BAB 2
"Formulir Pendaftaran Anggota OSIS." Fara membaca lirih pada selembar kertas di hadapan Gandhi.
Ditangan Fara sudah membawa dua gelas minuman. Cappuccino cincau milik Gandhi dan nyoklat dengan toping keju miliknya. Sekarang, tinggal menunggu dua mangkuk bakso yang akan di antar ke meja mereka.
Sejak mereka duduk di meja kantin, Gandhi hanya menekuri formulir pendaftaran OSIS. Sesekali Fara mengamati bola matanya yang naik turun. Perasaannya tidak enak, pasti sebentar lagi Gandhi akan mengatakan sesuatu.
Satu.
Dua..
Tiga...
"Ra, daftar anggota OSIS, ya," ujar Gandhi seperti dugaannya.
Fara berhenti menyesap nyoklat bertoping keju miliknya. "Kamu nggak salah?"
Gandhi mengangkat bahu. "Salahnya di mana?"
"Aku nggak ikut begituan, Gan, males," kata Fara sembari menopang dagu.
"Biar kita lebih berkembang, Ra."
"Ini udah berkembang nih, tuh berkembang di mana-mana," kata Fara yang menunjuk pipi dan lengannya. Tangan kiri Gandhi menyenggol bahu kanan Fara yang membuatnya miring beberapa derajat.
"Tenang aja, ini nggak menciptakan tumpukan lemak di tubuh kamu. Ra, ikutan, ya, ayolah," Fara terdiam sejenak.
Menurut Fara sih, untuk mengembangkan pikiran kita nggak harus ikut organisasi, sering bersosialisasi dan mengembangkan bakat serta hobi bisa jadi pilihan alternatif.
Apalagi untuk manusia sepertinya yang kemagerannya terlalu kuat. Jadi daripada waktunya dihabiskan dalam rapat kerja lebih baik menenangkan diri di dalam tempat ternyaman.
"Gan."
"Gimana?" Gandhi membuka senyum lebar.
"Setelah aku menimbang dan mengukur, hasilnya tetap, NGGAK."
"Ra, dengar, kalau kita bisa masuk OSIS nanti kita bisa--" Fara menutup mulut Gandhi dengan tangan kanannya.
"Sssst. Stop, jangan bicara lagi. Gan, aku, tetap nggak akan daftar."
Tidak bisa dihindari bunyi perut Fara membuat mereka berhenti. Membanyangkan sepiring bakso yang telah di pesan saja membuatnya bahagia.
Apalagi bayangan sosok yang mulai mendekati meja mereka membuatnya menelan saliva beberapa kali.
Raut bahagianya kini jelas terpancar menyambut aroma bakso dengan asap mengepul yang semakin dekat.
"Hei, Gan."
Fara tersentak mendengar sapaan itu. Suara yang cukup familiar dan begitu akrab dengannya.
"Eh, Dan." Gandhi berdiri dan mereka saling berjabat tangan.
"Ikut penerimaan anggota baru, kan?" Gandhi memengangguk dan tersenyum tipis.
"Sip, aku tunggu kerja samanya."
"Siap." Kata Gandhi sebelum Wirdan berlalu dari hadapan mereka.
Fara mengepalkan tangan dan menggebrak meja yang tentu saja terdengar oleh Wirdan yang tak masih tak terlalu jauh.
"Ra," Gandhi mengelus pundak Fara.
"Kamu lihat sendiri, kan, Gan? Dia emang punya masalah cuma sama aku," ujar Fara lalu menunjuk wajahnya, "segede ini nggak kelihatan?"
"Udah, Ra."
Kali ini mas Karyo--penjual bakso-- mendatangi meja mereka dan meletakkan dua mangkok bakso yang telah di pesan tadi.
"Ini makan dulu, Ra."
"Gan, aku segaib itu kah?" Fara tak menanggapi ucapan Gandhi.
Gandhi hanya bisa menghela napas melihat kedua sahabatnya yang sama-sama keras dengan pendirian. Sejak awal, Gandhi telah menyarankan Fara untuk bertanya bahkan meminta maaf lebih dulu meski dia belum tahu apa kesalahannya. Fara menolak, ia pikir semua butuh waktu, biarkan yang bersangkutan mengatakan sendiri jika sudah waktunya. Sedangkan Wirdan yang enggan bercerita mengapa dirinya tiba-tiba berubah sikap.
Tanpa pikir panjang lagi Fara segera menyambar bakso di hadapannya dengan menambahkan kecap dan beberapa sendok sambal.
"Eh, itu sambel jangan kebanyakan."
Fara tak peduli, kini perutnya telah menuntut untuk di sambut.
***
"Ra, kamu pulang sendirian ya hari ini," kata Gandhi sambil menunjukkan pesan yang dikirimkan padanya.
"Aku tunggu nggak apa-apa kok."
"Hei, rapat ini sampai malam, Ra," ujar Gandhi.
"Nggak masalah. Aku bisa nunggu di kafe depan."
"Nggak bisa, kamu harus pulang," ujar Gandhi sambil menyerahkan kunci motornya.
"Pulang pakai motorku aja."
"Lah, kamu pulang pakai apa? Jangan aneh deh."
"Ada Yoga, kan rumahnya searah. Besok pagi aku ambil motornya sekalian berangkat bareng."
Fara menerima kunci motor yang Gandhi serahkan. "Tapi ..."
"Udah, buruan pulang, hati-hati pulangnya, daah," Gandhi melambaikan tangan sebelum menghilang dari balik pintu.
Fara melangkahkan kaki menuju tempat motor Gandhi terparkir. Sifat konsisten Gandhi membuatnya tak kesulitan menemukan motornya. Fara tersenyum sekilas melihat motor yang terawat itu. Sepertinya Gandhi memang merawat motornya dengan baik. Tanpa pikir panjang lagi, Fara segera menaiki motor itu. Namun saat ia akan menyalakan mesinnya sesuatu pun terjadi.
"Loh, kok nggak ada?"
Fara merogoh tasnya dan mengeluarkan isinya hingga tuntas, namun barang yang ia cari belum ditemukan. Setetes keringat melewati pelipisnya, Fara tetap mencari disekitar. Namun tetap juga belum ditemukan.
"Kamu nggak berubah dari dulu."
Suara itu sontak membuatnya menoleh ke belakang, mempertemukan dengan pemiliknya. Mata mereka beradu, namun dengan tatapan yang berbeda.
Masih terekam jelas dalam ingatan Fara bagaimana ia di perlakukan siang tadi layaknya sebuah makhluk tak kasat mata. Napasnya kian memburu membuat lawan bicaranya semakin melebarkan tawa sinisnya.
"Tetap ceroboh," ujar laki-laki itu sambil menyerahkan kunci motor padanya.
Fara segera mengambilnya dan bersiap untuk pulang, ia merasa membuang waktu percuma jika harus berurusan dengan makhluk satu ini.
"Mau kemana, kita belum bicara," kata laki-laki dengan name tag Wirdan itu.
Fara tak menghiraukan, kemudia menstater motornya. Wirdan juga tak menyerah, sebelum benar-benar pergi dia segera menahan motor itu dan membuka kaca helm yang sudah melekat di kepala.
"Apa?" Fara menangkis tangan Wirdan di atas spidometer.
"Yakin nggak akan daftar OSIS? Takut?" ujar Wirdan dengan seringainya.
"Kemana Fara yang dulu selalu semangat dengan tantangan? Melempem."
"Heh, kamu, nggak ada urusan, ya, aku daftar atau nggak," Fara mengepal tangan kirinya.
"Memang, tapi melihat pembelaan seperti ini sudah cukup memberi jawaban," Wirdan mengedikkan bahu dan berbalik menuju motornya.
"Siapa takut," Fara benar-benar kesal dengan adanya Wirdan yang tiba-tiba. Kenapa harus dia yang menemukan kunci motor Gandhi, sungguh penghancur mood di sore.
Mendengar pernyataan Fara membuat Wirdan berbalik arah, senyum kemenangan tergambar di wajahnya.
"Oke, buktikan kalau gitu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro