Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 20

"Assalamu'alaikum, Ma," teriak Fara dari pintu depan.

"Wa'alaikumsalam. Kok udah pulang?" kata Mama yang menyambutnya setelah membereskan dapur.

Saat itu jam menunjukkan pukul tujuh pagi, biasanya Fara akan pulang dari alun-alun menjelang jam sembilan dan tentunya Gandhi akan ikut mampir ke rumahnya.

"Ada orang aneh, Ma, makanya Fara cepet-cepet pulang. Fara ke atas dulu, ya, Ma," kata Fara sambil mencium pipi mamanya.

Dengan langkah cepat, Fara menaiki tangga menuju kamarnya. Sebelum membersihkan diri, ia menghidupkan kipas anginnya dan duduk sembari mengeringkan keringatnya. Ibarat bakso yang baru di sajikan panas asap yang mengepul sangat jelas terlihat. Begitulah emosi yang masih Fara rasakan, meski ujung-ujungnya Wirdan memberi saran padanya. Namun rangkaian kata yang ia perdengarkan sangat membekas di telinganya.

Untungnya Fara bukan termasuk orang pendendam. Biasanya besok ia sudah tak mempermasalahkannya lagi.

"Maunya apa itu orang. Kalau ada masalah tinggal bilang aja susah banget dah," Fara mengambil botol minuman yang ada di meja belajarnya lalu meneguknya perlahan.

Setelah dirasa keringatnya mengering. Fara segera bergegas ke kamar mandi. Saat akan berbalik menuju kamar mandi, kakinya tergelincir dan perlahan terjatuh ke lantai. Membuat suara yang cukup nyaring di kamarnya.

"Awww!"

Suara itu sampai terdengar ke lantai bawah yang membuat mama kaget karenanya.

"Kenapa, Ra?"

Fara meringis menahan sakit. Jari kakinya tergores untungnya tak patah. Lengkap sudah semua yang menimpa dirinya.

"Nggak apa-apa, Ma," kata Fara berteriak.

Sebelum mama naik ke atas, Fara berdiri dengan perlahan lalu mengambil handuk dan baju ganti kemudian memasuki kamar mandi.

***

Fara mematut dirinya di cermin lalu perlahan menyisir rambutnya yang setengah basah. Kaus pendek berwarna kuning muda serta celana jeans telah melekat padanya.

Hari ini untuk merayakan suasana hati yang berantakan. Fara akan mengunjungi perpustakaan. Lebih tepatnya karena ia membutuhkan ruang yang sepi selain kamarnya. Saat sedang sedih ataupun marah, Fara akan meluapkan emosinya dengan mencorat-coret di kertas, lalu saat bosan jalan berikutnya adalah tidur berjam-jam.

Fara mengoleskan _sun screen_ di wajahnya lalu menutupinya dengan _lose powder_ secukupnya. Fara kemudian menoleh pada jam dinding di kamarnya yang menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh menit, ia langsung bergegas mengambil jaket dan tasnya lalu keluar dari kamar.

"Mau ke mana, Ra?" kata mama yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.

"Izin ke perpus, ya, Ma. Nanti sore Fara pulang, daaah, Ma. Assalamu'alaikum," ujar Fara setelah mengambil _flat shoes_ dari rak sepatu.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati, Ra, pintu luar jangan lupa di tutup."

"Oke, Ma."

Fara telah memesan ojek online dan saat ini menunggunya di depan rumah. Karena bawaan suasana hati yang berantakan dapat berpengaruh juga pada minat untuk membawa kendaraan sendiri.

Ponselnya berdering sepertinya ojek online sudah sampai, Fara mengecek ponselnya dan yang tertera di sana adalah nama Gandhi. Setelah seharian Fara berdrama dengan diri sendiri, kini seseorang yang ia harapkan muncul ke permukaan.

Bukan lagi rasa bahagia ataupun salah tingkah yang mengikutinya, dia sendiri masih bingung dengan perasaannya ditambah lagi dengan kekesalannya pada perempuan yang berhasil mencuri perhatian Gandhi. Fara tak acuh pada panggilan itu dan membiarkan nama Gandhi masih menari di sana.

Beberapa menit kemudian ojek online yang telah Fara pesan datang dari arah barat. Ia segera menghampiri dan memasang helmnya, kemudian menaiki motor dengan hati-hati.

Sepanjang perjalanan Fara hanya bisa meratapi jalanan kota dengan sendu. Pikirannya berkelana dan menerka mengapa Gandhi tiba-tiba menghubunginya seperti ini. Menurutnya tak ada pembicaraan penting yang harus mereka lakukan. Karena Gandhi tak akan meneleponnya jika hanya akan bicara basa-basi dan akan langsung ke rumahnya jika ada hal yang penting.

Ponsel Fara kembali berdering, dengan nama yang sama terters di sana, dan reaksi Fara masih sama tak acuh padanya.

"Mbak, sudah sampai," ucap _driver_ ojek online.

"Oh, iya, pak, terima kasih," kata Fara sambil menuruni motornya.

Fara langsung menuju pintu utama perpustakaan yang di sambut oleh satpam di sana. Senyum bapak satpam itu berhasil membangkitkan _mood_ nya sebesar dua puluh persen, begitu ramah dan bersahaja yang dibalas senyuman dan juga anggukan oleh Fara.

Lalu ia meneruskan langkahnya ke dalam menuju meja yang dekat dengan jendela di sebelah pojok ruangan ini. Tangan mungilnya mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tas beserta pensil yang selalu menemaninya. Kalimat-kalimat yang Wirdan lontarkan terus terngiang dalam benaknya dan kini menciptakan berbagai coretan di sana.

Gerakan tangan Fara terhenti saat ponselnya berdering. Fara melirik, kini sudah tiga panggilan dari Gandhi dan masih tak ada tanggapan dari pemiliknya. Fara melepaskan pensilnya tapi enggan menekan tombol merah dilayar ponselnya.

Kebingungan kembali memenuhi kepalanya, apa yang harus ia lakukan jika menerima telepon dari Gandhi. Ia tak ingin marah-marah padanya hanya karena hal sepele yang ia rasakan sendiri, di sisi lain ia sedang kesal saat ini.

***

Selama satu jam Fara habiskan dengan mencorat-coret kertas yang ia bawa, kini ia tertidur di atas kertas yang semula putih itu, membawa harapan kekesalannya akan mereda setelah ini. Selama ia tertidur pun ponselnya tak lagi berdering, membuatnya bisa begitu pulas.

Suara langkah kaki terdengar menuju meja yang sama dengannya, pengunjung di sana pun tak sebanyak tadi hanyabada beberapa meja yang masih berpenghuni. Tubuh jangkungnya menghalangi wajah Fara yang sebagian terkena cahaya matahari. Gandhi tersenyum melihat Fara yang ternyata bersembunyi di sini, tak menjawab panggilannya padahal ponselnya tepat di sebelahnya. Dengan perasaan ragu, Gandhi mencoba membangunkannya, Fara hanya menggeliat dan tetap terpejam.

Gandhi membangunkannya sekali lagi dan Fara terbangun dengan memicingkan matanya. Saat tubuhnya tegak lagi-lagi ia mengucek matanya memastikan yang berada di hadapannya adalah orang yang mengusiknya beberapa hari ini.

"Gandhi?" kata Fara.

Gandhi mengangguk, "kamu kenapa, Ra? Mau musuhin aku?"

"Kok kamu ada di sini?"

"Jawab dulu, Fara."

Fara menggeleng cepat menandakan bukan itu maksudnya.

"Siapa yang mau musuhan, Gan? Aku lagi _me time_ kok."

"Ish, ilernya dulu dibersihin, baru boleh bohong," kata Gandhi sambil menunjuk sudut bibir Fara.

"Hah? Masa ada iler?" Fara langsung cepat mengambil cermin kecil dalam tasnya dan mulai mencari bekas iler yang menempel.

"Ih, nggak ada, ya," kata Fara kemudian memukul Gandhi.

"Emang nggak ada," Gandhi tertawa.

"Ck. Terus kamu kenapa teleponin aku? Kayak rentenir tahu nggak."

"Hm, niatnya itu tadi mau ajak makan siang bareng, eh kamunya nggak angkat telepon aku kira kenapa-kenapa. Ini habis dari rumah kamu lho, Ra."

"Serius?"

"Iya, lumayan lama, sampai makan siang juga."

"Segitu pentingnya buat kamu?"

"Iyalah, kalau kamu sampai kenapa-kenapa bukan cuma Mama kamu yang sedih, Ra, ya udah aku samperin ke sini, ternyata malah tidur enak orangnya," lanjut Gandhi.

"Ya ampun."

Gandhi tersenyum tipis. "Ya udah, ayo balik, tapi mampir dulu ke toko es krim, ya," ujar Gandhi lalu menggandeng tangan Fara dan mengajaknya keluar dari perpustakaan.

Lord I need your help. Kenapa saat diri ini berjuang buat nggak berharap padanya malah dia seolah mendekat. Apa yang harus aku katakan kalau harapan kosong itu mulai terisi dan memintanya lebih? Padahal sudah terikrar dalam hati tak akan ada ikatan melebihi sahabat. Maaf, Gandhi.

Fara merasa bersalah pada Gandhi, beraninya ia mengusutkan tali persahabatan menjadi ikatan yang rumit ini. Fara mengeratkan genggamannya dan menyamai langkah Gandhi.

***

TBC. ❤


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro