BAB 18
Gandhi melajukan motor varionya menuju rumah yang berada di daerah Jemur Sari, Wonocolo, tepatnya suatu daerah di Surabaya. Roda itu mulai melewati beberapa gang yang cukup sempit karena berhimpitan dengan rumah-rumah penduduk. Orang-orang yang biasa berlalu-lalang di sekitar gang nampak lengang mungkin saja banyak dari mereka yang sedang menghabiskan waktu week end dengan baik.
Sejak keberangkatannya dari rumah, Gandhi tak bisa menyembunyikan raut bahagia serta senyum yang mengembang. Memang aneh, tapi segudang cerita yang ia bawa teramat kuat menjadi bukti kebahagian itu. Melihat tulisan gang tujuh di depan sana, Gandhi menambah lagi kecepatan motornya dan ingin segera sampai tujuan.
Motornya berhenti repar di depan pintu gerbang berwarna cokelat tua nan tinggi. Sudah layaknya rumah sendiri, Gandhi langsung membuka pintu gerbang tersebut dan menuntun perlahan motor varionya masuk.
Mendengar decitan gerbang yang terbuka, mama Fara langsung keluar untuk melihat siapa yang datang. Raut bahagia sama-sama terpancar di sana, mama sangat senang akhirnya anak keduanya telah kembali pulang. Gandhi memang telah mama anggap sebagi anak tertuanya, karena memang mama ingin memiliki anak laki-laki sebelum Fara lahir. Sudah lama juga Gandhi tak bertemu dengan mama, terakhir kali Gandhi ke rumah Fara saat mama tidak berada di rumah.
Setelah Gandhi memastikan motornya telah terparkir, ia pun menyalami mama dengan hormat.
"Wah, anakku akhirnya pulang. Masuk, masuk," kata mama dengan senyum semringah.
"Sehat, Ma?" kata Gandhi sembari mencium tangan mama penuh hormat.
"Alhamdulillah, kamu lama banget nggak main ke sini, Mama sampai kangen, lho. Katanya sibuk sama OSIS, ya?," kata mama memimpin Gandhi mauk ke ruang tamu.
"Hehe, iya, Ma," kata Gandhi merasa sedikit canggung, "Ma, Fara ada?"
"Fara ada di kamar, Mama panggilin dulu, ya, tunggu di sini," ucap mama sambil tersenyum.
Gandhi merasa canggung, baru sebulan tak main ke rumah Fara sudah se asing ini. Apalagi saat bertemu mama yang menyambutnya di depan rumah, rasanya seperti menyimpan sebuah kesalahan besar yang menyebabkan seorang ibu kecewa. Biasanya, setiap akhir pekan Gandhi selalu main ke sini, sampai-sampi terkadang Fara bosan dengannya. Namun sudah layaknya saudara, meskipun ada keributan kecil tapi akan membaik dengan sendirinya.
Fara turun dari tangga kamarnya, dengan rambut yang dibiarkan terurai, kaus sederhana dan celana di bawah lutut melengkapi penampilannya sore ini. Untung saja Fara memang sudah mandi satu jam yang lalu, namanya juga hari minggu sebuah tenaga untuk melangkahkan kaki ke kamar mandi pun terasa berat. Jadi Fara merangkap kegiatan mandinya di waktu siang menjelang sore.
"Ra," sapa Gandhi lebih dulu dengan semringah.
Oh God
Fara sempat berdiam di tempat. Sebelum keluar dari kamar, Fara telah mempersiapkan diri, bersikap seperti biasanya yang tak terjadi apa-apa dalam hatinya, berdandan pun seadanya seperti biasa. Namun semua berubah saat Gandhi menyapanya lebih dulu seperti ini.
"Ra, sini, bengong aja," panggil Gandhi yang membuat Fara tersadar dari lamunannya.
Fara duduk di sampingnya dengan wajah yang benar-benar bingung apa yang akan ia lakukan setelahnya, sambil menepuk sedikit dada sebelah kanan.
"Kamu kenapa, Ra, belakangan sering bengong?"
"Ha? Eng ...," Fara menggeleng perlahan, "mungkin kecapekan kali, Gan, nggak apa-apa kok, hehe."
Gandhi mengangguk mengerti. Sejak sebelum kedatangannya ke sini senyum yang ia bawa masih mengembang.
"Issh, Gan, senyam senyum aja dari tadi, kenapa hei?" kata Fara mencoba mencairkan suasana.
"Ra, kamu sebagai perempuan nih, kalau ada cowok yang deketin kamu tapi kalian belum kenal sebelumnya, gimana?"
"Emang kenapa, Gan?" Fara menoleh bingung.
Sementara Gandhi menggaruk pelipisnya yang tak gatal dengan cengiran.
Fara menatap sekilas, dan mengerti apa yang Gandhi maksud. "Oke, kalau aku pribadi, ya, pertama mesti bingung, ini orang kenapa dah. Tapi, sehari dua hari aku ngerti tuh maksudnya apa, dan aku nggak masalah sih kalau ada yang dekatin."
Gandhi mengangguk perlahan, "kira-kira kalau cewek lain pada risih nggak, ya."
"Ya, beda orang beda pendapat kan, Gan," kata Fara, "emang siapa sih?"
"Si-siapa, bukan siapa-siapa," jawab Gandhi terbata.
"Cieee, Gandhi udah buka hati, nih," Fara tertawa geli sambil menepuk lengan Gandhi cukup keras. Karena, baru kali ini Gandhi membicarakan perempuan pada Fara di saat dulu sudah banyak yang mengejarnya.
"Nggak, Ra, biasa aja."
"Halah, jangan bohong, kelihatan dari wajah kamu," sekali lagi Fara terpingkal melihat reaksi Gandhi.
"Baiklah, baiklah, aku cerita nih."
"Aku siap dengerin," Fara menopang dagunya lalu tersenyum tipis, sambil menyiapkan hati yang telah luruh sejak awal.
"Aku nggak tahu pasti dia dari kelas apa, Ra, tapi anehnya baru kali ini setertarik itu sama perempuan," kemudian Gandhi menceritakan awal mula mereka bertemu saat Gandhi menyerahkan formulir pendaftaran dan mereka bertemu lagi saat TM tadi pagi.
"Wah, asli, Gan. Berasa ditinggal kakak laki-laki nikah tahu nggak," ungkap Fara berkaca-kaca.
"Jangan gitu lah, Ra, ini pendekatan aja belum."
Deg!
Jadi, akan ada kelanjutan?
"Aku bayangin, ini cewek pasti cantik. Ya iyalah kalau nggak cantik mana bisa bikin Gandhi suka," Fara mengetuk-ngetuk kepalanya, "oke lebih khusunya ini cewek putih, bangir, pipi tembem, no pensil-pensil alis, ya nggak?"
Gandhi mengangguk. "Satu lagi, Ea, mata bulat dan dia nggak tembam. Semoga dia juga baik, lembut, lucu."
Harus, ya, Gan di perjelas? Kamu nggak lihat ini dalam hati udah kena gempa.
"Banyak maunya juga, ya, anda?"
"Buat masa depan kan, Ra."
Jleb!
Mata Fara mulai memanas, menahan beberapa mili air mata itu rasanya nggak nyaman. Dan berpura-pura bahagia mendengar hal ini bukan solusi terbaik.
"Ya, kalau kamu inginnya gitu kejar dong, Gan, namanya aja kamu belum tahu, semangat."
Gandhi tertawa sejenak, "kayaknya harus tanya Reno dulu.
"Reno? Reno siapa?" Fara mencoba mengingat nama familiar itu, "oalah si Reno kribo itu, kan udah pindah ke Bandung?"
"Ternyata masih ingat, ya? Dari sekian laki-laki yang coba dekat sama kamu, si Reno paling gercep tuh, Ra, paling berkesan juga," Gandhi terpingkal saat mengingat Reno yang hampir nembak Fara saat upacara bendera.
"Hadeh gila tuh si kribo, masak iya mau merusak upacara buat nembak aku, waktu itu jadi pemimpin upacara lagi, gimana nggak syok, Gan, untung saat itu aku pingsan. Kalau nggak, nggak tahu lagi hukumannya nanti gimana," ucap Fara sambil memijit kepalanya.
"Itu momen tak terlupakan sepanjang masa sih, Ra. Terus sejak dia pindah nggak ada lagi yang bikin hal ekstrem di sekolah," kenang Gandhi, "dia pindah karena apa, Ra?"
"Katanya papanya pindah dinas, itu sih kabar terakhir dari dia."
"Kenapa di panggil kribo? Padahal nggak ada kribo-kribonya."
"Karena apa, ya? Oh ini, tiap ngajak jalan atau makan bareng itu rayunya mesti sama popcorn, Gan, bukan bunga atau apa. Luar biasa kan, anti mainstrem memang. Udah ah, ini bahas kamu kenapa malah bahas Reno?"
"Tapi salut sama Reno, meskipun nggak di anggap sama kamu tapi semangat juangnya nggak pernah luntur."
"Hei, aku anggap teman, lho. Dia udah baik gitu sama aku."
"Eh, Ra, mau maghrib nih, aku pulang, ya," kata Gandhi setelah melihat jam dinding di ruang tamu.
"Lho, cepat banget, makan malam di sini, Gan."
"Makasih besok-besok, Ra, tadi bunda pesan suruh nemenin ke kondangan. Ayah kan lagi dinas sama Papa kamu."
"Iya sih. Yah, Gan, setelah liburan baru sekarang main ke sini, udah gitu buru-buru pulang lagi," ucap Fara merajuk.
"Masih ada minggu depan kali, Ra, lebay banget dah. Mama mana?"
Fara menarik napas. "Tadi arisan katanya."
"Oh, ya udah, salam ya."
Fara mengangguk dan mengantar Gandhi keluar rumah hingga motornya hilang dari pandangan.
***
"Ra, Gandhi mana? Ini mama beliin makanan buat kalian," kata mama dari arah dapur.
"Udah pulang, Ma," jawab Fara dengan suara parau.
"Eh, kamu kenapa, nduk, main handphone kok sampai sesenggukan gitu?"
"Nonton drama, Ma, biasa," kata Fara yang langsung mengusap air mata dan bangkit dari sofa, "Fara ke atas, ya, Ma."
Tak ada jawaban dari mama, mungkin mama sudah melenggang juga ke kamarnya.
Fara langsung merebahkan dirinya di atas kasur. Melanjutkan tangisnya di sana. Tentu bukan karena drama yang sering ia tonton, tapi karena pengakuan Gandhi yang tiba-tiba ini. Belum selesai Fara bergelut dengan perasaannya sendiri kini di tambah lagi dengan kenyataan bahwa Gandhi tetaplah Gandhi yang ia kenal sebagai sahabat. Tak ada yang berubah dari Gandhi, mungkin hanya dia sendiri yang berubah, dan berujung menyiksa diri sendiri.
Selama ini Gandhi hanya melihat ke arahnya, tapi sejak orang baru itu masuk dalam kehidupan mereka semua hari-harinya terasa menyebalkan.
***
TBC. ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro