Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 13

Udara panas mulai memasuki celah-celah ventilasi jendela kelas. Ditambah lagi cahaya yang berpendar melengkapi jalannya ujian tengah semester hari ini.

Semua murid SMA Karya Bhakti tampak serius mengerjakan soal-soal ujian pada hari ketiga. Di depan sejak tadi sudah ada dua guru yang menjaga jalannya ujian.

Seperti ujian-ujian pada umumnya, masih saja ada yang beberapa pasang mata yang melirik kanan-kiri, leher yang memutar gelisah ke belakang, ke samping, dan suara-suara bisikan antar sesama yang menjadi irama khas.

Sekitar lima belas menit lagi ujian hari ini berakhir. Kali ini semua murid hanya merindukan bel pulang sekolah. Dengan perut yang sudah meronta meminta amunisi untuk bangkit dari meja sekolah, kemudian denyutan di kepala yang menjalar hingga semua permukaan.

Beberapa kali Fara menunduk dan memejamkan mata. Seakan serius mengerjakan soal ujian, nyatanya kantuk telah menyerang lebih dulu, didukung dengan semilir angin yang meniup perlahan kearahnya, menyisakan tiga butir soal dalam soal lembarannya.

"Ra," panggil Gandhi di sampingnya.

"Fara," Gandhi menyenggol lengan Fara yang tak merubah posisinya.

"Fara Medina," kata Gandhi lagi dengan sedikit sentakan yang beruntung guru yang mengawasi tak mendengarnya.

Fara terlonjak dan sadar langsung menoleh pada sumber suara.

Gandhi terkikik geli. "Ilernya tuh bertebaran di mana-mana."

"Ha?" secara otomatis Fara mengusap pipi dan seluruh wajahnya, "ih, nggak, ya."

"Satu kosong. Lagian ini ujian, mbak, malah tidur."

"Udah pusing, mentok tiga soal," ucap Fara setengah berbisik.

Sejak dulu Fara tak suka jika ada aksi contek-mencontek, meskipum dirinya termasuk murid yang biasa saja soal akademik, tetapi kejujuran tetap ia pegang teguh. Prinsipnya apapun hasil yang di dapat, yang terpenting adalah hasil sendiri dengan usaha yang keras tentunya. Baginya jika ujian sekolah tiba ia gunakan sebagai ajang untuk menguji kemampuan diri.

Tak lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Semua siswa kelas IPA berseru menggambarkan kelegaan yang sudah tertahan sejak tadi. Secara bergantian setiap siswa mengumpulkan hasil kerjanya ke meja guru, ada juga yang menitipkannua pada teman di sebelahnya seperti yang Fara lakukan.

"Hiyaa, akhirnya selesai," kata Fara yang meregangkan tangannya saat tiba di depan kelas.

"Ra, mau ke kedai es krim depan gang, nggak?"

"Boleh, tapi ...,"

"Iya-iya aku traktir," seru Gandhi yang paling mengerti jika Fara sudah menggantung ucapannya sendiri.

"Nah, Gandhi emang terbaik," balas Fara dengan menepuk pundah Gandhi.

"Gan, kok pada ramai ke papan pengumuman ya?" kata Fara, "jangan-jangan pengumumannya udah keluar."

Fara menyeret Gandhi menuju papan pengumuman yang sudah di penuhi oleh siswa-siwi. Hal pertama yang Fara tangkap adalah tulisan di atas dengan menggunakan huruf kapital dan di bold agar semua bisa membacanya, bertuliskan "PENGUMUMAN HASIL SELEKSI ANGGOTA OSIS BARU"

Perlahan-lahan siswa di depannya mulai minggir meninggalkan papan pengumuman. Ada yang oergi dengan raut wajah senang tak lupa dengan kata yes yang terselip di sela semangatnya, ada juga yang berlalu dengan raut wajah tak bisa terdefinikan, mungkin menyembunyikan rasa kecewa karena ekspektasinya yang terlalu tinggi.

Saat ini yang ada di pikitannya adalah bagaimana ia harus menang dalam tantangan konyol yang ia terima. Kini toba giliran dirinya dan Gandhi untuk maju. Fara sudah pesimis karena di peringkat dua puluh yaitu peringkat terakhir saja namanya tidak ada. Namun dirinya tak menyerah malah meneliti satu tingkat lagi nama di atasnya. Sementara itu nama Gandhi Ramadhan sudah senyum-senyum sendiri melihat namanya yang bertengger di nama peringkat pertama.

"Gimana, Ra?" tanya Gandhi.

Fara tak menggubrisnya dan memilih terus fokus untuk mencari namanya dari peringkat paling bawah. Satu-satu ia teliti dengan jemarinya, hinga sampai ia melototkan mata dan membungkam mulutnya sendiri. Usaha yang ia lakukan sampai lupa dengan PR Fisika pun terbayarkan sekarang. Akhirnya nama Fara Medina tercetak di peringkat dua belas, sesuatu yang sangat membanggakan baginya.

Gandhi ikut senang dan memberi semangat lagi pada Fara.

"Benar kan, Ra, kamu pasti bisa. Makanya kita harus coba dulu."

Fara mengangguk dengan senyuman yang belum lepas dari bibirnya.

"Kalau kamu nggak perlu di ragukan lagi udah pasti masuk," ucapnya sambil ber-high five bersama.

Namun perlahan senyum lebar itu nampak pudar saat ia mendapati nama lain di posisi kedua. Wirdan juga lulus dalam seleksi ini. Fara menghela napas, mungkin ini memang jalan yang harus ia tempuh, rasanya menjadi asing untuk seorang yang dulunya pernah dekat telah terbukti di atas kertas ini. Jika harus bersama dalam pertemuan yang semakin intens lagi kedepannya tentun akan sangat berbeda, yang harusnya merasa senang karena terlibat dalam suatu ikatan tapu kini kecanggungan itu pasti terasa.

Fara menggelengkan kepala berusaha menepis hal-hal yang terus berputar di kepalanya.

"Gandhi, kamu masih yakin mau daftar calon ketua OSIS?"

"Iya, kenapa nggak?"

Fara kembali menggeleng dengan senyuman yang terlihat samar.

"Pendaftarannya kapan?"

"Nanti kalau UTS udah kelar," ucap Gandhi dengan semangat.

"Sip, aku bakal jadi tim sukses kamu," Fara mengulurkan tangan sebagai bentuk perjanjian yang telah di sahkan meski oleh dirinya sendiri.
Gandhi menyambutnya dan memberi tanda hormat pada Fara.

Suara batuk yang memang di sengaja muncul di belakang mereka saat akan meninggalkan papan pengumuman, suara yang benar-benar tak asing di masing-masing telinga mereka.

Gandhi berbalik lebih dulu di susul Fara yang telah menduga siapa yang datang. Tergambar kesenangan berkali lipat di wajah Gandhi dengan melihat Wirdan datang menghampiri mereka, rasanya seperti kedatangan saudara jauh yang telah lama tak bertemu.

"Selamat Gan, kamu memang nggak perlu di ragukan lagi," ucap Wirdan dengan senyum mengembang dan mereka saling menjabat tangan.

Kemudian Wirdan menoleh pada Fara yang didahului dengan senyum penuh arti yang berbeda dengan senyum sinis yang terakhir kali ia terima, kali ini lebih meneduhkan dan tersirat rasa bangga.

"Selamat, Ra, akhirnya kamu daftar dan menunjukkan bahwa kamu bisa."

Fara terdiam. Kalimat itu terngiang di telinga, apakah artinya perang berakhir? Entahlah, tapi kali ini Fara tak ingin memantik api untuk memancing emosi hanya karena meminta penjelasan yang tak akan berlangsung sederhana.

"Makasih," ucapnya kemudian yang dibalas senyum tipis Wirdan.

Wirdan berlalu lebih dulu, meninggalkan segudang tanya yang bersarang dalam benaknya.

***

TBC. ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro