BAB 19
Matahari belum sepenuhnya terlihat, udara di luar juga masih segar di selimuti oleh kabut-kabut yang menari.
Jalanan pun ikut lelap karena lalu lalang masih lengang, yang terlihat hanyalah bekas roda sisa semalam saat para muda-mudi merayakan sabtu malamnya, atau bahkan orang-orang yang sedang dalam perjalanan menuju rumah.
Sudah setengah jam Fara berlari kecil mengitari alun-alun kota, sehabis subuh ia langsung memacu motornya ke taman bungkul, berniat untuk menjernihkan pikiran dan perasaan dengan melihat kenyataan. Sengaja hari ini ia tak memberitahu Gandhi, biasanya jika ingin olahraga di minggu pagi Fara selalu meminta Gandhi menemaninya. Tapi rasa kesal yang ia rasakan semalam belum reda, daripada daripada hanya terkungkum sendirian dalam kamar, lebih baik keluar meski hanya sekedar menghirup udara yang berbeda.
Putaran ketiga kalinya Fara menyerah dan memilih duduk di kursi panjang di samping taman, meluruskan kakinya dan menetralkan napas yang tersengal. Fara menutupi seluruh wajahnya dengan handuk kecil yang sejak tadi melingkar di lehernya. Berdiam, dan merenungi. Mungkin ini murni kesalahannya, berharap pada hal yang samar-samar dan belum memastikan lebih dulu.
"Ishh, jadi selama ini hanya aku yang salah paham, kenapa nggak kepikiran sebelumnya!" Fara mulai menghentakkan kaki ke lantai, tak peduli dengan keadaan sekitar meski tempatnya berada sepi dari keramaian.
Fara membuka handuk yang menutupi wajahnya, "kira-kira ekspresiku selama ini gimana? Jangan-jangan."
Pikiran Fara ke mana-mana. Kini semua gambaran kejadian yang lalu terputar kembali. Saat dia yang belakangan ini sering melamun di dekat Gandhi, pandangannya yang tak teralihkan darinya, serta harapan dan angan yang terpupuk tanpa sebab dan kejelasan.
"Bodoh banget!"
Fara kembali menutupi wajahnya dengan handuk dan kembali menggerutu dalam hati.
"Tapi, bukannya setiap rasa itu adalah anugerah? Kalau iya, kenapa masih ada hati lain yang merasa tak pantas? Seperti ... aku, misalnya," kata Fara lalu mengembuskan napas panjang, "Gandhi ... harusnya kamu nyamperin aku ke sini."
Tanpa ia sadari, seseorang telah duduk di sampingnya dengan memainkan ponsel. Sedikit menahan tawa karena tingkah perempuan di sampingnya. Bahkan di tempat umum pun ia tak merasa canggung untuk mengekspresikan diri.
Fara menyadari ada seseorang yang ikut duduk di sampingnya saat kursi yang ia duduki terasa ada beban yang lain. Fara segera membuka handuknya dan menoleh ke sebelah kanannya.
Fara melototkan pandangannya dan secara otomatis mulutnya terbuka lebar saat mengetahui siapa yang duduk di sampingya.
"Wirdan! Sejak kapan kamu di sini?"
Wirdan melirik jam tangannya, "sekitar sepuluh menit yang lalu."
"Kamu ngapain di sini? Jangan-jangan, kamu ... dengerin ocehanku tadi?"
"Ini tempat umum, jadi siapapun bisa ada di sini, kan. Daripada orang lain yang dengerin kamu ngoceh, bukannya lebih baik orang yang mengenal kamu lebih dulu yang mendengarnya langsung?"
Fara syok mendengarkan kalimat Wirdan. Apa ini artinya dia ingin berbaikan padanya? Seulas senyuman tercetak di wajah Wirdan. Bukan sebuah senyum sinis yang selalu terlihat darinya belakangan ini.
"Memangnya nggak malu misal ada orang lewat dengerin kamu lagi ngomong sendirian, nggak jelas gitu. Harusnya kamu berterima kasih aku langsung duduk di sini," ucap Wirdan di sertai tawa kerasnya.
"Aissshh, sana pergi, pergi!" usir Fara dengan memukul lengan Wirdan. Rasa kesal tergambar jelas di wajahnya, ia kira Wirdan akan benar-benar berempati padanya, ternyata dia belum berubah.
"Ih, ngambek, gitu aja ngambek, payah!"
"Kalau gitu aku yang pergi!"
"Ya udah sana pergi, ngadem di sini enak juga, sana."
"Ih ... nggak pengertian banget jadi cowok."
"Suka-suka dong, namanya juga tempat umum, nggak bisa dong ngusir orang seenak jidatmu," kata Wirda yang sangat senang membuat Fara naik darah.
"Mau kamu apa sih, Dan? Kalau punya masalah bilang dong selesaikan baik-baik, ngomong, jangan kayak gini bikin orang kesel aja," akhirnya Fara mengeluarkan semua uneg-unegnya selama ini, lama-lama menyimpan kekesalan dan berpura-pura bahagia sangat sukses menciptakan luka batin dalam diri.
Wirdan hanya menatap Fara penuh arti. Tak ada yang tahu apa arti dari pandangan itu, semua terasa samar, bahkan Wirdan yang tadi mengejeknya dari awal kini berubah jadi pendiam.
"Bilang, Dan, kalau kamu punya masalah sama aku tuh bilang. Kamu nggak punya perasaan, ya, sama Gandhi kamu sikapnya biasa aja," Fara menarik napas, "padahal disitu ada aku, kamu bahkan nggak lihat ada orang di situ. Kamu pikir, aku baik-baik aja dengan sikap kamu selama ini?"
Lagi-lagi Wirdan diam mendengar suara hati Fara. Menurut Wirdan biarkan Fara saat ini sangat membencinya karena memang itu tujuannya. Tapi rasa bersalah pasti ada, melihat Fara yang tak pernah marah padanya sebelumnya kini ia benar-benar ikut merasakan kekesalannya menjadi Fara atas perbuatan yang ia lakukan.
Fara tak tahu lagi harus berbuat apa, akhirnya ia memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Hari ini berantakan.
"Kemana, Ra?"
Fara tak menjawab dan terus melangkah maju.
"Kalau kamu suka sama seseorang, itu bukan hal yang salah, Ra, kamu berhak juga merasakannya."
Fara langsung memberhentikan langkahnya, kalimat Wirdan entah mengapa mampu menenangkannya.
"Masalah kamu harus mengungkapkannya atau nggak, semua itu ada di tangan kamu. Kalau kamu bisa lega dengan mengungkapkannya, lakukan. Kalau menyimpan jadi lebih baik, lanjutkan. Ingat, Ra, semua ada konsekuensinya," tutup Wirdan yang kemudian pergi meninggalkan tempat itu, sedang di seberang sana Fara masih terdiam merenungkan semua yang Wirdan katakan. Kalau boleh jujur, Fara sangat rindu dan membutuhkan Wirdan yang dulu, yang selalu ada untuknya, menjadi benteng terdepan dalam hal apapun.
***
TBC. ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro