BAB 5
Senin pagi. Bagi sebagian orang melihat namanya saja sudah berhasil mengundang kantuk, tak jarang juga senin pagi menjadi salah satu hari yang mendapat makian paling banyak. Sisa-sisa weekend masih jelas terasa menyebabkan raga dan jiwa harus menyatu kembali dengan kenyataan.
Namun berbeda dengan hari senin pagi di SMA Karya Bhakti, di mana sebagian besar dari siswinya sangat menunggu saat-saat upacara.
Alih-alih disiplin saat memenuhi lapangan, justru berpura-pura pusing atau sakit adalah salah satu alasan kuat bagi mereka yang haus akan perhatian.
Seperti yang ada di hadapan Fara sekarang, sudah tiga siswi yang di pindahkan di tempat teduh. Fara sudah hafal mana yang benar-benar sakit atau hanya mencari perhatian. Apalagi saat Gandhi yang mendekat, kemampian akting mereka benar-benar meningkat pesat.
Ada lagi pusing yang menular, di mana ada Gandhi sedang menolong siswi yang hampir pingsan, siswi sebelahnya tak mau kalah bahkan rela menjatuhkan dirinya ke lantai untuk di tolong lebih dulu.
Fara menggeleng, tak habis pikir dengan mereka, apalagi setelah mengetahui alasan klasik mereka tidak sarapan sebelum berangkat. Menurutnya kurang kreatif saja membuat alasan dalam demi kelancaran modus mereka.
"Ra, aneh banget tau, masa yang pingsan sama yang ngaku sakit orangnya itu-itu aja," kata Devi dengan polosnya.
"Kurang kreatif ya begitu, Dev, modus biar nggak ikut upacara atau buat deketin Gandhi, beda tipis," Fara memicingkan matanya.
"Tapi Gandhi mau-mau aja bantuin mereka, padahal jelas dia tahu nggak mungkin juga tiap minggu waktunya upacara pingsan terus."
Fara mengedikkan bahu. "Karena cewek cantik kali, ya, Dev?"
"Bisa jadi," Devi manggut-manggut.
"Ah, aku mau percobaan. Lihatin, ya, Dev," Fara bersiap memulai aksinya. Sebentar lagi Gandhi mendekati barisan mereka, beruntung Fara berbaris di belakang menjadikan dirinya lebih mudah menjalankan rencana dadakan. Entah kenapa biasanya setiap barisan yang Fara ikuti adalah tempat populasi para aktris yang sedang berusaha ber-drama queen yang baik.
"Aduh ..." rintih Fara sambil memegangi pelipisnya saat Gandhi tiba di barisan mereka.
"Ra, kenapa?" Gandhi dengan cepat menghampiri Fara. Gandhi heran, karena tidak biasanya Fara mengeluh kesakitan saat upacara berlangsung.
"Gan, ini pusing banget, sumpah, duh," rintihnya sekali lagi, "tolong, Gan."
Sebelum Gandhi menuntunnya ke tempat teduh, berulang kali ia memerhatikan fisik Fara. Kulit yang kuning langsat terlihat baik-baik saja, wajah segar dan tidak pucat, serta matanya yang sedikit melirik padanya karena tak langsung mendapat bantuan seperti yang lainnya.
"Ini kan yang sakit," ujar Gandhi sambil mencubit pipi Fara untuk membuktikan kebohonganya.
"Issshhh, Gandhi, sakit," Fara mengelus pipinya yang mulai memerah.
"Kurang jago ngibulnya, Ra," Gandhi berlalu darinya dengan kerlingan mata.
"Aiisssshh," serunya lagi.
"Berarti kamu bukan termasuk cewek cantik itu, Ra," tawa Devi meledak di sampingnya.
"Sial, niat ingin ngibulin dia malah kena batunya."
***
Upacara hari senin berjalan lancar, meski sedikit kekecewaan di hati Fara masih ada karena Gandhi lebih memilih membantu cewek cantik daripada teman yang selalu ada untuknya.
Kini Fara berjalan menuju tempat anak-anak PMR membantu peserta upacara yang memerlukan bantuan. Setiap senin, Fara memang selalu menunggu Gandhi membereskan peralatan Pertolongan Pertama dan obat-obatan. Sejak dulu ia merasa berjalan bersama kemanapun bersama Gandhi adalah hal yang menyenangkan, paling susah jika Gandhi tiba-tiba sakit dan tidak masuk sekolah, hidupnya terasa ... hampa.
"Mbak Fara? Ngapain di sini," sapa Dinda, siswi kelas sepuluh yang berjalan mendekatinya.
"Ngamatin kalian beres-beres," jawab Fara dengan senyuman terukir.
"Ooh. Eh mbak, mantannya Mas Gandhi siapa?" tanya Dinda tiba-tiba yang membuat Fara langsung menoleh padanya.
"Mantan?"
"Iya, siapa perempuan beruntung yang pernah memilikinya? Mbak Fara nggak tahu?"
Fara menggeleng, selama ini Gandhi hanya selalu bersamanya, tidak ada perempuan lain yang masuk dalam lingkaran mereka.
"Gandhi nggak punya, Din, selama ini dia mana ada waktu pacaran. Udah sibuk sama sekolah apalagi sama PMRnya, kamu tahu sendiri, kan."
"Iya sih, Mbak, Dinda cuma penasaran. Dinda kira Mbak Fara sama Mas Gandhi pacaran," ujar Dinda dengan pandangannya yang tak lepas dari Gandhi.
"Nggak mungkin lah, Gandhi udah sama kayak kakak sendiri, sih, dan kita nyaman dengan pertemanan ini."
Dinda menggeleng, "Dinda yakin pasti Mbak Fara ada rasa buat mas Gandhi."
"Kenapa ngomong gitu? Sok tahu, ah."
"Mbak, setelah Dinda survei nggak ada yang namanya persahabatan murni antara cowok sama cewek apalagi salah satunya memang ganteng atau cantik, terus perhatian atau ada sifat yang masuk tipe ideal kita. Pasti ada secuil, eum seuplik lah sentilan rasa itu," ucap Dinda begitu yakin.
Hah? Suka sama Gandhi? Ini Gandhi, lho? Nggak mungkin, selama ini perasaanku lempeng aja.
Sial, kata-kata Dinda terus terngiang dalam benaknya. Selama ini tak pernah terbesit sedikitpun dalam hidup Fara untuk merubah status pertemanan menjadi lebih dari seharusnya. Baginya untuk membangun sebuah kepercaayaan dalam sebuah hubungan apapun tidaklah mudah. Apalagi jika saat ini mereka percaya bahwa persahabatan adalah hal yang sakral, untuk menghianatinya dengan perasaan yang lebih itu terasa membingungkan.
Fara melotot saat tiba-tiba Gandhi memandangnya dengan senyum penuh arti, tatapan yang siapa pun melihatny akan berkata meneduhkan, serta lambaian tangan yang tertuju khusus untuknya. Perlahan, Gandhi menghampirinya. Berlari kecil agar cepat sampai pada orang yang di tuju. Beradu dengan pacuan jantung yang semakin cepat. Perlahan namun pasti, kata-kata yang Fara terima bak sugesti yang menuntunnya untuk membenarkan isi hati. Namun, pikiran selalu menyangkal dan enggan bekerjasama dengan dasar hati.
***
"Duh," Fara merintih saat melangkah menuju bangku.
"Kenapa, Ra? Akting kamu kurang bagus gitu," kata Gandhi terus terang.
"Nggak, nggak, Gan, ini bukan akting," kata Fara yang memegangi perutnya, "sekarang tanggal berapa?"
"Tanggal lima," tukas Gandhi.
"Aduh," pekik Fara kemudian keluar dari kelas.
Fara berlari kecil segera menuju toilet perempuan. Lima menit kemudian ia segera menuju UKS dengan langkah tergesa.
Sesampainya di sana dengan napas terengah, ia mendapati dokter Nova tak ada di mejanya. Dengan nyeri yang masih terasa, Fara memutuskan untuk berbaring lebih dulu di ranjang pasien.
"Astaghfirullah," seru Fara saat melihat Wirdan sudah berbaring lebih dulu.
"Hei, nggak masuk kelas?"
Seakan tanggap dengan siapa yang datang, Wirdan segera membuka mata. "Kamu sendiri ngapaim di sini nggak masuk kelas?"
"Mau tahu aja," Fara memutar bola matanya.
"Ck, nih dari Lia," Wirdan menyerahkan selembar kertas A4 yang berisi rencana kegiatan perekrutan anggota baru ekskul seni.
"Kamu harus ketemu Lia besok, jangan telat."
"Heh? Aku? Jelas-jelas kamu yang nerima ini," Fara mulai tersulut emosi.
"Lia yang minta sendiri. Nggak percaya aku telpon nih."
Sial, mana perut sakit, bu dokter nggak ada, kenapa harus ketemu sama makhluk menyebalkan ini...
"Nggak perlu, besok aku kesana," teriak Fara mencak-mencak. Lebih sial lagi, untuk kedua kalinya ia tak bisa menolak.
To be continue.
***
Terima kasih teman-teman telah membaca karya odoc pertama ini, semoga bisa menyelesaikan tepat waktu dan mohon maaf apabila ada kesalahan karena tulisan ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran selalu ditunggu. Jangan lupa vote dan comment ya.
See you.❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro