen operasional, sebelum harus menggantikan posisi kakeknya yang meninggal dua tahun kemudian.

Pengetahuan tentang Garindra yang detail ini lumayan mengejutkan diriku sendiri. Apa sekarang aku punya memori fotografis yang bisa menghafal deskripsi di artikel berita yang hanya sekali kubaca?

"Kamu yakin kita nggak pernah ketemu sebelumnya?" tanya Garindra.

Aku menggeleng.

"Mungkin ...." Pria itu terlihat sedikit nggak yakin. "Mungkin ... di OMC di awal-awal kamu bekerja? Mungkin saya pernah ikut kakek tinjauan kerja?"

Aku menggeleng.

"Coba ingat-ingat lag–"

"Kalaupun pernah, pertemuan itu nggak meninggalkan kesan," potongku. "Buktinya saya nggak ingat apa pun, kan?"

Garindra tertegun sesaat. "Benar juga."

"Tapi mungkin saya sering lihat kamu di OMC beberapa bulan belakangan, karena waktu kita ketemu malam itu, saya juga merasa sedikit familier," tambahku buru-buru, entah kenapa aku sedikit merasa bersalah dengan kalimatku sebelumnya. "Maaf, daya ingat saya agak payah sejak kecelakaan kemarin."

"Kecelakaan?" Garindra menelengkan kepala, terlihat tertarik.

Oh. Ini menarik. Bukankah dia begitu mencurigaiku sebagai mata-mata? Kukira Garindra pasti sudah memeriksa riwayatku sampai ke akar-akarnya, terutama yang berkaitan dengan OMC. Ah, mungkin dia hanya terlalu sibuk untuk itu.

Secara singkat aku menceritakan tentang kecelakaan yang kualami dan perawatan panjang yang kujalani setelahnya. Obrolan kami sempat terhenti ketika Chef Takizawa datang membawa hidangan yang beliau siapkan secara khusus. Berbagai jenis sushi terhidang dalam piring-piring datar, lengkap dengan kecap asin, wasabi, dan bumbu-bumbu lain yang aku nggak tahu namanya. Chef takizawa menjelaskan singkat setiap sushi yang dia sajikan, lalu mempersilakan kami menikmati makan tengah malam ini.

"Sejauh apa ingatanmu yang terhapus?" tanya Garindra, alih-alih lekas menyentuh makanannya, malah menatapku penuh minat. "Maksud saya–"

"Cuma kejadian persisnya kecelakaan itu," jawabku cepat. "Saya cuma ingat menyetir pulang setelah shift dua, hujan deras, dan jalanan tol sedikit tergenang, lalu saya terbangun di rumah sakit hampir sebulan kemudian. Jadi, kalau yang Anda maksud ingatan yang berkaitan dengan pengetahuan sebagai tenaga medis, itu nggak terpengaruh sama sekali," terangku panjang lebar.

Aku sangat takut Garindra menangkap kesan yang salah dan meragukan kemampuanku untuk merawat pasien. Bukan berarti itu mustahil, karena aku juga sempat meragukan diri sendiri ketika menyadari ada ingatan yang bolong di kepalaku. Aku takut pengetahuan dan kemampuanku sebagai perawat ikut terhapus. Namun, hal itu ternyata nggak terjadi. Sejauh ini, aku nggak menemukan hambatan apa pun saat bekerja–kecuali pasien menyebalkan seperti Garindra.

"Begitu, ya," gumam Garindra. Pria itu mengambil sepotong sushi tuna dengan supitnya. "Apa kamu ingat sesuatu selama kamu koma?"

Aku menatap pria itu dengan bingung.

"Saya dengar, orang dalam kondisi koma tetap bisa merasakan dan mendengar situasi di sekitarnya. Ini nggak ada hubungannya sama masalah kita. Saya cuma kepo. Di film-film sepertinya begitu."

Aku tersenyum tipis. Baru kali ini pertanyaan Garindra terkesan polos dan spontan, bukan pertanyaan penuh interogasi.

"Sekilas-sekilas. Yang jelas, saya nggak pernah sendirian." Setelah mengatakan hal itu, aku baru sadar bahwa ucapanku terkesan menyindir Garindra yang dirawat di rumah sakit sendirian. "Bukan! Maaf, bukan itu maksud saya. Bukan berarti ...." Garindra hanya mengangkat alis, sepertinya nggak menangkap rasa bersalahku. Jadi, aku memutuskan untuk nggak memperjelasnya. "Ya ... saya ingat lagu kesayangan saya selalu diputar. Dan ... oh, saya juga ingat gumaman-gumaman yang mampir di telinga saya. Nggak semuanya jelas, tapi seseorang selalu berusaha mengajak saya ngobrol–yang pastinya adalah Tante saya, karena beliaulah satu-satunya keluarga saya."

"Orangtua?"

"Sudah meninggal semua."

"Saudara?"

"Anak tunggal."

"Suami?"

"Belum menikah."

Keheningan terjadi selama beberapa detik setelah berondongan pertanyaan Garindra yang setelah kupikir-pikir agak kurang ajar itu. Namun, aku sedang nggak berniat memikirkannya lebih jauh saat ini.

"Saya juga hanya punya satu keluarga," ucap Garindra beberapa saat kemudian dengan nada yang lirih. "Itu juga sudah nggak terjangkau lagi."

Kata-kata Garindra terdengar lebih pedih dari yang seharusnya. Gelayut sedih di matanya terlihat semakin pekat, dan itu membuat hatiku sedikit perih. Garindra orang yang menyebalkan, aku tahu. Sampai beberapa saat lalu aku masih membencinya. Namun, mendengar kalimat itu dari bibirnya secara langsung, rasanya seperti hatiku diguyur air es. Sakit dan dingin. Seolah-olah aku bisa merasakan kepedihan dan kesepian pri di hadapanku ini.

"Almarhum kakek?" tanyaku dengan tenggorokan tersekat.

Alih-alih menjawab, Garindra hanya menatapku. Mungkin dia mencurigai bagaimana aku tahu banyak tentang hidupnya, tapi aku nggak peduli.

"Yah ... setidaknya kita menemukan satu kesamaan di sini." Tiba-tiba Garindra tersenyum lebar. "Kita sama-sama sebatang kara."

Kalau itu aku sudah tahu.

"Kalau begitu, ceritakan tentang pacarmu," pinta Garindra tiba-tiba. "Mantan-mantan pacarmu juga boleh."

"Hah? Buat apa?" tanyaku terkejut.

"Siapa tahu saya mengenal mereka. Atau ada informasi penting yang bisa kita gali dari sana."

"Tapi kenapa harus saya?!" tanyaku sengit. Kenapa obrolan ini terkesan satu arah padahal jelas-jelas Garindra menyebut kata diskusi sebelumnya. "Kenapa cuma saya yang diinterogasi? Diskusi harus dua arah tapi kamu juga nggak nyumbang info apa-apa!"

"Kamu ingin saya yang mulai duluan?" Garindra mengangkat sebelah alisnya. "Baiklah. Ini akan lumayan panjang, tapi ... salah satu mantan pacar saya namanya Saira Anita. Kamu tahu ... ya, yang jurnalis itu."

Ketika dia bilang akan lumayan panjang, faktanya memang begitu. Garindra menceritakan deretan mantan-mantannya, sampai cewek basket yang dipacarinya waktu SMP. Dan aku hanya bisa mendengarkannya tanpa banyak protes, sambil menahan hasrat ingin gumoh. Gila, jumlah pacar Garindra jauh lebih banyak daripada seluruh temanku dijadikan satu!

"Masih ada?" tanyaku putus asa. Aku bahkan sudah nggak ingat lagi siapa nama pacar terakhir yang dia sebut tadi. "Kalau boleh, dikirim lewat email aja."

Sadar aku muak, Garindra malah tertawa kecil. "Giliranmu."

Sontak aku menggeleng. "Nggak ada. Lanjutkan aja soal mantanmu tadi."

"Come on. Itu sudah semua dan sekarang giliranmu."

Aku menggeleng.

"Kamu bilang diskusi harus dua arah? Saya kan sudah cerita bagian saya!"

Aku berdecak. "Maksudnya, nggak ada! Saya nggak punya mantan pacar yang bisa diceritain!"

Sesaat Garindra menatapku dengan ekspresi melongo yang terlalu polos, sampai aku nggak jadi kesal.

"Kamu ... nggak pernah pacaran?" tanya pria itu nggak yakin.

"Pernah, tapi saya nggak yakin itu relevan."

Garindra berdecak. "Penting. Come on. Ceritakan saja."

Aku menghela napas panjang. "Saya cuma pernah pacaran satu kali. Waktu kuliah. Cuma dua tahun. Putus baik-baik."

"Namanya?"

"Arman," jawabku. "Dia juga perawat. Senior saya di kampus. Kami putus setelah dia lulus dan mulai bekerja di luar kota. Nggak pernah ketemu lagi sampai sekarang."

"Oh, gitu," kata Garindra pendek, setelah beberapa saat terdiam dan terlihat berpikir. "Lalu setelah Arman? Nggak ada lagi?"

Aku menggeleng. "Sampai hari ini."

"Kenapa?" Garindra terlihat penasaran. "Apa kamu mendadak memutuskan untuk berprinsip tidak mau pacaran, maunya langsung menikah?"

Aku menatap pria itu sengit, tapi Garindra hanya balas menatapku dengan sebelah alis terangkat.

Namun, aku harus mengakui satu hal ini. Ngobrol dengan Garindra nggak seburuk yang kubayangkan. Meski menjengkelkan karena dia terlihat sengaja, cerita tentang mantan-mantan pacarnya itu punya poin lucu juga. Garindra juga nggak segan menceritakan tentang orang-orang aneh yang ditemuinya di dunia bisnis. Lantas, aku tanpa sadar menceritakan tentang orang-orang di lingkungan rumahku, termasuk Pak Samuel yang aneh itu. Obrolan santai bersama Garindra semacam ini nggak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya.

Tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Sushi-sushi di piring sudah sepenuhnya habis. Entah apa pemicunya, setelah pembicaraan panjang lebar, di titik ini aku dan Garindra sama-sama diam. Garindra memutar-mutar jari di pinggiran gelas ocanya, sementara aku berusaha menangkap syair lagu Jepang yang terlantun dari piringan hitam.

"Ini ... nggak ada gunanya, ya, kan?" tanya Garindra tiba-tiba. Nadanya tiba-tiba terdengar letih dan frustrasi. "Kita nggak menemukan apa pun."

Garindra benar. Obrolan kami sudah begitu panjang, tetapi titik temu itu nggak ketemu. Dilihat dari sisi mana pun, hidupku dan hidup Garindra terpisah jauh dan nggak ada jalur penghubung.

"Saya tetap nggak ngerti," kata pria itu lagi. "Saya nggak nemu kemungkinan penjelasan yang masuk akal."

"Kita masih bisa pake cara lain," jawabku cepat. "Kita bisa cari tahu dengan cara lain."

"Cara lain apa? Saya bahkan nggak tahu kita harus mulai dari mana."

Otakku bekerja keras. Lalu ... pemikiran itu muncul begitu saja di pikiranku. Bagaimana jika salah satu dari kami memang nggak bersalah? Maksudku, bagaimana kalau ini hanya soal seseorang memanfaatkan seseorang untuk menjebak orang lain? Dalam hal ini, tentu saja Garindra, karena aku nggak punya musuh. Mungkin aku hanya seseorang yang kebetulan ada di waktu dan kesempatan yang salah.

"Ini aneh," gumamku, lantas menjadi sangat antusias. "Oke, ini sederhana, dan aneh juga kita nggak kepikiran sejak awal."

Garindra menatapku dengan ekspresi tertarik. "Gimana?"

"Hal terakhir yang saya ingat sebelum kejadian hotel adalah pesta lajang sahabat saya, Yana. Kenapa kita nggak mulai dari sana? Kita bisa cek CCTV atau ... semacamnya?"

Awalnya Garindra hanya menatapku dengan pandangan skeptis, seolah sedang menelaaah proposal bisnis. Namun, beberapa saat kemudian, pria itu mengangguk.

"Oke, itu masuk akal," katanya pendek.

Aku menarik napas panjang, luar biasa lega. Sebuah kelegaan yang kemudian memantik kepanikan dalam diriku. Kenapa aku selega ini? Apa karena aku masih punya kesempatan untuk membuktikan bahwa kecurigaan Garindra salah, atau karena aku nggak ingin "urusan" kami berakhir sampai di sini?

(*)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro