Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 7

Seorang siswa tengah men-dribble bolanya ke atas ring basket secara bersahutan dengan tangan lainnya. Sudah sekitar tiga puluh menit dirinya menghasilkan bermili keringat yang mengucur di atas pelipisnya. Dengan napas terengah, ia melihat sekeliling dan baru menyadari sepasang mata yang sejak tadi tak membuang pandangannya dari area lapangan.

Ia menghentikan permainannya lalu berjalanan menghampiri seseorang dengan membawa sebuah botol di tangan, meski berpenampilan sedikit acak-acakan dengan rambut yang seluruhnya basah, ia tetap yakin untuk berjalan tanpa ada keraguan tidak akan menerima sebuah penolakan.

Fara belum menyadari kedatangan seseorang di sampingnya. Meski pandangannya lurus ke arah lapangan olahraga. Tapi jelas pikirannya masih melayang pada kenyataan yang mengharuskannya melanggar larangan yang ia buat sendiri.

Gandhi duduk di sampingnya dan menyentuhkan botol minuman yang setengah dingin itu ke pipi Fara, sebuah kebiasanya saat menyerahkan minuman padanya.

“Issshh,” seru Fara saat melihat siapa yang memberinya botol minuman.

“Diem-diem bae. Kenapa lagi?”
Fara menghela napas, “aku dapat tugas dari Lia."

"Lia ketua umum ekskul seni? Bagus, kan sudah tugas kamu."

"Buat jaga komitmen itu susah, ya, apalagi sama diri sendiri," Fara menenggelamkan wajah dengan telapak tangannya.

"Wiih, bahasannya sekarang jaga komitmen, berat," Gandhi meledek dengan cengiran sempurna di wajahnya.

"Iisshh, dengar dulu, Gan," Fara berseru kesal.

Gandhi manggut-manggut, dan memposisikan duduknya menghadap Fara sepenuhnya. Serta pandangan tajamnya yang siap menghunus kapanpun.

"Biasa dong lihatnya," Fara mendorong wajah Gandhi hingga berpaling darinya.

"Lha tadi disuruh dengerin, gimana?"

Fara menyipitkan matanya, "masalahnya, tugasnya sama si Wirdan."

"Lalu?"

"Kamu tahu sendiri, kan, Gan, aku sudah janji nggak akan terlibat dengan apapun yang berkaitan sama dia."

Gandhi menarik sudut bibirnya, "Itu artinya, sudah waktunya buat kalian baikan."

"Nggak mungkin."

"Terus kamu mau melawan takdir? Jelas-jelas sudah di beri jalan buat baikan lebih mudah, ini tinggal ngomong aja," Gandhi merenggangkan tubuhnya.

Fara mencerna perkataan Gandhi. Kalau dipikir memang benar, mungkin ini saatnya untuk mereka berbaikan. Namun di sisi lain, Fara ingin mendengar langsung penjelasan dari Wirdan tanpa ia yang meminta. Menurutnya, itu sama saja seperti memaksakan sesuatu dan terlihat tidak tulus. Tetapi kenyataannya, Wirdan semakin menjauh dan belum ada lagi tanda-tanda untuknya menjelaskan semua.

Sedangkan pikirannya tak pernah berhenti berpikir sejak saat itu. hari di mana semua mendadak berubah. Selalau terbesit dalam benaknya mungkin saja ada kesalahan yang membuat Wirdan terluka, tak jarang juga Fara meminta pendapat Gandhi ataupun saling mengingatkan kebersamaan mereka kalau saja ada kata-kata yang membuat terluka satu sama lain, tapi semua itu tak membuahkan hasil. karena yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sikap Wirdan pada Gandhi yang biasa saja tapi pada Fara yang justru berubah seratus delapan puluh derajat.

Huffftt....

“Udahlah, Ra, mending kamu sekarang samperin ke kelasnya Wirdan dan ngomong baik-baik. Gini deh, jangan bahas masalah kalian dulu tapi bahas tugas bersama aja,” ujar Gandhi memberi solusi.

Fara menatap Gandhi mencoba mencari sebuah dukungan, dan Gandhi mengangguk mantap meyakinkannya.

“Memang tugas apa, Ra? Berat, ya?”

“Bikin pamflet.”

Gandhi tertegun. Benar-benar di luar ekspektasinya. Sejak tadi pikirannya menjelaskan, mungkin saja tugas berat seperti menjadi duta ekskul seni yang akan menjelaskan program dan kegiatan bersama Wirdan yang sebenarnya menjadi musuhnya saat ini.

“Ra, itu mah tugas secuil,” Gandhi terpingkal kemudian menunjukkan ujung jari telunjuknya.

“Ih, nyebelin. Ya udah, aku pergi.”
Fara berlalu dari tempat duduknya semula, meninggalkan Gandhi yang terus menertawainya di belakang. Fara semakin sebal karena tak mendapat dukungan untuk terus menghindari Wirdan, mungkin ini yang namanya masalah harus di hadapi bukan dihindari.

Langkah kaki Fara sampai pada keramik lantai di luar ruang kelas IPA 2. Sejak lima belas langkah sebelumnya Fara sudah maju mundur dan meragu untuk meneruskan langkahnya, tapi karena sudah sampai di sini dengan tetap mengenakan kaus olahraga dan satu bekal di tangan, Fara lalu memberanikan diri.

Di mulai dengan mengintip di balik pintu yang di dalamnya terlihat beberapa anak dan yang lain sepertinya sedang keluar karena saat ini adalah waktu untuk istirahat. Fara masih celingukan mencari Wirdan, ia juga belum mengetahui tempat duduk lelaki itu. Sepertinya dia juga sedang ke luar saat ini.

Di dalam terdapat seorang siswi sepantaran dengannya yang merasa terganggu dengan aktifitas Fara memata-matai ruangannya. Dirinya menatap Fara tajam, memindainya dari ujung kaki hingga kepala.

Bukan karena penasaran dengan siapa yang datang, tapi perempuan ini tahu betul jika Fara adalah teman dekat Gandhi yang masuk kandidat siswa yang memiliki fans dari semua kalangan di sekolahnya.

Siswi dengan rambut pirang sebahu itu kemudian menghampiri Fara. “Cari siapa?”

Fara mengacuhkannya dan tetap mencari Wirdan di dalam, siapa tahu tadi luput dari penglihatannya.

“Jawab dong!” bentak siswi yang diketahui bernama Siska.

“Bisa diam, nggak?” Fara mulai gemas dengan kehadiran Siska yang menghalangi pandangannya.

“Eh, nggak sopan, ya. Kalau ada orang nanya itu di jawab!”

Fara mulai mengalihkan pandangan pada makhluk di hadapannya tentu saja dengan pandangan yang tidak mengenakkan. Fara juga mengetahui jika Siska adalah siswi yang di kenal hanya berani bicara di belakang, tapi ciut begitu saja jika kakak kelas melabraknya ataupun orang-orang yang memiliki masalah dengannya lebih banyak. Kabarnya juga, Siska sempat menyebar gosip bahwa dirinya sedang dekat Wirdan.

Tentu saja Fara menatap dengan pandangan sinis padanya, sepertinya memang cocok jika Siska di pasangkan dengan Wirdan.

“Pertanyaanmu itu nggak perlu jawaban.”

Siska mulai terbakar emosi, nampaknya tangan kanannya sudah gatal karena lama tidak menjambak seseorang. Kalau ada lomba jambak-menjambak sepertinya Siska akan menjadi juara umum.

“Eits, mau ngapain? Sayang lho, cantik-cantik tapi dapat predikat tukang bikin onar, nggak malu sama gaya?” Fara tertawa kecil dan sedikit menarik tubuhnya ke belakang. Memang dasarnya bukan pemberani, dirinya akan jaga-jaga takut beberapa menit kemudian Siska menyerangnya.

“Sialan!”

“Aku pamit, ya. Kalau mau berantem di tunda dulu, kita belum persiap secara lahir batin, kan? Aku juga belum persiapan, kamu juga pasti belum. Ya udah, see you, Sis.” Fara mengembangkan senyuman dan melambaikan tangan padanya.

Sebelum Fara meninggalkan tempat itu, dia merasakan hal aneh bahkan Siska tak membalas apapun hanya melihatnya mematung dengan senyuman tipis seolah membiarkannya lepas begitu saja. Fara mencoba tak peduli. Ia mengedikkan bahu dan berbalik menuju kelasnya.

Satu langkah...

Dua langkah...

Tiga langkah...

Bruk!

Fara menubruk tubuh seseorang. Tangan kirinya mengelus puncak kepalanya sendiri yang menciptakan rasa sakit yang teramat sangat. Berbagai makian terlontar dalam hati, bisa-bisanya tak melihat sekeliling hingga menyebabkan sebuah masalah.

Fara melototkan matanya saat mengetahui dengan jelas pemilik sepatu yang sedang melekat sempurna. Tangan kirinya kini beralih menutup mulutnya yang terbuka lebar akibat seruan yang ia ciptakan. Semua mendadak beku, Fara tak berani menatap korban yang telah ditubruknya.

***

TBC. ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro