BAB 17
Akhir pekan menjadi hari yang paling di nanti oleh semua orang dari kalangan manapun. Semua menyambutnya setelah melakukan rutinitas yang padat. Banyak hal yang biasanya orang-orang lakukan saat akhir pekan. Travelling ke tempat-tempat yang telah di rekomendasikan misalnya, berburu makanan enak dan bersahabat di kantong, bersih-bersih rumah atau tempat singgah, dan banyak juga yang menghabiskan waktu setengah hari bahkan seharian di kamar tidur beralaskan kasur empuk serta bantal guling yang hangat memeluk.
Di dalam kamar dengan cat tembok warna biru langit, terdapat meja belajar yang mendominasi warna putih telah tertata rapi, jendela kamar dengan gorden yang terbuka setengahnya membuat ruang bagi sinar menrtari masuk untuk sekedar mengintipnya. Sang pemilik di satu ranjang tempat tidur sedang bergelung dibalik selimut, memeluk guling di sampingnya dan tak menghiraukan pagi yang telah datang menyambutnya.
Mama sudah dua kali membangunkan Fara tapi tetap tak membuahkan hasil, panggilan terakhir mama pun menyerah karena teringat kalau hari ini adalah hari minggu. Biasanya setiap minggu pagi Fara selalu pergi ke alun-alun kota untuk car free day atau bahkan hanya membeli jajanan yang di jual di sana. Tapi kali ini mama membiarkannya, mungkin saja kasihan melihatnya akhir-akhir ini berkutat di meja belajar karena ujian kemarin.
Namun ternyata hari ini bukan milik Fara. Satu panggilan masuk ke ponselnya, panggilan pertama tak terjawab, bukan sengaja di abaikan tapi deringnya yang tak terdengar. Panggilan kedua mampu membuatnya mengerjapkan mata, dan peka terhadap dering ponsel di sampingnya. Tangannya mengambil ponsel itu, matanya langsung terbuka lebar saat mengetahui siapa yang meneleponnya pagi ini. Fara berdehem, mencoba menetralkan suara yang akan parau.
"Ha ... halo?"
"Baru bangun, Ra?" jawab Gandhi di seberang sana.
"Nggak, ada apa, Gan?" kata Fara sambil menggigit bibirnya.
"Ra, bisa ikut sekarang?"
"Hah? Eng ... tapi," kata Fara kebingungan karena memang belum mempersiapkan apapun, "sekarang, Gan?"
"Iya, aku jemput, tenang aja."
"Ada acara?"
"Huum, TM buat calon ketua OSIS sebelum pemilihan nanti, Ra, jam delapan. Bisa kan?"
Lama Fara tak memberi jawaban. Bukan soal ia malas pergi hari ini, yang ia cemaskan adalah detak jantungnya yang mulai tak beraturan, bahkan saat bangun tidur pun hanya karena seseorang menghubunginya dan meminta pergi hal itu terasa begitu rumit. Fara berniat menghindari Gandhi, untuk saat ini menjaga jantung untuk tetap sehat dalam beberapa hari ke depan sangatlah penting, minimal hari ini ia harus menormalkan kembali sebelum nanti hari senin dan selanjutnya pasti akan bertemu dengannya.
"Halo, Ra?"
"Gan, hari ini...,"
Belum sempat Fara melanjutkan kata-katanya, diseberang sana Gandhi menyela lebih dulu.
"Iya, its okay kalau nggak bisa, Ra. Ya udah, aku tutup dulu, ya," kata Gandhi yang memutuskan sambungan.
Rasa tak nyaman pun menghampirinya. Fara sangat mengerti jika Gandhi pasti mengerti maksud Fara jika dirinya menjawab lama artinya ia enggan melakukannya. Fara kerap melakukannya pada Gandhi sebelumnya, respons dari Gandhi pun tak mempermasalahkannya dan berakhir baik-baik saja. Dahulu Fara senang jika mengganggu Gandhi seperti ini, Gandhi pun tak akan marah hanya karena hal sepele seperti ini. Tapi kali ini semua berubah, rasa tidak enak dan merasa bersalah sangat mendominasi.
Fara menyembunyikan wajahnya di balik selimut, bahkan untuk melanjutkan tidur pun tak bisa ia lakukan lagi.
***
TM atau yang biasa di sebut Technical Meeting untuk calon ketua OSIS yang akan membacakan visi dan misinya nanti di laksanakan di auditorium sekolah. Tidak banyak peserta yang akan hadir hanya panitia, ketiga calon dan wakilnya, serta ada beberapa murid yang datang untuk menyaksikan.
Gandhi tiba di sekolah pukul tujuh lewat empat puluh lima menit dan langsung menuju auditorium. Dilihatnya setiap pasangan calon tapi masih pasangan calon Riko dan Bagas yang sudah lengkap. Mereka berdua tersenyum saat melihat Gandhi dan bersalaman bersama. Gandhi duduk di barisan kursi kedua di sebelah kiri sejajar dengan Riko dan Bagas, kemudian tak berselang lama datang Rendra yang akan menjadi calon wakil Gandhi nantinya.
Selang beberapa menit, Wirdan datang bersama Arga, mereka saking melempar senyum saat Gandhi menoleh padanya. Senyuman penuh arti tentunya, dan hanya bisa di tafsirkan oleh masing-masing yang menebarkannya. Wirdan memilih duduk di belakang Riko dan Bagas karena mereka berdua memanggilnya untuk duduk bergabung bersama.
Lima belas menit kemudian acara di mulai. Pertama-tama pembawa acara mempersilakan ketua panitia memberikan sambutan, kemudian berlanjut dengan berbagai jajaran dan guru memberi sambutan.
Selama acara pembukaan, Gandhi merasa hampa, karena biasanya Fara selalu menemani. Keisengan Fara yang mulai tahun ini tak pernah dilakukan lagi membuatnya rindu. Karena memang Ia sendiri yang melarang keras Fara melakukannya lagi.
Di tengah acara saat panitia mulai membacakan peraturan saat pemilihan ketua OSIS dilaksanakan, seorang siswi tiba-tiba duduk di samping Gandhi yang berjarak satu kursi darinya. Konsentrasi Gandhi terpecah, ia pun menoleh ke sisi kirinya.
Gandhi langsung mengenali siswi rersebut. Dia adalah orang yang sama saat beberap hari menubrukkan diri padanya. Gandhi menarik sudut bibirnya, mungkin gadis ini sudah lupa dengan kejadian itu. Tapi, ada yang berbeda dengannya, senyum yang beberapa hari lalu menghiasinya kini berubah menjadi murung. Mata bulatnya nampak sembab dan hidungnya sedikit memerah.
Gadis itu hanya menatap kosong ke arah lantai dengan tetap menggenggam ponselnya. Tak ada lagi tanda-tanda keceriaan di sana. Selang beberapa menit ponselnya bergetar menandakan satu pesan masuk. Gadis itu membuka pesan yang cukup panjang, Gandhi tak bisa melihat jelas apa isi pesannya dan ia pun tak tertarik dengan itu.
Tak perlu waktu lama, ponsel yang semula berada di tangannya ia geletakkan begitu saja di kursi sebelahnya, dan gadis itu mulai menangis. Kedua tangannya menutupi wajahnya, ia menangis tersedu meskipun tak mengeluarkan suara apapun. Gandhi terkejut dan bingung dengan apa yang terjadi, tangannya sudah ingin mengelus rambut gadis tersebut, tentu ia urungkan karena bukan waktu yang tepat.
Gandhi membiarkannya, mungkin dengan menangis bisa meredakan sakit hatinya. Saat kedua tangannya membuka kembali, sudah terlihat di sana mata yang semakin sembab dan hidung yang memerah sangat kontras dengan kulit putihnya. Kedua tangannya menyeka air mata yang jatuh lalu mengambil kembali ponsel yang sempat ia geletakkan di kursi sampingnya, lalu jari mungilnya mengetik beberapa kalimat di sana diiringi dengan sesenggukan yang masih terlihat.
Niat Gandhi ingin menyapa saat bertemu dengannya lagi kini sirna sudah, yang bisa ia lakukan hanyalah menatap ke arahnya sambil berharap dalam hati bisa mengenalnya lebih jauh.
***
TBC. ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro