Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 9

Angin berembus perlahan melewati celah-celah jendela dan pintu yang sedang terbuka di teras. Rumah dengan ukuran minimalis dan berhiaskan beberapa ornamen batuan dengan kayu-kayu berwarna cokelat kehitaman yang menyangga dengan sempurna. Dari dalam dapat terlihat beberapa yang melintas di depan rumah sebelum semburat merah itu semakin menampakkan jati dirinya.

"Cepet banget, ya, udah mau semesteran aja," kata Fara saat mereka bertiga sedang berkumpul di teras rumah.

"Kalau kita menikmati apapun segala hal dalam waktu kita pasti kerasa cepat," jawab Wirdan yang sejak tadi fokusnya tak lepas dengan ponsel di tangan.

"Jadi belajar kita harus lebih giat, otomatis jam belajar barengnya lebih banyak lagi," ucap Gandhi yang mendapat helaan napas dari Fara dan Wirdan.

"Cobalah, Gan, sedikit rileks. Meregangkan otot-otot juga perlu lho," Fara menopangkan dagunya tepat di hadapan Gandhi disertai senyuman yang di buat-buat.

"Waktu kita nggak banyak buat santai-santai, Ra."

"Kaku banget, sih," Fara mendengkus sebal dan menarik lagi bantalnya ke posisi semula.

Wirdan yang melihat mereka dari kursinya hanya bisa tersenyum tipis.

"Anehnya, meskipun kamu mempelajari pelajaran baru cepat bisanya, Gan. Nggak kayak kita, ya, Dan?"

"Setuju. Tapi itu balik lagi sama kemampuan masing-masing, Ra. buktinya dalam hal menggambar misalnya, Gandhi nggak sejago kamu."

"Nggak sejago kamu kali, Dan. Aduh, aku itu paling suka sama cowok yang pinter, maksudnya dia mencintai dan menekuni bidang apapun yang di kuasai sampai dia terlihat ahli gitu. Wah, itu impian banget, entah besok atau lusa kalau punya cowok gitu seminggu deh aku traktir kalian," Fara tertawa kecil membayangkan impiannya yang belum pernah tercapai itu.

"Nah, makanya, Ra. Biar kamu juga mengimbangi dia, kamu harus geli juga tuh bakat atau keterampilan kamu. Kan lebih asik tuh nanti kalau lagi ngobrol dan bahas kesukaan atau kelebihan masing-masing jadi kesannya nggak hanya satu pihak yang menonjol tapi kalian juga," ucap Gandhi dengan berapi-api.

"Emang kenapa, Ra, sama cowok yang biasa aja?" celetuk Wirdan dari kursinya.

"Gimana ya, Dan, selain nilai plus senang gitu lihatnya ada yang patut di banggakan selain teman," ujar Fara yang kini sudah berhias rona merah di pipinya entah sejak kapan.

***

Denting jarum jam masih setia memperdengarkan kepada pemiliknya. Serta lampu belajar yang tetap berpijar itu masih setia menemani seorang pemud yang sejak berjuang lebih keras dari biasanya. Meski ujian semester ganjil di tingkat pertama ini sudah usai, tapi semangat persaingan masih hangat terasa. Rata-rata semua siswa mengukur kemampuan mereka lewat ujian ini, semuanya bersemangat menyambutnya tak terkecuali Wirdan.

Sebelumnya, semua mengenalnya sebagai salah satu siswa dengan bakat bermain gitarnya yang mampu melumpuhkan hati para gadis meski hanya melewatinya. Suaranya yang mendayu menambah kelengkapan harmonisasi saat dipadukan.

Belum lagi jika dirinya sedang melakukan sesuatu dengan serius, hal itu membuatnya menjadi lebih menawan dua kali lipat dibanding dengan biasanya. Karena siapapun bisa melihat garis wajahnya yang lembut, mata berwarna cokelat yang bergerak mengikuti alur kerjanya, goresan alis tebal yang bertautan di sana, serta rambut dengan warna cokelat kehitaman berpadu sempurna melengkapinya.

Namun hingga saat ini hal tersebut belum bisa memikat hati perempuan yang saat ini namanya sedang menari di atas ponselnya. Beberapa kali usaha yang ia lakukan telah dicobanya, bahkan ia mampu belajar keras demi nilai semesteran yang nantinya berharap mendapat nilai yang mampu membuatnya terkesan.

Jari tangannya kini menggeser layar ponselnya. Tarikan napas selalu dilakukan sebelum sepatah kata itu terucap, serta desiran yang selalu hadir membuatnya kelu bahkan untuk menjawabnya.

"Halo."

"Dan, udah tidur?" sapa pemilik suara di seberang sana.

"Belum, ada apa?"

"Nggak bisa tidur, besok pengumuman nilai, kan?" jawabnya lagi.

"Iya, tenang aja kita kan sudah usaha dengan keras bareng-bareng, pasti hasilnya memuaskan."

"Tapi yang aku lihat nggak ada perubahan apapun sama aku, Dan. Beda lagi kalau kamu, udah banyak perkembangan, aku bangga," ujarnya dengan penuh semangat.

Untuk sekian kali, hatinya berdesir lagi dan lagi hanya dengan mendengar pengakuan sederhana darinya. Senyum tipis telah terukir sejak pertama mendengar suaranya dan kini ukiran itu semakin jelas terlihat.

"Percayalah, semua usaha akan mendapat hasil yang maksimal sesuai dengan usaha kita. Kalau kita sudah bekerja keras, bisa dibayangkan hasilnya, kan? Jadi tenang aja. Ya udah, Ra, aku tutup, ya."

Hingga panggilan berakhir, senyum itu masih tersungging di sana.

"Setidaknya, ada hal yang bisa membuatnya terkesan," pikirnya.

***

"Pesan apa, Ra?"

"Eum, mie ayam deh," ujar Fara sambil mengaduk minumannya.

"Oke."

Tepat saat Gandhi meninggalkannya, tergambar jelas di meja yang berseberangan dengannya seorang siswi yang kemarin sempat membuat moodnya berantakan. Siska segera menyadari siapa yang menatapnya intens. Pandangan mereka bertautan, lebih mirip perang dingin dengan jarak jauh.

Raut wajah Fara semakin tak enak saat lelaki dengan dua mangkuk di tangannya sudah tiba dan ikut bergabung. Seketika nafsu makan Fara menurun, apalagi setelah melihat gelagat mereka yang begitu akrab.

"Ada orang yang lari dari tanggung jawab, nih," seru Wirdan yang menambahkan sambal ke mangkuknya. Suaranya cukup terdengar ke meja Fara karena jarak meja mereka yang tak begitu jauh serta nada keras yang di buat-buat.

"Oh, iya nih, emang di kasih tanggung jawab apa, Dan?" Siska langsung paham dengan arah pembicaraannya dan mencoba ikut memanasinya.

"Ada, tugas bikin sesuatu dari ketua umum kita. Bukannya coba usaha dulu, malah nyerah gitu aja sebelum perang dan pergi gitu aja sebelelum selesai ngebahas."

Dasar!

"Oh gitu. Waduh, padahal dapat kepercayaan dari seseorang itu susah lho, harusnya kita yang dapat amanah harus berusaha lebih keras," ujar Siska dengan nada yang semakin keras.

Fara semakin kesal dengan apapun di hadapannya, untuk menghidar sekarang pun sudah tak berpengaruh lagi apalagi membuat pembelaan pada mereka yang hanya menjadi angin lalu belaka.

Untung saja saat ini posisinya sedang duduk, masih ada kontrol untuk menahannya mengacak rambut Siska yang entah kenapa semakin menyebalkan. Fara merutuk dalam hati, mengapa Gandhi tak segera datang. Dia penasaran apakah Gandhi akan tetap menasihatinya jika tahu teman yang selama ini ia bela sikapnya tak semanis dulu.

Pandangan Fara tak lepas dari mereka, bersamaan dengan helaan napas yang tak normal, yang bisa ia lakukan hanyalah mengatur napas dengan tangan yang sejak tadi meremas cup minuman tak bersalah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro