PROLOG
Desiran ombak menyapu pandangannya yang tengah berteduh pada lambaian lembut pohon kelapa. Meski panas tak semenyengat tadi, tapi ia masih enggan beranjak dari peraduannya.
Sesekali angin menerpa, membuat helaian rambut menutupi sebagian wajah manisnya. Membuat tangan mungil itu menyeka perlahan apa yang menghalangi pandangannya.
Batuan kokoh di tengah pantai menambah takjub pada objek mahakarya Tuhan. Seakan timbul pertanyaan, bagaimana bisa sebongkah batu di tengah lautan masih tetap berdiri kokoh, padahal ombak menghantamnya silih berganti?
"Ah, sudahlah, hal itu juga tak termasuk pada soal ujian Fisika," pikirnya.
Pandangan Fara beralih pada tiga anak kecil yang begitu bahagia bermain di pinggir pantai. Tawa riang yang memperlihatkan gigi gingsul itu menjadi perpaduan yang manis untuk gadis kecil ini.
Satu lagi, anak kecil dengan rambut keriting itu memilih berlarian untuk menghindari kejaran teman di belakangnya. Hanya dengan kaus singlet dan celana pendek yang pas mereka kenakan membuat mereka asyik dengan dunianya sendiri.
"Aaaw ...," lirih anak laki-laki berambut lurus.
"Ivan," teriak dua temannya yang langsung menghampiri.
"Mana yang sakit?" tanya gadis kecil dengan kunciran kuda di kepalanya.
Anak laki-laki itu hanya bisa mengaduh dan memegangi lututnya yang mulai membiru.
Pembicaraan mereka selanjutnya samar-samar terdengar oleh Fara, yang pasti kepedulian satu sama lain itu menjadi hal berharga, belum tentu mereka dapatkan dari teman lainnya.
Hal yang membuatnya kembali terharu saat gadis itu dan anak laki-laki berambut keriting sedang berusaha membantu temannya untuk bangkit dan berjalan menuju istana pasir yang sempat mereka buat sebelumnya.
"Kita buat istana pasir saja, daripada Ali jatuh lagi, Bar," kata gadis kecil yang diketahui bernama Raya.
Hanya dengan hal sederhana bermodal pasir pantai, sekup dan ember mainan, dan irama ombak membuat tawa mereka terukir kembali. Bahkan tak perlu waktu lama apalagi hingga berhari-hari, senda gurau khas mereka dengan mudahnya kembali.
Terkadang, usia remaja tak seindah katanya. Balada dengan bumbu asmara memang menjadi hal yang sering dibicarakan. Tetapi, melihat kepolosan dan saling menerima apa adanya dari pertemanan mereka membuat Fara ingin kembali ke masa itu.
Fara menghela napas, berat. Segaris senyuman terlukis di wajahnya. Sungguh, ada perasaan menggelitik di dasar hati melihat interaksi mereka yang begitu hangat. Layaknya tanpa beban, tak mempedulikan orang sekitar, yang terpenting bagaimana caranya agar mereka bisa bermain bersama.
Namun keadaan telah menjungkir balikkan semuanya. Apa yang ia lihat di hadapannya sunggung berbanding terbalik dengan kenyataan yang di hadapi. Membayangkan apa yang terjadi padanya akan terjadi pada mereka saja membuatnya canggung. Hal itulah yang ia rasakan saat ini.
Sebuah luka yang mampu mengoyak sebuah ikatan, entah dari mana semua berawal, yang pasti retak itu tetap nyata. Untuk membuat ikatan itu utuh kembali bukan hal yang mudah, karena terkadang perasaan dan pikiran seseorang tak berjalan beriringan. Ada ego yang menggelapkan semua, bahkan merelakan hubungan yang semula menyenangkan menjadi hal yang meresahkan.
"Mau, nggak?" Suara yang terdengar akrab itu membuatnya sadar dari lamunan.
Fara menoleh pada tangan yang memegang satu kotak makan bekal mereka.
"Boleh," kata Fara seraya mengambil isi dalam kotak makan.
"Ada yang aneh, ya?" Gandhi menyilangkan kakinya dan menatap ke arah ombak yang berkejaran.
Fara diam, mencoba mencerna maksud Gandhi namun belum menemukan jawaban.
"Melihat mereka main pasir padahal hari mulai gelap gitu jadi ingat kita," ujar Gandhi, "bedanya kita main ke time zone sampai lebih jam sembilan malam, bolos les pula karena udah telat."
Fara menoleh pada Gandhi yang tertawa kecil tanpa peduli bagaimana perasaannya saat itu.
"Tapi, kalau cuma berdua mainnya kurang seru."
"Kenapa?" kata Fara yang mulai berkaca-kaca.
"Nggak ada saingan buat ketawa keras, Ra, yang bikin pengunjung lain melihat sinis ke arah kita, " Gandhi tertawa kecil mengingat saat itu.
"Berdua pun udah cukup, kok. Meskipun nggak seramai dulu, nggak ada suara tawa yang bikin pengang telinga, bikin sakit perut kalau udah bercanda. Masih bisa main semuanya, nggak ada yang berubah," nada suara Fara meninggi.
"Kamu, kenapa?" Gandhi menyeka beberapa helai rambut yang menyentuh pipi Fara.
"Bukan salah aku, kan, kalau tiba-tiba dia pergi, nggak bisa nemani kamu buat rusuh. Lalu, kita nggak bisa main lagi? Nggak bisa menciptakan keseruan yang lebih?"
"Ra, dengar, aku cuma mengatakan apa yang ada di pikiran, nggak ada maksud menyinggung kamu, ini bukan salah siapa tapi keadaan yang berubah," kata Gandhi mencoba menenangkan, "melihat persahabatan anak-anak itu seolah aku melihat kita bersama Wirdan. Iya, memang dia menjauh tanpa kita tahu sebabnya. Tapi nggak ada salahnya kalau kita duluan yang mulai memperbaiki keadaan ini."
Fara menunjukkan wajahnya. "Biar, Gan. Kita harus beri dia ruang buat mikir, kita juga perlu introspeksi diri, mungkin sebelumnya kita berbuat salah. Kita hanya butuh waktu."
Gandhi menghela napas. "Tapi, Ra, kalau kita diam terus lama-lama makin menjauh."
Tak ada jawaban di sana. Fara semakin menenggelamkan pandangannya. Hanya sesenggukan yang kini terdengar berkerajaran dengan debur ombak.
Mentari mulai ikut bersembunyi, mungkin ia muak dengan berbagai drama yang terjadi dalam hidup, dan semburat kemerahan semakin menyatu dengan langit, menandakan bahwa hari ini telah berakhir dengan membawa luka yang belum terobati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro