BAB 23
"Misi yang ketiga adalah memfasilitasi bakat dan minat siswa agar menghasilkan prestas, yang ke empat ...," Riko terus membacakan visi dan misinya. Sementara Fara dan Gandhi samar-samar mendengarnya.
"Gandhi, ih, dia apa-apaan plagiat visi misi kamu. Nggak bisa dibiarin nih," kata Fara dengan emosi yang mulai memanas.
"Kita.lihat dulu, Ra," kata Gandhi yang berusaha menenangkan.
"Kamu nggak dengar itu jelas-jelas plagiat, Gan," Fara kesal dan mulai melangkah menuju panggung.
"Ra, Ra, tenang dulu. Aku yang akan ambil tindakan nanti."
Fara mendengarkan perkataan Gandhi dan kembali lagi ke tempat duduknya. Napas Fara tersengal, sangat kesal apalagi melihat senyum kebanggaan dari Riko yang di sambut riuh tepuk tangan semua yang hadir di sana.
Keringat dingin mulai bercucuran melewati pelipisnya, harap-harap cemas dengan apa yang akan Gandhi sampaikan nanti. Gemuruh dihatinya hadir kembali, kali ini bukan karena sedang berbunga tapi karena kekhawatiran yang perlahan menghampiri.
Riko menyelesaikan pembacaannya kemudian turun dari panggung. Kini giliran Gandhi yang menaiki panggung, Fara terus melihat Gandhi saat maju ke depan. Berharap akan baik-baik saja.
Seperti dua calon ketua OSIS sebelumnya, Gandhi memberi salam terlebih dahulu kepada kepala sekolah, guru-guru, dan siswa-siswi yang datang. Seperti biasa Gandhi mendapat perhatian penuh dan juga tepuk tangan paling meriah.
Karena telah maju ke atas panggung dengan disaksikan banyak orang, Gandhi tetap membacakan visi dan misinya sesuai dengan apa yang ia rancang sebelumnya. Saat Gandhi menyampaikan visi untuk pertama kalinya semua yang ada di ruangan saling menatap satu sama lain.
Begitupun saat Gandhi membacakan misi sampai poin ketiga terdengar berbagai suara dari para siswa-siswi yang berada di sana. Di kursi yang sama, Fara duduk dengan cemas, pasti semua telah salah sangka pada Gandhi. Di tambah lagi saat ia melirik ke arah Wirdan yang sangat senang di sana di atas penderitaan temannya sendiri.
"Keempat, mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler yang menambah erat hubungan antar siswa, dan yang terakhir yaitu memunculkan kegiatan-kegiatan agama untuk memperkokoh iman kepada Tuhan."
Di akhir pembacaan misinya semua orang mulai riuh karena visi dan misi yang dibacakan Gandhi sama persis dengan yang disampaikan Riko. Sebelum Gandhi mengakhirinya, ia memberikan tanda agar semua audiensi tenang.
"Saya ingin mohon maaf sebelumnya, mungkin dalam pembacaan visi dan misi ini ada kesalahan. Seperti yang kalian dengar, yang saya bacakan adalah benar-benar murni yang ingin saya sampaikan," kata Gandhi.
"Lalu bagaimana dengan visi dan misi yang di sampaikan Riko?" celetuk salah satu siswa.
"Ini yang ingin saya sampaikan, saya tidak tahu bagaimana Riko bisa memplagiat visi dan misi saya," kata Gandhi yang diikuti dengan sorakan dari penonton.
"Sebentar, tenang," kata salah satu guru menengahi, "silakan di lanjut Gandhi."
"Mohon maaf sebelumnya, kalau kalian ingin bukti bahwa ini adalah hasil kerja saya dan Rendra saya akan tunjukkan."
"Kamu bilang ini plagiat? Hah?" Riko menertawakan pendapat Gandhi.
"Ini. Kamu masih bilang ini plagiat?" Riko menyerahkan oret-oretan yang isinya persis dengan oretan yang di susun Gandhi, hanya dirubah tulisan tangan orang lain dan di tambah dengan kata-kata lain.
Melihat bukti-bukti yang ada, semua siswa-siswi tambah bersorak pada Gandhi. Bahkan ada seseorang yang maju menghampiri Gandhi dan hampir melayangkan bogem kerasnya. Lalu mengeluarkan kata-kata kasar dan saling tuduh menuduh. Sebagian dari mereka melerai keduanya. Fara tak bisa hanya diam saja, lalu ia menghampiri Gandhi dan berusaha menariknya di tengah-tengah siswa lain yang sedang melerai. Gandhi langsung sadar jika Fara ada di tengah mereka dan begitu khawatir jika nanti Fara kena tonjok atau terjatuh. Gandhi melepaskan diri dari sana lalu menarik tangan Fara menuju luar auditorium.
"Ra, kamu nggak apa-apa?" tanya Gandhi dengan panik.
"Nggak, kamu sampai di tonjok?" tangan Fara memeriksa dagu dan wajah Gandhi takut terjadi sesuatu.
"Nggak, Ra."
"Kenapa semua jadi gini? Si Riko bisa tahu dari mana coba? Kemarin kalian ketemu?"
Gandhi menggeleng pelan. Pasalnya Gandhi dan Rendra tak pernah membahas visi dan misinya di sekolah, jika tidak di rumah mereka akan pergi ke kafe atau tempat lain.
"Hari terakhir pengumpulan formulir itu semua catatan visi dan misinya aku bawa ke sekolah."
"Jelas kalau gitu, pasti hari itu juga salah satu dari mereka sibuk cari kelemahan calon lain," Fara menoleh pada Gandhi dan menatapnya dengan sendu, "Gandhi, kalau misalnya usaha ini nggak berhasil siapa yang akan menguak pelakunya?"
"Masih ada pasangan calon lain, Ra, kalau usaha ini belum berhasil berarti memang bukan jalannya."
"Siapa? Riko? Wirdan? Gandhi, mereka mungkin ngga peduli."
"Kita kihat nanti, Ra, hati orang nggak ada yang tahu. Bisa jadi mereka nggak seperti yang kita lihat sekarang," Gandhi menghadap Fara, "kita pasti bisa menemukan pelakunya meskipun kita nggak tergabung dalam organisasi intra."
Fara terdiam. Semua ucapan Gandhi tak mendapat sangkalan darinya. Memang benar, meskipun kita sangat dekat dengan teman, saudara bahkan keluarga sekalipun kita tak bisa menebak apa yang benar-benar ada dalam hatinya. Tampilan luar tak menjamin apa yang ada di dalamnya. Karena itu kita jangan melihat hanya dari tampilan luar, bisa jadi yang kita anggap buruk adalah yang lebih baik dari apa yang ada dalam pikiran kita.
***
TBC. ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro