BAB 16
Waktu bergulir begitu cepat. Segala episode kehidupan telah terekam di hari lalu. Berbagai hiruk-pikuk telah menjadi irama tersendiri saat kita menjalaninya. Mentari pagi selalu siap mengantarkan roda kehidupan untuk terus menggiling masa. Semua asa dan cita menjadi energi tersendiri saat seseorang akan melakukan sesuatu yang mereka inginkan.
Seperti hari ini tibalah saatnya pengumpulan formulir pendaftaran calon ketua OSIS. Sebuah ajang untuk mengukur diri dalam hal kepemimpinaan menentu. Tidak hanya pengetahuan tapi persiapan mental juga sangat di butuhkan, serta tekad kuat dan optimis yang akan mencapai tujuan.
Berkali-kali Gandhi menarik napas saat memandangi selembar formulir berukuran A4 yang nantinya akan ia serahkan pada panitia. Semua telah terisi di sana, kini tinggal menapaki langkah untuk mencapai ruang pengumpulan.
Pagi ini Fara belum juga datang ke sekolah, sebelum Gandhi melangkah keluar kelas ia selalu menoleh pada bangku yang berada di sampingnya. Dengan penuh pengharapan agar sahabatnya itu ada di sampingnya saat ini.
Gandhi melangkah ke luar kelas menuju ruang OSIS yang menjadi tempat pengumpulan formulir. Nampaknya di meja sudah terdapat dua map yang tertulis nama calon ketua OSIS dan calon wakilnya. Gandhi tersenyum tipis saat melihatnya, sudah merasakan atmosfir kompetisi yang begitu pekat. Gandhi menyerahkannya pada panitia, lalu meninggalkannya.
Tepat saat Gandhi berbalik, seorang siswi dengan langkah yang tergesa-gesa dan membawa beberapa map di tangan menubruk dirinya. Kepala yang sama-sama bertubrukan menyisakan rasa nyeri di sana. Gandhi segera membuka mata dengan tangan yang masih memegangi kepalanya.
"Maaf," kata siswi tersebut yang langsung meninggalkan Gandhi dengan terburu-buru.
Gandhi masih terpaku melihatnya. Nampaknya siswi berkulit putih dengan rambut hitam dan panjang itu adalah panitia OSIS, hal itu tampak dari seragam yang ia kenakan lengkap dengan jas OSIS yang melekat di tubuhnya. Siswi yang belum ia ketahui namanya itu langsung duduk di sebuah kursi yang dekat dengan meja tempat ia mengumpulkan formulir pendaftaran.
Tangannya sibuk memilah map yang ia letakkan di meja, mulutnya berbicara pada teman yang duduk di hadapannya, serta mata bulatnya yang mampu mengekspresikan segalanya yang ia katakan. Sambil sesekali tangan kanannya memegangi kepala yang sempat terbentur tadi. Melihat ia yang begitu sibuk, sampai-sampai siswi itu mungkin lupa pada siapa ia menubrukkan kepalanya yang menyebabkan benturan keras di kepala.
Gandhi tersenyum melihatnya, kemudian ia meninggalkan tempat itu dengan rasa nyeri yang tersisa.
***
"Gan," panggil Fara saat mereka telah duduk di gazebo depan kelas.
"Hmm."
"Gerah banget dengerin mereka gosip terus."
"Rasanya kayak dejavu, Ra. Baru aja rumor reda malah ke angkat lagi."
Kejadian itu berawal saat mereka kelas sepuluh, rumor tentang salah satu siswa dari angkatan mereka menyebarkan kunci jawaban soal ujian pun santer terdengar. Penyebab menyebarnya kabar tersebut saat salah satu guru menemukan secarik amplop cokelat yang sobek terbuang di lantai ruang guru saat hari terakhir ujian akhir semester dua berlangsung.
Setelah guru itu melihatnya ternyata amplop cokelat itu yang membungkus kunci jawaban soal ujian kelas sepuluh. Meski awalnya hanya dari kalangan guru yang mengetahui, tapi kenyataannya rumor tersebut cepat menyebar di kalangan siswa. Hingga saat ini pelaku tersebut belum di ketahui. Berbagai cara telah dilakukan kepala sekolah dan guru-guru untuk mencarinya. Tapi bagaikan terhempas angin, kasus tersebut kemudian tertutup dan tk ada lagi murid-murid yang membicarakannya.
"Bener. Sekali saja melakukan hal seperti itu maka pasti akan terulang lagi, kayak mental yang udah terbentuk," kata Fara yang menatap lurus ke lapangan sekolah. Di sana terdapat kelas yang sedang pelajaran olahraga.
"Aku yakin pelakunya bukan orang bodoh, cuma caranya aja yang salah," kata Gandhi yang sama-sama menatap ke arah lapangan.
"Gan, kenapa nggak kita coba lihat daftar nilai dari ujian semester tahun lalu sama ujian tengah semester sekarang, itu bisa jadi salah satu petunjuk."
Gandhi mengangguk setuju. "Tapi, Ra, kita nggak bisa minta izin secara langsung kalau nggak ada badan yang lindungin."
"Maksudnya?"
"Kayak kita ini kan bukan anak pemilik sekolah atau anak dari donatur terbesar, ya minimal kita harus harus punya organisasi yang bisa melindungi kita, dalam hal ini pembina OSIS."
"Untuk sekarang kita pakai dulu daftar nilai yang udah di tempel, terus perhatikan mereka yang berpotensi mencurigakan dalam keseharian di kelas kayak gimana, sambil lalu kita cari bukti lain."
Fara memerhatikan dengan seksama penjelasan Gandhi. Tak luput satu pandangan pun darinya. Alis tebalnya yang tergaris rapi, hidung mancung yang terapit oleh pipi yang senantiasa mengembangkan senyuman padanya, mata yang akan hilang bersamaan dengan tawa yang akan meledak kapanpun. Namun, Fara menyukainya akhir-akhir ini. Di mulai sejak kapan, entahlah, dia tak memusingkannya, yang jelas saat ini ada hal yang jauh lebih penting, memerhatikan Gandhi berbicara.
"Ra," panggil Gandhi. Dia pun menyapu pandangan Fara tepat di depannya dengan telapak tangan, tapi Fara masih enggan membuyarkan lamunannya.
"Fara," panggil Gandhi sekali lagi.
"Iya."
Fara tersentak kaget dan otomatis menutup matanya. Ia sungguh tak sadar sudah melamunkan hal yang tak seharusnya. Apalagi di depan orangnya.
Ah, benar-benar.
"Kamu nggak apa-apa, Ra? Sakit?"
Fara menggeleng karena masih kebingungan, antara jiwa dan raganya belum menyatu sepenuhnya. Memalukannya lagi saat bunyi perutnya mulai terdengar. Dengan tak sopan Gandhi menertawakannya.
"Oh, jadi ini," Gandhi kemudian bangkit dari tempat duduknya sambil menggandeng tangan kanan Fara.
Untuk sekian kali Fara kembali terkejut, matanya melebar saat menerima kenyataan jika Gandhi menggandengnya. Meski bukan hal pertama tapi rasanya sungguh berbeda. Gemuruh dihatinya hadir kembali, sama seperti kemarin dan tanpa undangan sekalipun.
"Kasih peringatan dulu kek," ucap Fara lirih sambil menepuk dadanya sebelah kanan.
"Kenapa, Ra?" tanya Gandhi yang mendengar samar-samar yang Fara katakan.
"Ah, nggak apa-apa," Fara merunduk.
"Kamu mau makan apa? Mumpung baik mau traktir ini."
"Terserah kamu aja," kata Fara.
Fara mengerutkan keningnya, ia merasa benar-benar bukan dirinya saat ini. Dia tak pernah berkata terserah saat Gandhi menanyakan ingin makan apa. Dia selalu mengatakan apa yang ia inginkan, bahkan sebanyak yang ia mau apalagi jika Gandhi sudah menraktirnya seperti saat ini.
Fara langsung duduk dan menunggu Gandhi membelikannya apapun. Ia sendiri masih bingung dengan perubahan yang terjadi dalam dirinya. Untuk membayangkan bagaimana reaksi wajahnya saat melamun tadi pun tak sanggup. Pasti benar-benar memalukan, dan merapalkan dalam hati semoga Gandhi tak berpikir macam-macam tentang dirinya.
"Ra, habisin," kata Gandhi setelah membeli makanan.
Gandhi membawa dua roti susu dan satu es krim. Sekali lagi Fara terkesima apalagi saat melihat es krim UniCornetto yang sudah ada di depannya. Ia tak menyangka Gandhi akan membelikannya tepat saat kemarin Fara sangat menginginkan es krim itu.
"Ra, kok bengong?"
"Makasih," ucap Fara sembari membuka bungkus roti dan memakannya sedikit terburu dengan potongan besar.
Kini tangannya sibuk membuka es krim dan segera memakannya. Aktifitasnya berhenti saat dirinya menoleh ke arah Gandhi yang sedang tersenyum memerhatikannya sejak tadi. Lagi-lagi gemuruh itu menghampiri, dan Fara menyadari pasti ada yang salah dengan dirinya.
Kenapa, sih? Bikin frustasi aja.
***
TBC. ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro