Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 3

Pandangannya lurus menatap bangku cokelat tak bersalah di hadapannya. Seakan menembus dan membentuk lubang di atasnya. Sesekali ia memijat pelipis karena otaknya yang sedang berpikir keras.

Sejak tadi pagi, bahkan satu pun materi pelajaran hanya mengambang begitu saja. Fara masih heran pada dirinya. Apakah kemarin ia ketempelan? atau ia sedang bermimpi sampai-sampai menyetujui kekonyolan Wirdan.

"Huh," lirihnya dengan salah satu sudut bibir yang terangkat.

Sebelumnya, Fara tak pernah mengubah keputusan terlalu cepat apalagi hanya terpancing emosi seperti kemarin. Ia sangat menjaga setiap keputusan yang akan di ambil.

Kekhawatirannya menjadi boomerang saat ini. Alasan Fara mengatakan tidak akan mendaftar, selain karena sifat malasnya yang akan menghambat konsistenainya, sebenarnya ia memang tak ingin berurusan dengan Wirdan. Tetapi kali ini takdir seakan mempermainkannya.

Memang benar ungkapan, bencilah sesuatu sewajarnya dan cintailah sesuatu sewajarnya.

Fara kembali menghela napas hingga mampu membuat Gandhi yang semula fokus pada bukunya ikut mendengar.

"Kenapa, Ra?" tanya Gandhi saat menoleh ke belakang.

"Gandhi, sini formulir kemarin?"

"Buat apa, Ra?" ujar Gandhi sambil mengerjapkan mata, "kamu ... mau daftar?"

"Udah, sini formulirnya," Fara berdecak.

Gandhi berbalik lagi, mencari formulir pendaftaran itu di antara tumpukan beberapa lembar kertas lainnya. Fara sampai heran sendiri, padahal kertas-kertas itu adalah tumpukan soal-soal ujian bahkan latihan soal-soal mandiri semenjak kelas sepuluh, tapi Gandhi tetap enggan membuangnya. Sebuah koleksi yang ... cukup langka.

"Ini," Gandhi menyerahkan selembar formulir.

Fara dengan cepat meraihnya, tanpa pikir panjang lagi ia melangkah keluar kelas hingga rambut panjangnya bergerak.

"Ra, mau ke mana?" panggil Devi yang baru datang dari kantin. Namun, seperti kuda yang sudah terpacu, Fara juga tak menghiraukannya. Tujuannya sekarang adalah tempat fotokopi.

"Ra," panggil Gandhi yang berlarian kecil mengikutinya.

Langkah Fara semakin cepat, beberapa kali ia melirik jam tangannya, tinggal dua puluh menit lagi istirahat selesai. Ia semakin mempercepat lagi langkahnya, yang ada di pikiran Fara sekarang adalah harus menyelesaikan pengisian formulir hari ini juga. Tentu sebagai pembuktian konyolnya pada Wirdan.

"Fara, kamu mau apa?" Gandhi menahan tangan kanan Fara setelah di depan tempat fotokopi.

"Kalau bawa kertas ke tempat fotokopi mau apa? Ya mau fotokopi, Gandhi, masa iya mau buang sampah? Kertas-kertas kamu tuh perlu di timbang," Fara memutar bola matanya.

"Kenapa sama kertas-kertasku? Nggak ada hubungannya."

"Ah, udah sana minggir aku mau fotokopi ini, sebelum tambah panjang antreannya," Fara telanjur kesal dengan Gandhi yang mengulur waktunya.

"Fara, aku belum ngomong, dengerin dulu," kedua tangan Gandhi kini mendarat di pundak Fara.

"Ya udah cepat, bentar lagi masuk," Fara berdecih.

Sejak tadi Gandhi menahan tawanya, melihat Fara yang tiba-tiba meminta formulir setelah dengan keras menolaknya kemarin. Lalu berjalan dengan cepat tanpa mempedulikan orang sekitarnya adalah hal berlebihan untuk sesuatu yang belum tentu benar.

"Kamu tahu nggak?" tawa Gandhi sudah berada di ujung tanduk.

Fara menggeleng dan mengerutkan keningnya, merasa ada hal aneh antara dirinya dengan teman yang satu ini.

"Ada tulisannya lho di bawah, dilarang memperbanyak, bagi yang membutuhkan hubungi panitia," Gandhi memberi kode untuk Fara memeriksanya sendiri.

Raut wajah Fara seakan mengatakan. Masa? Nggak ada tulisan begitu, ih.

"Lihat dulu," ucap Gandhi sekali lagi.

Kemudian Fara mengangkat kertas yang semula ia genggam ke hadapannya. Matanya melotot melihat tulisan yang Gandhi sebutkan itu tercetak sangat jelas di pojok kiri bawah. Fara meninggikan lagi kertas itu hingga menutupi wajahnya yang bersemu merah jambu setelah mendengar tawa Gandhi yang meledak. Sungguh menggambarkan ciri-ciri tertawa yang sudah tertahan sejak tadi, menyebalkan.

"Udah lihat, kan?" ujar Gandhi dengan sisa-sisa tawanya.

Fara langsung berbalik arah tanpa menanggapi pertanyaan Gandhi. Benar-benar memalukan, sepertinya memang ada yang salah pada dirinya sejak kemarin.

"Ra, kemana lagi?" Gandhi mengikuti di belakang.

"Kamu kenapa nggak bilang sih, Gan?" kata Fara yang mencak-mencak.

"Hei, dari kelas tadi aku manggilin kamu nggak di gubris, kok. Ealah nduk," Gandhi masih tertawa geli melihat tingkah Fara.

"Bodo. Harusnya kamu lebih cepat cegah aku jangan cuma manggil aja. Ya ampun, bayangin diri sendiri jalan sendirian cepat-cepat udah kayak apa," Fara memukul lengan Gandhi dengan keras.

"Makanya budayakan baca dulu, Fara. Ya udah sini ikut aku."

Fara mengekori Gandhi di belakang, ia belum bisa berhadapan dengan Gandhi atas kejadian memalukan tadi. Hingga langkah kaki mereka terhenti di sebuah box ek krim, Fara berani menunjukkan wajahnya.

"Kok kesini?"

"Mumpung lagi baik, aku traktir," Gandhi menyunggingkan senyuman.

"Ha? Serius?" hanya dengan mendengar kata 'traktir' saja sudah mampu memulihkan keadaan Fara. Dengan gerakan cepat, Fara segera memilih es krim yang ia mau.

***

"Kamu kenapa, Ra, tiba-tiba berubah pikiran?" celetuk Gandhi saat mereka sedang menikmati es krim masing-masing di meja nomor sebelas.

Kantin sekolah mereka memiliki beberapa spot berbeda. Ada minuman, makanan berat, makanan ringan, dan spot es krim tempat mereka saat ini, dan setiap spot memiliki penggemarnya masing-masing.

"Sepertinya permohonan kamu sedang dikabulkan, Gan, makanya aku berubah," kata Fara sekenanya.

"Serius, Ra."

"Nggak apa-apa," Fara menggeleng.

Gandhi hanya mengangguk, ia sudah hafal dengan mau Fara, jika dirinya mengatakan tidak apa-apa artinya pasti ada apa-apa, dan hanya perlu waktu untuk menunggunya menceritakan.

"Udah habis?" Gandhi menarik selembar tisu dan diberikan pada Fara. Fara mengangguk perlahan.

"Bantuin berdiri," Fara mengulurkan tangannya yang membuat Gandhi tak bisa menolak.

"Manja," Gandhi mendengus sementara Fara tertawa kecil.

"Bad mood kamu agak beda ya sekarang, Ra, biasanya corat-corer kertas atau gambar sesuatu, ini malah buru-buru ke tempat fotokopi," sekali lagi Gandhi melepas tawa mengingat hal yang baru saja terjadi.

"Mulai lagi ketawanya," kata Fara sambil mencubit perut Gandhi, "diam nggak?"

"Iya-iya ampun," Gandhi meringis kesakitan.

"Entahlah, bad mood kali ini lagi beda aja."

"Biar ada variasi gitu, ya, unik juga." Fara menoleh pada Gandhi dengan kerutan di dahi. Terkadang keabsurdan itu menjadi hiasan tersendiri dalam hidup.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro