BAB 29
Seorang pemuda dengan penampilan seperti biasanya, rambut klimis meskipun sedikit bergelombang dengan warna cokelat kehitamannya, sedang membersihkan semua kaca yang ada di setiap gedung SMA Tunas Bangsa. Sebelum pulang sekolah pun ia harus menunaikan kewajibannya untuk membersihkan toilet dan juga taman, lebih tepatnya membantu petugas kebersihan untuk meringankan pekerjaannya.
Sudah hampir satu bulan ini Wirdan secara terus-menerus melakukan rutinitasnya seperti itu. pada awalnya banyak pasang mata yang memandangnya dengan tatapan penuh kebencian, berbagai cemoohan juga ia terima sangat gencar, tetapi masih saja ada di antara mereka yang mengaku sebagai penggemar dengan suka rela membantunya bersih-bersih taman bahkan toilet.
Beberapa juga ada yang memandang mereka-mereka yang sedang membantu Wirdan adalah perbuatan bodoh yang dilakukan. Padahal sah-sah saja membantu kelancaran dalam membersihkan lingkungan terlebih lagi ini adalah lingkungan sekolah mereka sendiri.
"Mas Wirdan, biar aku aja yang nyapu terus buang ini ke tempat sampah," ujar salah satu siswi yang sedang membantu Wirdan.
"Udah biar aku aja, ini sudah waktunya pulang, kan."
"Ah, masih jam dua juga kok, Mas, tenang aja. Aku merasa lebih sehat kalau ngelakuin kayak gini."
Wirdan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Disti yang keras kepala tetap ingin membantunya sementara Wirdan tetap melanjutkan pekerjaannya yaitu memangkas rumput-rumput liar.
"Mas Wirdan kok tahan sih sama mereka yang udah ngatain kayak gitu?"
"Ya, mau gimana lagi itu juga salah aku, terima saja resikonya, dengerin aja tapi jangan terlalu masukin ke hati," ujarnya.
"Wah, kalau Disti udah nggak kuat kali, Mas, bisa-bisa pindah sekolah," kata Disti yang tetap menyapu.
"Nggak gitu juga, Dis, semuanya bisa diperbaiki kok. Emang dengan kamu pindah sekolah kamu akan terhindar dari masalah lain?"
"Hehe, iya juga sih, Mas."
Disti memberhentikan aktifitasnya lalu duduk di samping Wirdan.
"Sebentar lagi Disti kelas sebelas nih, Mas. Mas Wirdan juga kelas dua belas terus lulus," kata Disti menghela napas.
"Iya bagus dong, artinya kan naik kelas," jawab Wirdan santai.
"Ih, Mas Wirdan gimana sih, itu artinya nanti kita mau pisah."
"Iya harus, Dis, kan kita punya jalan masa depan masing-masih, gimana sih?"
"Ah ribet ngomong sama, Mas." Wirdan hanya diam saja dan tetap meanjutkan pekerjaannya.
"Eh, Mas suka lagu apa?"
"Apa aja sih, asalkan enak di denger."
"Ya udah aku puterin lagu, ya," kata Disti dengan senyum mengembang.
Sebuah lagu dari Adera dengan judul Lebih Indah telah terputar di sana. Untung saja sekitar tempat mereka bersih-bersih pun lumayan sepi sehingga tak memerlukan speaker untuk mengeraskan suaranya.
Dan kau hadir merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku setinggi angkasa
Membuat ku merasa sempurna
Dan membuatku utuh tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya, kaulah yang terbaik untukku.
Suara Disti mengikuti lirik dan iringan lagu. Dia adalah salah satu adik kelas Wirdan yang juga mengikuti ekskul musik sebagai vokalis. Alunannya beriringan dengan semilir angin menghampiri mereka.
Pandangan mata Wirdan melintas pada kelasnya yang juga berdampingan dengan kelas dua belas IPA 1. Masih banyak teman-temannya maupun penghuni kelas di sebelahnya yang belum beranjak untuk pulang. Di saat-saat jatuh seperti ini semua terlihat mana yang benar-benar teman dan mana yang hanya singgah tanpa tinggal.
Suara Disti yang menyanyikan bait terakhir mengalun merdu di telinganya.
Ku percayakan
Seluruh hatiku padamu
Kasihku satu janjiku
Kaulah yang terakhir bagiku
Saat Disti kembali menyanyikan bagian reef-nya. Fara dengan rambut panjang terurainya sedang tersenyum dan bercanda bersama teman lainnya. Memakai jaket berwarna kuning muda dengan tas yang sudah bersandang di punggungnya serta smile eyes yang selalu menghiasi wajah cantiknya. Membuat yang memandangnya turut mengikuti irama senyumannya.
Sesadar-sadarnya, Wirdan masih menyimpan rapi perasaan itu untuknya. Meski tak dapat ia pungkiri, luka yang di sebabkan olehnya juga lebih banyak daripada perjuangan mendapat perasannya. Bersamaan dengan berakhirnya lagu dari Adera, Fara juga berlalu meninggalkan kelasnya.
***
Wirdan menyelesaikan pekerjaannya, ia juga mengantar Disti ke pintu gerbang sekolah dan menunggunya di jemput, saat Disti beralalu dengan mobil hitamnya. Wirdan berbalik ke arah parkiran untuk mengambil motor dan bersiap untuk pulang.
Tepat saat ia akan menuju tempat di mana ia memarkir motornya, hampir saja Wirdan menabrak Fara. Perempuan yang beberapa saat lalu sempat ia pikirkan kini benar-benar ada di hadapannya.
Fara membuang muka lalu cepat-cepat ingin berlalu dari hadapannya. Kali ini Wirdan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk bicara dengannya. Sudah sekian lama sejak saat terakhir mereka bertemu di ruang guru dengan sebuah insiden memalukan yang ia buat sendiri. Kini ia harus mengambil waktu agar dirinya sendiri tak menyesal. Tangan Wirdan mencegah Fara untuk berlalu dari hadapannya.
"Lepasin, nggak," kata Fara dengan nada sedikit menyentak.
"Kita butuh bicara, Ra."
Fara mendongak menghadap Wirdan. "Mau bicara apa? Selama ini kamu kemana? Nyusun strategi buat hancurin sahabat kamu?"
Mendengar perkataan Fara, Wirdan melepaskan tangannya.
"Kamu nggak tahu, Ra, kenapa aku bisa bertindak sejauh itu?"
"Untuk apa aku tahu sekarang? Kenapa kamu nggak jelasin dari aja dari awal?"
"Dan kenapa kamu nggak cari aku, Ra? kenapa kamu bahkan nggak tanya kenapa aku bisa menjauh dari kamu? Kamu seapatis itu, Ra," kata Wirdan yang mengeluarkan yang ingin ia sampaikan.
Fara menatap Wirdan beberapa detik sebelum menjawabnya.
"Aku bahkan bingung, Dan, harus gimana. Aku nunggu kamu buat cerita semuanya. Mau tanya kamu secara langsung seperti saran dari Gandhi yang diulang-ulang pun aku takut kamu tersinggung. Keesokannya aku mau tanya langsung lagi, kamu malah sikapnya berubah. Aku kasih waktu buat kamu mikir, biar kamu cerita semuanya," secara tak sadar air mata yang tertahan tadi mengalir begitu saja, Fara menghapusnya dengan tetap menatap Wirdan dengan kekesalannya.
Wirdan tak suka melihat perempuan menangis apalagi ia harus menyaksikannya sendiri tepat di hadapannya seperti ini. Semua kalimat-kalimat yang ia susun melebur dengan sendirinya dan lenyap di telan waktu, yang bisa ia lakukan hanyalah terpaku di sana. Namun ia tak bisa lagi menahan semuanya, belum tentu saat-saat seperti ini akan terjadi lagi, Wirdan harus mengungkapkan semuanya.
"Itu karena kamu, Ra. Aku suka kamu, tapi kamu nggak pernah sekalipun melihatku karena yang terlihat olehmu selalu Gandhi," kata Wirdan dengan terus terang.
Mendengar ungkapan dari Wirdan, Fara semakin mengeraskan tangisannya, kemudian berbalik berpaling darinya. Bahkan untuk mengulurkan bahunya sebagai tempat bersandar ataupun tangan untuk menghapus tangisnya pun Wirdan tak sanggup.
Fara tambah merasa bersalah dengan pengakuan Wirdan seperti itu. ia telah membuat sahabat baiknya melakukan kesalahan yang bersumber darinya. Setelah Fara meredakan tangisannya, ia kembali berbalik ke belakang dengan Wirdan yang masih menatap kosong.
"Maaf, kalau penyebabnya itu aku. Jujur, Dan, kalaupun kamu bilang dari awal aku nggak akan marah atau gimana, kita udah kenal cukup lama kita juga teman dekat harusnya semua yang kita rasakan harus tersampaikan," Fara menghela napas, "satu hal lagi, aku nggak pernah lebih memandang siapapun baik itu Gandhi maupun kamu."
Wirdan menggeleng. "Lalu gimana sama persaan kamu sendiri sekarang, Ra? kamu nggak bisa bohongi perasaanmu sendiri, kamu ada rasa untuk Gandhi sejak dulu. Kalaupun kamu baru menyadari sekarang, perasaan itu sudah terpancar sejak lama, Ra. aku nggak bisa bayangin kalau harus mengaku hal ini lebih awal akan berakhir sama seperti yang kamu katakan, pasti kita akan utuh lagi sebagai teman dekat, ada salah satu yang terluka itu pasti."
Fara terdiam sejenak dan membenarkan semua kalimat Wirdan.
"Aku usaha mati-matian buat terlihat sama seperti Gandhi, aku harus bersaing dengan sahabatku sendiri agar bisa terlihat membanggakan sepertinya," Wirdan tertawa seakan mengejek diri sendiri, "dan hasilnya apa? Aku malah terlihat bodoh dan jahat di mata kalian. Tapi, nggak apa-apa, aku puas kalian nggak bisa masuk jadi anggota OSIS dan bersamaan menemukan aku sebagai pelakunya. Aku juga masih punya harga diri, Ra, daripada kalian menemukan aku dengan keadaan bersalah lebih baik mengakui kesalahan sendiri, itu lebih baik."
Fara tetap terdiam dengan tangisan lirih yang mengiringinya.
"Jangan merasa bersalah, Ra, justru aku sangat berterima kasih kalian sudah hadir dalam hidupku, banyak hal yang aku lewati dengan kalian. Lihatlah, aku merasa lebih baik sekarang," Wirdan tersenyum tulus sebelum meninggalkannya.
"Satu lagi, Ra, jangan nangis di hadapanku, ya," kata Wirdan kemudian berlalu meninggalkan Fara yang masih meredakan emosinya.
***
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro