BAB 4
Juli 2017
Hari ini pemandangan di halaman SMA Karya Bhakti sedikit berbeda dengan tertutupi oleh lautan siswa-siswi berseragam hitam-putih yang siap mengikuti MOS hari pertama. Kakak-kakan panitia telah siap memimpin murid baru selama tiga hari ke depan. Secara teratur murid baru memenuhi lapangan utama. Semuanya berbaris sesuai kelompoknya untuk persiapan sebelum upacara di mulai.
Kakak panitia berperawakan tinggi dengan rambut klimis memantau setiap kelompok. Jumlah seluruh kelompok ada 11, dan masing-masing kelompok berbaris dua banjar. Bisa dilihat dari gedung tertiggi sekolah ini sudah layaknya barisan prajurit yang siap bertempur.
Hingga tepat pukul tujuh semua gerbang sekolah di tutup. Petugas upacara dan para guru sudah memasuki lapangan upacara. Namun kegelisahan beberapa penanggung jawab kelompok sangat jelas terlihat saat mereka temui ada murid baru yang terlambat masuk di hari pertama.
"Gandhi, tunggu," ujar gadis dengan rambut kuciran kuda ngos-ngosan.
"Yaah," Gandhi berlutut setelah menerima kenyataan gerbang sekolah benar-benar di tutup.
"Kenapa, Gan?" kata Fara ngos-ngosan.
"Sia-sia kita lari dari depan, Ra," teriaknya dengan putus asa.
"Udah kita duduk dulu," kata Fara yang masih terengah-engah.
"Gara-gara angkot mogok, harusnya jam tujuh kurang lima belas menit kita sudah sampai," ungkap Gandhi tidak menyerah.
"Sudahlah, memang udah jalan kita buat telat. Jadi sekarang kita harus gimana?"
"Tunggu upacara selesai habis itu minta tolong pak satpam," kata Gandhi dengan memejamkan mata.
"Ck, kelamaan."
"Nggak ada cara lain, Ra."
Fara merenung sejenak sembari menghabiskan setengah botol minumannya. Mungkin memang hari ini adalah hari kurang beruntung bagi mereka. Ayah Fara yang tugas ke luar kota, Gandhi yang belum mendapat izin membawa motor sebelum kelas sebelas, dan terakhir angkot yang mereka tumpangi tiba-tiba mogok saat jarak sekolah mereka tinggal satu kilo meter lagi.
"Nah,"
"Dapat ide apa, Ra?" ujar gandhi penasaran.
"Kita pulang aja, yuk."
"Gundulmu a. Kita hari pertama jadi murid baru, mau di orientasi malah ngajak pulang."
Fara terpingkal melihat reaksi Gandhi. Dia sangat suka jika membuat sahabatnya kesal, terlihat menggemaskan.
"Bercanda doang, itu kerutan dekat mata biasa aja dong," tawa Fara semakin keras hingga otomatis memegangi perutnya.
"Permisi, boleh duduk?" kata siswa yang baru datang membuat Fara menghentikan tawanya.
"Waah, gila," ungkap Fara setelah menyadari masih ada yang lebih parah dari mereka.
"Boleh," Gandhi menggeser duduknya.
Keheningan tercipta di sana. Namun fokus Fara tertuju pada name tag peserta MOS dengan nama kelompok yang sama dengannya. Mata Fara berpindah pada baris pertama bertuliskan nama.
"Wirdan Muzakki," desisnya lirih tapi cukup terdengar oleh sang pemilik.
"Iya?"
"Eh, kita satu kelompok," kata Fara sambil menunjukkan name tag yang sama persis.
Wirdan menunduk memastikan apa yang ia katakan benar.
"Iya," Wirdan melambungkan tangannya dan mengajak Fara berhigh-five.
"Kamu kelompok berapa," tanya Wirdan pada Gandhi di sampingnya.
"Dia nggak masuk dalam persatuan," Fara mencoba menggoda Gandhi yang termasuk orang yang tidak mudah marah.
Merasa terpanggil, Gandhi melirik dengan tatapan sinis pada Fara."Awas aja butuh sesuatu."
"Ih, marah, yes," Fara kegirangan mendapati Gandhi tersinggung, biasanya sekeras apa pun dia menggoda Gandhi tak pernah berhasil dan selalu berakhir Fara yang terabaikan. Melihat tingkah Fara dan Gandhi layaknya saudara kandung membuat Wirdan ikut larut dalam tawanya.
"Eh gaes, aku baru ingat ada cara cepat buat masuk," celetuk Fara.
"Nggak mungkin, Ra, udah kita tunggu sampai upacara selesai aja," kata Gandhi dengan kukuh pada pendapatnya.
"Ih, Gandhi, melalui cara ini kita masih bisa lho ikut upacara, ikutin aku, ya."
Tanpa penolakan, Wirdan yang pertama kali bangkit dan membuat Gandhi secara otomatis juga mengikuti rencana nekat Fara,
Kedua lelaki ini mengikuti Fara yang berjalan mengendap-endap terlebih dulu. Sepasang mata mereka menelusuri semua yang ada di sekitarnya, kalau-kalau ada yang memergoki mereka.
Sampai tibalah mereka di samping sekolah. Mereka di hadapkan pada sebuah tembok yang cukup tinggi dan ada tangga kayu yang melekat kuat.
"Maksud kamu, kita manjat lewat sini?" Fara membenarkan pertanyaan Gandhi yang mendadak linglung.
"Waah, dapat dari mana jalan rahasia ini, Ra?" tanya Wirdan yang mulai terkagum.
"Ceritanya panjang nanti aku ceritain, sekarang kita manjat satu-sati, oke."
"Eh, tunggu," kata Wirdan yang mencegah Fara.
"Aku naik duluan, sekalian lihat situasi di dalam," Wirdan langsung bergegas menaiki satu persatu tangga kayu itu.
Setelah situasi dirasa aman, kini gilran Fara yang naik dengan bantuan Wirdan dari atas, disusul Gandhi yang juga terbantu oleh Wirdan. Selanjutnya mereka berjalan perlahan menuju lapangan upacara. Kini terbukti, bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Untung saja mereka cepat-cepat pergi dan menemukan jalan rahasia ini.
"Alhamdulillah, gaes, sekarang mumpung sedang mengheningkan cipta, kita masuk pelan-pelan jangan berisik. Gandhi, take care, ya," Fara tersenyum dan melambaikan tangan pada Gandhi yang akan terpisah dengan mereka.
"Tenang, kepisah satu kelompok aja kok," ucap Gandhi santai.
Dengan penuh keyakinan, akhirnya mereka segera memasuki lapangan upacara dan masuk barisan masing-masing. Beruntung, kakak-kakak panitia juga ikut melaksanakan upacara, sehingga aman untuk mereka bergerak.
***
"Cukup, Gan," Fara melambaikan tangan ke udara sebagai isyarat ia tak mampu lagi melanjutkan belajar malam ini.
"Baru segitu, Ra, masih banyak waktu sampai jam sembilan, terusin dulu," kata Gandhi yang sejak tadi menemani Fara belajar dengan berkutan pada oretan di kertasnya.
"Udah mau pecah nih kepala, daripada aku muntahin ke bumi gimana?" ungkap Fara dengan wajah memelas.
"Ya sudah."
"Uuyeah, akhirnya," teriak Fara karena bebas dari belenggu yang ada.
"Pokoknya ingat, Ra, catet, intinya cara menggambar grafik itu cari dulu titik x saat y = 0 terus kedua titik itu dihubungkan."
"Ssiap boss, udah ketiga kalinya kau mendengungkannya padaku," kata Fara dengan tawa kecil.
"Meskipun sepuluh kali pun biasanya juga cuma numpang lewat aja di telingamu, Ra."
"Hei, kalau ngomong ... suka bener aja, dasar kurang kerjaan," mereka berdua tertawa bersamaan.
"Kamu nggak lihat dari tadi aku ngapain?"
"Ya habisnya, belum tentu keterima jadi OSIS aja merancang visi misi dari sekarang, itu namanya apa kalau bukan kurang kerjaan," kata Fara sambil membereskan buku pelajarannya.
"Ini namanya persiapan biar lebih matang, Ra. Emang bisa nyusun visi misi dalam waktu semalam? Kalau aku nggak bisa," Fara hanya membalas dengan anggukan perlahan sedangkan mata dan tangannya sedang fokus pada benda gepeng itu.
"Ra, masak yuk, laper," rengek Gandhi dengan tangan yang mengelus perut ratanya.
"Mukamu, Gan, nggak pantes banget, yang cool gitu lho."
"Dimana-dimana orang laper tu apa adanya, kalau laper ya laper aja udah,"
Fara tertawa melihat Gandhi yang mulai mencak-mencak. "Jadi yang masak kita atau aku, nih? Nanti ditinggal mainan sama buku lagi, males."
Malam itu, mama memang tidak memasak karena harus ke rumah tante Mela yang baru saja melahirkan. alhasil, mama menyerahkan mandat memasak hingga dua hari kedepan untuk dirinya dan papa. Meski skill memasak Fara belum setara dengan masakan mama, tapi hasilnya cukup di sebut sebagai makanan dengan rasa yang tidak hambar, tidak terlalu asin juga.
"Iya-iya aku bantu, bantu doa."
Fara memutar bola matanya, malas. "Masak apa, ya, Gan? Sepertinya papa makan di kantor, jadi masak buat kita aja."
"Bikin nasi goreng aja, cepat. Kan?"
Fara mencari bumbu instan nasi goreng yang biasanya berjejeran dengan bumbu-bumbu dapur. "Yah, habis, Gan. Tapi masih ada bawang merah, bawang putih, cabai, tomat. Eh, kamu pakai saos apa kecap?"
"Aku nggak suka saos, pakai ini aja tomat terus kasih kecap sedikit."
"Oke, sip," Fara mengambil bahan-bahan yang telah di sebutkan dan mencucinya di washtafel.
"Ra, kamu kenapa berubah pikiran?"
"Soal apa?" Fara mulai memotong bahan-bahan dan menghaluskannya.
"Pendaftara OSIS, kenapa tiba-tiba?"
Belum ada jawaban, entah karena Fara fokus pada pekerjaannya atau sibuk memikirkan jawaban. Sebenarnya, Fara enggan membahas ini biarlah ia simpan sendiri. Namun ia selalu gagal, apalagi jika Gandhi yang bertanya, karena menurutnya, ikatan persahabatan ini harus terbuka. Jika ada masalah atau ada yang terlihat aneh segera dibicarakan.
"Aku mengiyakan kekonyolan Wirdan, dia nantang takut nggak daftar OSIS, sebel," kata Fara sambil memasukkan bumbu yang telah halus ke dalam wajan dengan minyak panas.
"Bagus, dong, aku nggak perlu susah bujuk kamu lagi."
"Ck, masalahnya, aku males berurusan sama dia, makin nyebelin lama-lama," gerutu Fara sambil menumis bumbunya.
"Kenapa kalian nggak ngomong baik-baik, cari akar masalahnya, kalian sama-sam keras kepala," Gandhi frustasi memikirkan ini sejak lama. Sudah berkali-kali ia membujuk keduanya untuk membicarakan apa yang menjadi masalah.
"Kenap nggak dia yang mencoba cerita duluan, yang menjauh siapa? Kalau untuk memahaminya tanpa dia bilang maunya apa, sorry, aku nggak sepeka itu," tolaknya.
Aroma tumisan bumbu-bumbu telah menyeruak ke permukaan. Gandhi yang telah menunggu saat-saat seperti ini segera membantu memasukkan nasi putih yang telah di siapkan. Dengan kekuatan tangan-tangan Fara mencampur semua bumbu dan nasi di dalamnya. Tak lupa juga ia tambahkan garam dan penyedap. Bagian ini adalah hal meneganggkan baginya, terkadang takaran yang telah direncanakan tidak sesuai dengan rasa yang di dapat.
Fara meletakkan nasi gorengnya pada dua piring dengan porsi yang sama. Dia terlalu mencintai kesehatannya di bandingkan harus diet demi penampilan, ia juga belum siap jika harus melewatkan berbagai makanan yang mampu menyentuk syaraf penciumannya.
"Sedep banget baunya, gimana rasanya," kata Gandhi setelah bunyi peritnya terdengar.
"Dah, yuk makan," Fara menyendok nasinya yang sedikit mengepul.
"Eeem, enak, Ra," ujar Gandhi dengan mendaratkan tangannya ke kepala Fara dan mengelusnya perlahan.
Fara menghentikan aktifitas mengunyahnya, matanya sedikit melotot. Pasalnya, selama mereka bersahabat, Fara tak pernah mendapat perlakuan manis seperti ini. Yah, menurutnya manis, seorang Gandhi yang tak pernah memikirkan untuk berkencan dengan perempuan kini mampu membuatnya berpikir tentang sikap yang ia terima darinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro