BAB 14
Fara merebahkan tubuhnya di sofa panjang setelah menyelesaikan makan malam bersama. Dengan sebuah buku di tangan, ia membaca halaman demi halaman. Kepalanya mengikuti ke kanan dan ke kiri sesuai dengan tulisan yang tertera di sana.
Detik jarum jam yang terus berjalan menemaninya hingga saat ini di titik pukul setengah delapan. Di hadapannya terpampang televisi berukuran 24 inch yang sedang tak menyala. Di depamnya terdapat meja yang di atasnya terhias oleh tiga toples yang berisi dengan beberapa camilan. Sesekali tangan Fara mengambil satu persatu isinya untuk menemani aktifitasnya membaca.
Suasana rumah yang hanya di huni oleh dirinya, mama, dan papa memang terkadang membuat Fara kesepian. Rumah ini pasti ramai saat hari lebaran dan waktu liburan. Biasanya, setelah hari lebaran pertama hingga hari ke tiga semuanya berkumpul di rumah nenek baru hari setelahnya semua saudara, sepupu, dan keponakan berkumpul akan berkumpul di rumahnya. Ya, karena papa adalah anak tertua dalam keluarga.
Mama yang datang dari dapur menuju ruang keluarga dengan satu gelas susu dan satu gelas teh manis di tangan. Bakat memasak Fara menurun dari mamanya, sejak sekolah dasar Fara juga sering menemani mamanya di dapur meski hanya sekedar mengamati dan tak jarang membuat ricuh di dapur dengan menumpahkan tepung ke dalam mangkuk dan di campur dengan air. Lalu sejak SMP Fara mulai belajar memasak, dengan masakan sederhana yang bisa ia tiru meskipun rasanya tentu masih tak se enak masakan mama tapi masih bisa diterima oleh lidah. Orang yang sering menjadi korban percobaan masakannya adalah Gandhi, ia adalah orang yang paling tahu perkembangan masakan Fara mulai dari yang hambar, keasinan, hingga asam dan pedas pun pernah dirasakan.
"Ra, UTS terakhir kapan?" tanya mama saat duduk di sofa lainnya.
"Kapan, ya? Jum'at, Ma," jawab Fara yang belum melepaskan pandangan dari buku di tangannya.
Namun pertanyaan mamanya membuat Fara tergelitik untuk bertanya lebih lanjut. Dia pun menutup bukunya hingga mengeluarkan bunyi.
"Kenapa, Ma? Mau ajakin Fara liburan?" kata Fara kemudian duduk.
Mama Fara berhenti sejenak saat meneguk segelas teh manisnya lalu menoleh pada Fara. "Emang kamu ada libur?"
Fara menyipitkan mata dan membalas dengan cengiran.
"Ra, belakangan ini Gandhi jarang main ke sini kenapa?" tanya mama lagi.
"Kemarin sibuk siapin buat tes anggota OSIS, Ma,"
"Sibuk banget, ya?"
"Iyup, tapi sebelum itu main ke sini kok waktu Mama ke rumah tante Mel."
Mama meneguk lagi teh manisnya. "Teman kamu kayaknya ada lagi satu, Ra."
Tiba-tiba Fara terbatuk dan langsung meneguk segelas susu yang sudah berada di atas meja.
"Siapa, Ma?"
"Itu cowok juga, aduh Mama lupa, siapa ya?"
Mama Fara mencoba berpikir, menerawang hingga ke atap rumah demi menemukan sepenggal ingatannya mengenai teman Fara.
"Itu lho, Ra, anaknya tinggi, rambutnya coklat kehitaman, terus kalau senyum muaniis karena kulit sawo matangnya, ramah lagi nggak kalah sama Gandhi," ungkap mama dengan mendeskripsikan dengan tangannya.
"Isshh, Mama. Wirdan?"
"Iya itu, ke mana dia?"
"Ya, di rumahnya, Ma," kata Fara lalu melanjutkan lagi kegiatan membacanya.
Mama memandang Fara dengan perasaan aneh. Fara selalu menceritakan teman-temannya dengan semangat, tapi kali ini raut di wajahnya tak satupun menggambarkannya.
"Ada masalah?" kata mama.
Fara menggeleng pelan, menghindari kontak mata dengan mamanya. Mama Fara semakin yakin ada sesuatu dengan anak semata wayangnya.
"Ra, dalam berteman ataupun bersahabat itu pasti ada sebuah gesekan baik dalam hal kecil maupun besar dan biasanya terjadi karena salah paham bisa juga kurang komunikasi."
Tak ada tanggapan dari Fara yang tak lepas dari pandangan mamanya, kini tangannya mengambil segelas susu miliknya dan meneguknya lagi hingga setengah.
"Ra, dengar Mama. Sebaik mungkin kita harus berusaha untuk menjaga keseimbangan hubungan baik antar Allah dan manusia, karena itu sangat penting," Fara mengalihkan pandangan menghadap mama.
"Saking pentingya, ustadz Ali pernah mengatakan apa gunanya beriman dan beramal baik jika hubungan dengan manusia tidak beres. Ini tidak memandang siapa yang salah, tapi bukankah meminta maaf lebih dulu itu yang terbaik? Orang yang meminta maaf lebih dulu itu bukan bentuk kesalahan, Ra. Justru dengan itu kita menjadi seseorang yang lebih berkelas."
"Huum," gumam Fara.
"Setidaknya kita harus cari dulu masalahnya di mana, buar jelas, Ra," lanjut mama.
Fara mengerti itu semua. Saat ini Fara tak bisa membantah ataupun menyetujuinya.Ia tak menampik bahwa dirinya tak sebaik itu untuk meminta maaf lebih dulu. Fara segera menghabiskan segelas susu yang tinggal separuh, lalu berpamitan pada mama untuk pergi ke kamarnya.
***
Fara membuka pintu kamarnya dengan tatapan kosong memandang ke sekeliling ruangan. Masih merasa tertampar dengan kata-kata mama tadi. Tetapi dirinya benar-benar belum siap jika harus meminta maaf lebih dulu, lagipula ia belum tahu pasti jika yang membuat Wirdan berubah adalah murni kesalahan darinya, bisa saja Wirdan hanya sedang bosan berteman dengannya dan inilah cara mengatasinya.
Fara menggeleng dua kali, mencoba menepis semua pikirannya dan melangkah menaiki kasur empuk yang telah menunggu untuk di tempati.
Beberapa menit saat ia akan terpejam, suara dering ponsel miliknya berbunyi. Ada satu panggilan di sana, dan nama Gandhi menari-nari di sana. Kemudian Fara menggeser lambang berwarna hijau dan menempelkannya ke telinga.
"Hem," seru Fara.
"Mau tidur, Ra?"
Kemudian Fara menoleh pada jam dinding, nampak di sana jarum jamnya menunjukkan pukul sepuluh malam lewat lima menit.
"Kenapa, Gan?" tanya Fara.
"Tiba-tiba aku ragu mau daftar ketua OSIS, Ra," kata Gandhi di seberang sana.
"Lah, kenapa?"
"Entahlah, merasa nggak pede, semakin dekat sama pendaftaran malah gini."
"Hei, tetap semangat dong. Ingat lagi usaha-usaha kamu buat masuk OSIS, tujuan kamu buat mencapai itu, capeknya kamu mempersiapkan semuanya, jangan lupain itu, Gan," kata Fara sambil membenarkan selimutnya hingga menutupi perut.
Terdengar helaan napas Gandhi dari seberang ponselnya. "Gitu, ya."
"Ternyata bapak motivator juga perlu motivasi, ya."
"Maksudnya?"
"Selama ini kan kamu yang selalu kasih motivasi, Gan, terutama buat kerjain tugas," Fara tertawa lirih.
"Sang motivator juga manusia biasa kali, Ra. Ya udah, makasih kalau gitu, tidur gih."
"Eh Gan tunggu," kata Fara saat Gandhi akan menutup teleponnya.
"Apa?"
"Besok langsung pulang kan habis sekolah?"
"Iya."
"Oke sip."
"Ya udah, malam, mimpi indah," ucap Gandhi kemudian langsung menutup teleponnya.
Fara tak sempat membalasnya. Ia tertegun sejenak. Pikirannya sempat terhenti, karena tidak biasanya Gandhi meneleponnya malam-malam seperti ini, kalaupun mengingatkan untuk mengerjakan PR dia akan menelepon saat jam tujuh malam, dan lagi ia belum pernah mendapat ucapan selamat malam dari Gandhi sebelumnya. Perlahan pipinya menghangat, kedua telapak tangannya menyentuh kemudian mengibaskan ke udara.
Rasanya, malam ini terasa hangat dari malam-malam sebelumnya.
***
TBC. ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro