Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Orang Asing

Ada banyak hal nggak terduga yang kualami selama 32 tahun hidupku. Tetap diterima kembali bekerja di OMC setelah lebih dari 6 bulan absen adalah salah satunya. Namun, hal itu masih bisa kumengerti. Mungkin kinerjaku selama bertahun-tahun sebelumnya bagus. Mungkin juga OMC sedang membutuhkan banyak tenaga kerja khususnya perawat setelah pandemi Covid-19 yang cukup membuat institusi kesehatan babak belur. Intinya, meski nggak terduga, aku masih bisa menganalisa sebuah penjelasan yang menjadikan fakta tersebut masuk akal.

Namun, hal yang terjadi di hari pertamaku di bangsal Tesla hari ini benar-benar di luar nalar dan prediksi.

Aku yakin pria itu juga mengingatku. Pupil mata yang melebar di bawah alis terbelah itu, yang lantas kemudian menyipit, membuatku yakin pria itu juga terkejut, sama sepertiku. Dia mengenaliku, tetapi kecepatan pria itu untuk mengendalikan diri sangat mengagumkan. Sesaat kemudian ekspresinya kembali datar, menjurus ke dingin. Aras yang nggak menangkap keanehan apa pun dengan cepat menanyakan kondisi terkini pasien dan aku berusaha untuk fokus dengan mencatatnya di buku catatan. Aras juga menginformasikan penggantian perawat dan memperkenalkanku sebagai perawat yang bertugas.

Garindra Rakai Prana. Begitu nama yang tertera pada rekam medis dan juga gelang pasien di tangan kirinya. Meski saat ini penampilannya terlihat pucat dan rambutnya sedikit acak-acakan, aku yakin dia adalah pria yang sama. Baju pasien nggak bisa menahan auranya yang sedikit dingin juga kesan "kejam" di wajahnya yang mengintimidasi itu.

"Dia siapa, Mas?" tanyaku, setelah kami menyelesaikan proses timbang terima dan kembali ke nurse station. Aku nggak sanggup menahan rasa penasaranku lebih lama lagi.

"Dia malah lebih VVIP dibandingkan pasien-pasien VVIP lainnya, Ya." Aras meringis. "Terutama buat orang-orang kayak kita."

Aku mengerutkan dahi. "Orang-orang kayak kita?"

"Pak Garindra itu yang punya OMC."

"Hah? Serius? Bukannya Pak Michael?" Aku bingung.

Aras menggeleng. "Pak Michael itu Direktur OMC, kan?"

Aku mengangguk.

"Nah, Pak Garindra itu bosnya Pak Michael."

Bosnya bos? Aku masih belum paham sepenuhnya, tetapi Aras kemudian menerima telepon lalu pamit pergi dengan buru-buru, meninggalkanku dalam kebingungan–setelah mengingatkan untuk mengantarkan pasien Tesla 7-C ke ruang endoskopi.

Bagaimana mungkin aku nggak tahu bahwa pria itu pemilik OMC? Padahal aku sudah sembilan tahun bekerja di sini. Setahuku, OMC dikelola oleh Yayasan Bunga Negara yang berada di bawah naungan Nagaprana Group. Benar, memang serumit itu gurita di dunia bisnis. Makanya aku enggan berpusing-pusing memahami lebih lanjut, karena itu nggak terlalu berpengaruh juga buat hidup karyawan-karyawan level dasar sepertiku. Mengetahui siapa bosku, nama lengkap beserta gelar–yaitu dr. Michael Wibowo, Sp.JP (K), MMRS, FIHA–itu sudah cukup.

Ekspresi pria itu kembali terlintas. Keterkejutannya hanya bertahan sedetik, selebihnya, pria itu bersikap seolah nggak pernah terjadi apa-apa. Dia hanya menjawab pendek-pendek ketika ditanyai tentang kondisinya dan nggak pernah melenceng dari pertanyaan. Bahkan ketika aku mendorong kursi rodanya menuju ruang endoskopi yang berada di gedung lain, pria itu tetap saja bungkam. Seolah tragedi terikat di hotel itu nggak ada. Aku penasaran dan mulutku gatal ingin bertanya, tapi sikapnya membuatku segan. Dia mengabaikanku. Lagi pula, aku kan sedang bekerja sementara dia adalah pasienku. Rasanya nggak etis bila aku mencampuradukkan pekerjaan dengan hal-hal di luar pekerjaan.

Aku menelan ludah, memutuskan untuk bersikap sama sepertinya. Kutatap fitur belakang dan atas pria yang tengah kudorong di kursi roda. Ponselnya stand by di pangkuan, dan selama perjalanan menuju ruang endoskopi ini sudah dua kali pria itu berbicara melalui telepon membahas pekerjaan. Wajahnya terlihat masam, seolah nggak rela berada di atas kursi roda dengan pergelangan tangan yang dibebat perban. Aku nyaris yakin, seandainya tangannya nggak cedera, pria itu akan membuka laptop dan bekerja di atas kursi roda.

Aku berdeham. "Keluarganya sedang pergi ya, Pak?" Aku berusaha bersikap ramah.

Hasilnya? Keheningan. Pria itu tetap sibuk dengan ponselnya seolah aku hanya bagian dari udara. Sial! Dia benar-benar mengabaikanku? Ini kan nggak sopan! Apa susahnya menjawab pertanyaanku? Terlebih kami pernah bertemu dan mengalami pengalaman aneh bersama, kan?

Namun, itulah yang terjadi dan terus terjadi. Pria itu nggak menjawab pertanyaanku, membiarkanku dengan jengkel terus bertanya-tanya. Padahal ini juga sangat membuatku penasaran. Biasanya pasien selalu didampingi keluarga. Namun, kenapa pria ini sendirian? Sejak tadi aku nggak melihat ada penunggu di kamarnya. Tempat tidur khusus penunggu di kamarnya rapi, nggak menunjukkan tanda-tanda ditempati. Aku sempat melihat nama Darmo Bekti di kolom wali pasien yang ada di dokumennya, tetapi pria ini jelas-jelas pergi ke ruang endoskopi sendirian.

Sudahlah, itu bukan urusanku juga.

Salah seorang perawat klinik penyakit dalam menyambut ramah ketika mereka tiba di ruang endoskopi. Perawat itu menyapaku dan kami berbincang sejenak. Perawat ini nggak asing, tapi aku juga nggak tahu namanya. Begitulah bekerja di bidang ini. Nama urusan belakangan, detail tempat bertugas lebih mudah diingat.

Kuberikan data pasien kepada perawat penyakit dalam tersebut.

"Selamat pagi, Pak Garin," sapa perawat itu kepada pasienku sangat ramah.

Jujur saja aku jadi merasa agak bodoh karena nggak tahu siapa pasien ini. Apa hanya aku yang begitu? Tunggu, apa semua ini bahkan masuk akal? Bagaimana mungkin pria semuda ini bisa memiliki rumah sakit yang demikian besar? Aku yakin Garindra nggak lebih tua daripada Aras.

Perawat itu bertanya apakah Garindra puasa selama 8 jam, dan dijawab dengan anggukan singkat.

"Kalau begitu, mari, Pak. Dokter Igna sudah menunggu."

Setelah Garindra dan perawat masuk ke ruang endoskopi, aku dilema. Haruskah aku kembali ke bangsal Tesla untuk mengerjakan hal lain? Mestinya endoskopi memakan waktu minimal 30 menit. Namun, menilik Garindra adalah VVIP, aku takut membuat pria itu menunggu terlalu lama untuk kembali ke kamar.

Akhirnya aku memilih untuk mengungsi ke ruangan staf laboratorium, nggak jauh dari situ. Sembari menunggu, aku nggak tahan untuk mencari tahu. Kubuka peramban di ponselku dan kuketik keyword "Garindra Rakai Prana". Begitu hasilnya muncul, aku segera melahapnya dengan cepat dan tercengang-cengang dengan cepat pula. Aras nggak salah ketika bilang Garindra adalah bosnya Dokter Michael–sehingga secara nggak langsung, bos kami juga. Sekarang, sekelebatan kesan nggak asing yang kurasakan malam itu jadi masuk akal. Aku pasti pernah melihat Garindra wara-wiri di OMC tanpa kusadari.

Artikel berita ataupun informasi yang tersedia tentang Garindra sebenarnya nggak banyak, tapi cukup jelas. Biar kuuraikan secara singkat. Garindra Rakai Prana adalah cucu dari Kresna Prana, pendiri sekaligus direktur grup Nagaraprana yang sudah lama meninggal. Kisah hidup Garindra bisa dibilang bombastis, yang sekaligus juga tragis. Kedua orangtuanya meninggal dunia karena kecelakaan pesawat ketika Garindra berusia 10 tahun. Sejak saat itu, Garindra berada di bawah pengasuhan sang kakek. Karena dia adalah pewaris satu-satunya–Kresna Prana hanya memiliki seorang putra, yaitu ayah Garindra–dia pun digembleng untuk menjadi penerus dan pewaris sejak masih kanak-kanak.

Sayangnya, tragedi hidup pria itu belum selesai. Ketika Garindra berusia 25 tahun, sang kakek meninggal dunia. Alhasil, seluruh tanggung jawab perusahaan jatuh ke tangan Garindra yang masih sangat muda. Namun, hasil penggemblengan sejak dini itu ada gunanya juga. Sejak menjadi presiden direktur grup Nagaraprana tujuh tahun lalu, hasil pencapaian Garindra nyaris menyamai kakeknya. Sebuah kesuksesan yang datang di usia muda.

Setelah menyerap semua informasi yang tersedia, aku tercenung. Garindra seperti tokoh di dalam novel saja. Prestasi dan kesuksesannya terasa surreal, dan aku merasa kami hidup di dunia yang sangat berbeda.

Pertanyaannya, kenapa aku bisa terikat di kamar hotel dengan pria "menyeramkan" seperti itu? Kenapa dan siapa yang melakukan ini semua? Apa tujuannya? (*)

Sudah hampir pukul 13.00 ketika aku akhirnya bisa menikmati makan siang. Aku bohong ketika bilang mau sarapan dua porsi kepada Bu Gendhis. Aku bahkan nggak sempat sarapan. Setelah mengantarkan Garindra kembali ke kamar, aku harus mengurus administrasi pemulangan pasien Tesla 7-A–si influencer viral, dan ada tindakan lain-lain yang lumayan menyita waktu.

"Udah makan, Sar?" tanyaku kepada Sari, salah satu anggota shift pagi.

"Udah, kok, udah."

Dalam satu putaran shift di bangsal VVIP, ada tiga orang perawat yang bertugas. Hari ini selain aku dan Sari, ada juga Agus yang kini sedang izin untuk salat di musala. Sari bukan orang asing juga bagiku. Kami satu angkatan ketika masuk ke OMC sembilan tahun lalu. Sedangkan Agus baru masuk dua tahun kemudian.

"BTW, pasien Tesla 7-C itu masuk dari kapan, Sar?" Aku kepo tipis-tipis.

"Pak Garindra?" Sari memastikan dan aku mengangguk. "Kemarin siang. Katanya muntah darah dan hampir pingsan waktu rapat di kantor."

Sambil menikmati nasi bungkus, aku ber-oh pendek. "Kalau tangannya?"

"Kalau itu karena jatuh pas sepedaan dua hari sebelumnya. Ada retak di telapak tangan."

Aku manggut-manggut. "Banyak kejadian apes juga hidupnya. Apa dia sering ke sini?"

"Nggak bisa dibilang sering, tapi emang setahun ini gerd-nya lumayan parah. Kambuh-kambuhan. Ada kayaknya tiga kali rawat inap."

Aku ber-oh panjang. "Dia orangnya memang dingin gitu, ya?"

Sari menatapku dengan pandangan aneh. Aku meringis. Aku yakin sekarang Sari tahu betapa ketinggalan info sekaligus keponya diriku. Yah, aku memang bukan penikmat gosip, baik di kantor maupun di TV. Sesaat kemudian Sari tertawa.

"Mana gue tahu," jawabnya masih dengan nada geli. "Gue nggak sedekat itu buat nilai gimana kepribadiannya Pak Garin."

Sayangnya, obrolan menarik itu terpaksa diakhiri ketika datang panggilan pasien dari kamar Tesla 7-E. Sari bergegas datang, meninggalkanku yang sedang menyelesaikan sarapan sekaligus makan siang ini.

Tepat di suapan terakhir, panggilan pasien kembali datang. Kali ini dari kamar Tesla 7-C. Seperti otomatis, aku mendesah lelah. Sari sudah kembali dari kamar 7-E, tapi tentunya nggak enak kalau aku langsung memintanya ke ruang 7-C. Jadi, dengan sangat terpaksa kusingkirkan bungkus nasiku lalu cuci tangan. Setelah memastikan penampilanku rapi–setidaknya nggak ada cabe nyelip di gigi–aku melangkah gontai menuju kamar Tesla 7-C.

Sebenarnya aku agak segan bertemu dengan Garindra, karena bingung harus bersikap bagaimana. Namun, tentu saja aku nggak bisa mengabaikan panggilan dari pasien, terlebih, bila pasien itu adalah yang paling VVIP dari yang VVIP.

Aku berdiri di depan pintu 7-C. Setelah menghela napas panjang, aku mengetuk pintu. Ruang itu masih semewah dan seberantakan yang kuingat. Beberapa berkas berserakan di sofa penunggu yang ada di sisi kanan, beberapa di nakas samping. Sang pasien berbaring di ranjang, menatapku dengan pandangan tajam.

"Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" sapaku seprofesional yang kubisa.

Pria itu hanya menatapku. Semakin lama matanya semakin menyipit, seolah sedang menarik berbagai hipotesis di kepalanya. Aku mulai berdiri gelisah. Kenapa pria ini nggak mengatakan apa pun? Kenapa pria ini hanya menatapku dengan pandangannya yang menyipit itu, seolah sedang melakukan screening padaku? Apa kali ini Garindra akan membahas soal malam itu? Setengah mati aku ingin bertanya lebih dulu, tapi takut menyalahi SOP.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" ulangku hati-hati.

Pria itu akhirnya bereaksi. Tangannya mengusap rambut dengan sedikit frustrasi.

"Jawab dengan jelas," katanya dengan suara yang berat, seperti yang kuingat malam itu. "Sebenarnya kamu siapa?"

Aku terkejut. Ya, aku sudah menduga Garindra akan menyinggung soal tragedi di hotel, tetapi kenapa dia malah menanyakan identitasku? Bukankah tadi Aras sudah menyebutnya dengan jelas?

Sebelum aku sempat menjawab, pria itu sudah melontarkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang nggak kalah mengejutkan. "Apa yang kamu lakukan di sini? Apa ini ada hubungannya dengan kejadian malam itu?"

"Saya–"

"Apa kamu sengaja mengikuti saya, hah? Saya kan sudah bilang nggak terjadi apa-apa di antara kita. Kamu mau apa dari saya?"

Jika tadi aku terkejut, kini aku tercengang. Nada suara Garindra penuh dengan kesan curiga dan tuduhan. Nggak bisa terhindarkan, rasa tersinggung muncul di hatiku. Harga diriku tersentil karena pria ini sepertinya menganggapku sengaja mengikutinya sampai ke rumah sakit ini. Haah. Yang benar saja!

Aku sengaja mengambil jeda waktu beberapa detik untuk menata emosiku sendiri. Kuingatkan diriku sendiri bahwa aku adalah seorang perawat. Salah satu prinsip dasar yang kupegang sebagai perawat adalah, semenyebalkaan apa pun paasien yang kuhadapi, aku tetap harus berbicara dengan nada do. Setelah cukup mengendalikan diri, aku berdeham lirih lalu tersenyum profesional.

"Saya Aratrika Raya, Pak," jawabku dengan nada tenang. Nggak lupa kurapikan ID card yang tersemat di dada, memastikan agar pria itu bisa membacanya. "Saya bekerja di sini."

"Bekerja di sini?" Garindra menyipitkan mata. Ekspresinya jelas-jelas curiga. "Jangan bohong!"

"Bagaimana bisa saya berbohong, Pak?" Aku tersenyum. "Saya memang baru ditugaskan di ruang Tesla 7 per hari ini. Sebelumnya saya di ruang Newton 2."

Percuma saja aku menjaga suara dan ekspresi agar tetap profesional, karena pria ini terlihat nggak terkesan. Ekspresi curiganya nggak berkurang.

"Kamu yakin nggak ngikutin saya karena kejadian itu? Kamu mau minta pertanggungjawaban?"

"Pertanggungjawaban apa? Kamu sendiri yang bilang untuk melanjutkan hidup dan–" Aku terkesiap. Sial. Aku lepas kontrol. Kesabaranku terlalu rapuh. Kuhela napas panjang untuk menenangkan diri, lalu kukembalikan ekspresi ramah default-ku. "Maaf, Pak Garindra. Tuduhan Bapak nggak masuk akal. Saya sudah bekerja di OMC sejak tahun 2014. Ya, ini tahun ke-9 saya. Kalau Bapak nggak percaya," aku balas menyipitkan mata. "saya rasa Bapak bisa mengakses data pegawai dengan mudah untuk mengeceknya."

Pria itu masih memandangku dengan curiga, tetapi aku tahu dia nggak punya bukti apa pun untuk menguatkan kecurigaannya.

"Lalu bagaimana dengan malam itu?" tanyanya dengan nada menuntut. "Apa yang terjadi malam itu?"

Lagi-lagi aku menghela napas panjang. "Seperti yang sudah saya bilang berkali-kali, saya juga nggak tahu. Saya sama bingungnya dengan Bapak, dan ... seriusan ini Bapak memanggil saya ke sini cuma untuk menanyakan hal ini?" tanyaku nggak habis pikir.

Kali ini Garindra nggak bereaksi. Aku menunggu sampai beberapa saat, tetapi pria itu hanya menatapku dalam diam.

Sudahlah.

"Kalau memang nggak ada yang penting, saya–"

"Tolong naikkan ranjang, dan saya mau makan."

Aku terdiam sebentar. Otakku berusaha keras mencerna topik yang berbelok tajam seperti jalur Cadas Pangeran. Namun, untung saja setelan default-ku juga mudah dikembalikan.

"Baik."

Dengan sigap aku memutar crank tuas di bagian bawah hospital bed untuk menaikkan bantalan ranjang. Berikutnya aku mengambil overbed table dan melintangkannya di depan Garindra. Nampan jatah makan siang kusiapkan dengan rapi pula.

"Silakan, Pak." Aku tersenyum.

"Saya nggak bisa makan dengan tangan kiri."

Senyumku memudar. "Bapak butuh bantuan?" tanyaku nggak yakin. Apa ... umm ... apa Garindra minta disuapi?

Pria itu hanya memandangku tajam dan menuntut seolah sedang mengatakan "Menurut lo?" tanpa suara.

Aku menelan ludah. "Apa tidak ada keluarga yang bisa membantu, Pak?"

"Apa kamu lihat ada orang lain di sini yang bisa bantu saya makan?" (*)





Halooo~

Semoga kalian masih ingat cerita ini yang terakhir kali aku update bulan Juli lalu wkwk

Berhubung Simpul Ingatan sudah tamat di Karyakarsa, aku akan mulai melanjutkan update di Wattpad juga ya. 

Catat jadwal update-nya ya!

Simpul Ingatan update setiap tanggal 1 dan 15. 

Yang enggak sabar menunggu update sebulan 2x bisa langsung meluncur ke KK saja yaaa. Ehehehe

Yuuk, yang udah lupa sama cerita ini bisa ulang baca dari awal ;p

Disclaimer: meski terkesan ada teka-teki, basic-nya cerita ini bergenre romance, guys. Jadi tak perlu khawatir ada adegan-adegan sadis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro