BAB 25
Fara menatap dengan sendu ke arah papan pengumuman. Di sana tertulis "PEKAN MAKRAB 2019 di PRIGEN, PASURUAN" sebuah acara rutinan setiap tahun yaitu Malam Keakraban yang selalu dilaksanakan SMA Tunas Bangsa. Sudah lima kalinya Fara memandang kosong ke arahnya hari ini, dan tibalah sore ini semua siswa-siswi kelas sebelas termasuk dirinya berangkat dengan berbagai persiapan. Semuanya berkumpul terlebih dahulu di sekolah untuk check in dan memastikan semuanya hadir.
Acara ini bertujuan untuk lebih mengakrabkan semua siswa kelas sebelas serta membahas kegiatan di luar akademik misalnya rencana untuk berlibur bersama seusai ujian atau kegiatan lainnya.
Masing-masing kelas didampingi oleh dua guru penanggung jawab, satu guru untuk penanggung jawab laki-laki dan guru lainnya untuk penanggung jawab perempuan karena bus yang mereka gunakan nanti di pisah antara bus laki-laki dan perempuan.
Terlihat di lapangan utama SMA Tunas Bangsa seorang guru sedang memerintahkan semua muridnya untuk segera berkumpul dan memberikan sedikit pengumuman penting dan juga hal-hal yang harus di perhatikan selama perjalanan. Fara melangkah dengan lesu ke sana, karena memang sebenarnya ia tidak ingin mengikuti acara MAKRAB saat ini, tapi daripada dia harus menjalani hukuman dan denda lebih baik memaksakan diri untuk tetap ikut.
"Faraaa," teriak Devi lalu menggandeng lengan Fara yang sedang berjalan menuju bus.
"Duduk sama aku, ya," Kata Devi lagi dengan wajah cerahnya sore ini, tapi di balas dengan anggukan perlahan oleh Fara.
Mereka memilih tempat duduk nomor lima dari belakang, karena bagian depan sudah penuh oleh siswi lain. Seperti biasa Fara memilih tempat duduk di samping jendela karena ia sangat suka pemandangan saat perjananan. Seperti beberapa hari sebelumnya terdapat beberapa pasang mata yang sedang memandangnya dengan sinis ataupun sekaligus mencibir tepat di depannya. Meskipun Fara mencoba tak peduli tapi hatinya tak bisa berbohong dan itu membuat hatinya sakit.
Sayup-sayup terdengar, beberapa ada yang bilang bahwa dirinya tidak bersyukur dan menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi anggota OSIS. Ada lagi yang mengomentari dirinya sebagai penguntit Gandhi, karena kemanapun Gandhi berada ia selalu mengikutinya, an berbagai komentar lain yang tak ia ingat tetapi masih melekat kejamnya dalam hati.
"Ra, mau ini nggak?" kata Devi saat menawarkan makanan ringan di tangannya.
"Makasi, Dev, nanti aja, ya," sahut Fara dengan senyuman tipis.
Devi manggut-manggut dan mencoba memerhatikan Fara yang sejak tadi tak bersemangat, padahal ia tahu jika Fara adalah salah satu temannya yang paling bersemangat jika dalam urusan bepergian seperti ini. Bus pun sudah melaju setengah jam yang lalu, dan Devi tiba-tiba teringat dengan apa yang terjadi beberapa minggu ini.
"Ra, gimana Gandhi sekarang? Aku yakin dia nggak bersalah dengan kasus plagiat itu, ini pasti ada yang salah. nggak mungkin Gandhi tega melakukan hal keji kayak gitu, dan aku senang banget karena Gandhi pun nggak mengiyakan kalau dia melakukan plagiat visi dan misi dari Riko," kaa Devi dengan polosnya.
"Gandhi nggak berbuat plagiat apapun tentang visi dan misi itu, Dev!" Fara menatap tajam ke arah Devi. Nadanya sedikit meninggi dan itu berhasil membuat Devi mengerti untuk tidak membahasnya lebih lanjut.
Fara benar-benar tidak ingin membahasnya lebih tepatnya sudah muak dengan berbagai tuduhan yang ditujukan pada Gandhi. Tepat satu minggu yang lalu sejak ia mendapat pernyataan sendiri dari Gandhi, bahwa ia di keluarkan secara paksa oleh Riko saat akan semua anggota OSIS baru akan mengadakan rapat pertama untuk pengukuhan di hari senin nanti.
Fara tak ingin berjalan sendirian saat seharusnya ia berjuang bersama Gandhi dalam menemukan pelaku penyebab rumor itu melalui OSIS. Akhirnya sehari setelah ia memutuskan secara lisan untuk mengundurkan diri di hadapan aggota yang lain, Fara secara resmi menulis surat pengunduran dirinya sebagai anggota OSIS.
Perasaannya campur aduk, penuh kebingunan yang ia alami di semester ini. Mulai dari masalahnya dengan Wirdan yang belum jelas akar masalahnya, di lanjut dengan ia harus melihat sendiri bagaimana kecewanya Gandhi saat menerima kenyataan visi dan misi yang tega di curangi, karena impiannya yang sangat ingin merubah OSIS SMA Tunas Bangsa menjadi lebih baik lagi harus ia lupakan bahkan sebelum sempat mencicipi manisnya berjuang di sana.
Fara menikmati pemandangan yang di sajikan di balik kaca, dengan di sapa jalanan serta pepohonan dan jalanan kota, buliran bening dari sudut matanya ikut menyertai di sana.
***
Sekita dua jam perjalanan telah terlewati dengan lancar. Total bus yang di tumpangi SMA Tunas Bangsa yakni dua belas bus dan semuanya telah sampai di tujuan. Masing-masing dari mereka secara bergantian menuruni bus dengan bawaannya masing-masing.
Fara menuruni tangga bus dengan menyeret tasnya yang lumayan berat. Saat sudah di luar bus, Fara tak langsung beranjak dari sana, ia masih ingin merenggangkan tubuh dan sejenak menghirup udara segar di sini. Tak lama kemudian, tangan kekar dari Gandhi mengambil tasnya dan membawanya menuju teman-teman yang lain. Fara kaget dan langsung mengikutinya karena secara tiba-tiba Gandhi langsung mengambil tas itu.
"Gan, mau di apain tasku, sini balikin," kata Fara yang berusaha mengimbangi langkah Gandhi.
"Santai kali, tas kamu nggak bakal aku buang. Lihat tuh Pak Bahri udah manggilin kita dari tadi," kata Gandhi dengan tetap berjalan dengan cepat.
Fara mendengkus dan tetap berjalan dengan kecepatan normalnya, tanpa ia duga Gandhi berhenti beberapa meter darinya dan menunggu sampai Fara tepat berada di sisinya.
"Lama banget tinggal jalan aja," kata Gandhi lagi.
"Ya kalau mau jalan duluan aja, aku bisa nyusul kok."
"Lebih enak jalan bareng kali, nggak sungkan sama truk yang gandengan?" kata Gandhi yang menyamai langkah Fara meskipun tak secepat langkahnya tadi.
Fara tersenyum mendengarnya dan sukses membuat rona di wajah itu, sebuah kalimat sederhana dari Gandhi yang mampu mengusik lagi hatinya. Fara tak tahan dengan perasaannya, ia berusaha menetralkan dirinya dengan mendelik dan memukul lengan Gandhi yang sedang membawa tasnya.
"Bawa batu, ya, Ra?" kata Gandhi saat meletakkan tas Fara di bawah.
"Biasa cewek, gan, kamu nih kayak nggak ngerti aja, ck."
Sore menjelang malam di villa daerah Prigen, Pasuruan, dengan semburat rna jingga di atas langit berhias banyak tanaman hijau di sekelilingnya menambah keindahan untuk di jadikan objek berfoto.
"Dingin," seru Fara.
"Pakai sarung tangan, Ra."
Fara lalu membuka resleting tasnya, semua perlengkapan ada di sana. Fara memilah satu persatu barang dan belum menemukan satu pasang sarung tangannya.
"Nggak ketemu?" ujar Gandhi yang memerhatikan Fara di sampingya.
"Kok nggak ada?"
Gandhi menghela napas dan segera mencari sarung tangan yang ia bawa lebih dari satu itu.
"Hadeh, bawa tas berat-berat eh nggak bawa sarung tangan," kata Gandhi lalu menyerahkan sarung tangan itu padanya. Fara menerimanya dan membalasnya dengan cengiran bodoh karena kecerobohannya.
***
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro