Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 12

"Ra, ingat nanti nggak bisa pulang bareng," ucap Gandhi saat jam pelajaran berakhir.

"Siap. Eh, rapatnya sampai malam?" Gandhi mengangguk dan segera berlalu meninggalkan Fara dari kelas.

Hari ini adalah jadwal kegiatan ekskul seni. Fara mengurungkan diri untuk langsung pulang dan harus hadir dalam kegiatan, meskipun sangat enggan baginya menapaki kaki ke sana. Bukan karena tidak suka lagi dengan kegiatan di ekskul seni, tetapi menghindari hal yang membuat emosi terpancing itu lebih baik.

Meski dirinya dan Wirdan tak seakrab dulu tetapi mereka masih konsisten masih dalam satu ekskul yang sama. Karena hobi tak bisa terganti meskipun ada saja hal-hal yang membuatnya tak nyaman.

Sebuah ruangan yang seluas ruang kelas itu masih di huni beberapa orang. Ruangan itu diisi dengan dua meja berukuran besar yang letaknya di tengah sebagai pusat saat ada rapat kegiatan, dan berfungsi juga saat kegiatan rutinan berlangsung. Kemudian ada juga beberapa meja dan kursi serupa dengan yang ada di kelas.

Fara melangkah menuju meja yang letaknya dekat dengan kaca. Sebuah tempat favorit Fara dimana ada jendela disitulah ia akan memilih meja dan kursi sebagai tempat duduknya.

Sore ini begitu tenang, tapi berbeda dengan yang ada di luar jendela. Dia bisa melihat beberapa siswa yang baru keluar dari kelas, sedang bersenda gurau dengan teman di gazebo, ada yang datang dari arah kantin, dan ada juga yang memasang wajah cemberut saat di belakangnya seseorang sedang berusaha menjelaskan sesutu, sepertinya mereka adalah sepasang kekasih dan mungkin sedang salah paham. Ada juga di belakangnya dua orang mungkin temannya sedang berbisik dengan senyuman licik yang tergambar jelas dengan pandangan yang membuntuti kemana pasangan tadi pergi.

Fara mengangkat sudut bibirnya, dia suka sekali mengamati orang-orang di balik jendela tanpa diikuti suara mereka seperti ini. Layaknya menonton film ataupun music video yang pernah ia lihat. Perasaannya pun tergelitik jika ia berada di sana dan menjadi objek tontonan seperti yang ia lakukan saat ini.

Di tengah asiknya memerhatikan orang-orang yang melintas, seorang siswi dengan cepol rambut yang membuatnya memiliki image imut itu menghalangi pandangannya. Tangan mungil itu melambai pada Fara seakan mengisyaratkan dirinya untuk segera keluar dari ruang ekskul.
Tanpa pikir panjang lagi Fara segera menghampiri meski ia tak mengenalinya sebelumnya.

"Mbak Fara?" ucap siswi itu.

"Iya, ada apa?" kata Fara penasaran.

Tak ada jawaban dari siswi itu malah menarik tangan Fara untuk duduk di kursi panjang yang ada di depan ruang ekskul. Fara mengikutinya dan masih terbungkam dalam kebingungan. Belum juga mengutarakan maksudnya memanggil Fara, ia justru tersipu dan sesekali menutupi seluruh wajahnya dengan kedua tangan, untuk menyembunyikan senyuman dan semburat merah jambu yang tercetak di kedua pipinya.

"Mbak, kenalin namaku Brenda," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Fara menyambutnya dan mengangguk perlahan, sembari menunggu apa yang ingin ia sampaikan.

Brenda menarik napas dan mengembuskan perlahan, "Mbak dekat sama mas Wirdan, kan?"

Fara terlonjak mendengarnya, membulatkan mata dan menahan napasnya sejenak.

Maksudnya apa?

"Dia kok keren gitu sih, mbak," ucapnya tersenyum sambil mengepal tangannya di bawah dagu.

Fara mengerjapkan mata, benar-benar tak percaya dengan apa yang ia katakan. Fara belum menanggapi dan menunggu Brenda mengatakan sesuatu. Tersirat di wajahnya masih ada hal yang ingin di sampaikan.

"Tadi siang nggak sengaja lewat ruang ekskul ini, mbak. Keadaan sekitar sini kan masih sepi tuh, aku yang baru datang dari kantin mau numpang duduk sebentar di sini terus dengar ada yang main gitar sama nyanyi gitu, suaranya baguuus banget," Brenda menarik napas, "ternyata setelah aku lihat itu mas Wirdan."

Brenda meletakkan kedua tangannya ke lengan Fara dengan mata berbinar-binar.

"Mbak, awalnya aku biasa aja meski mas Wirdan banyak fansnya, tapi kali ini sepertinya ... aku mulai terjangkit," ujarnya dengan senyuman mengembang.

Fara hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Baru kali ini dia bertemu seorang yang mengaku sebagai 'penggemar' Wirdan yang bisa dibilang langsung seakrab ini. Kalau dirinya tak mencoba menerima dan mendengarkan terlebih dahulu, pasti Fara akan kabur sejak tadi.

"Mbak, mas Wirdan orangnya gimana?" tanyanya lagi.

"Eh Wirdan?" Fara menggaruk pelipisnya.

Belum pernah terbesit sedikitpun ia harus bercerita tentang bagaimana seseorang yang belakangan tak ingin ia bahas.

"Dia, baik. Selalu mengutamakan temannya daripada dirinya sendiri."

Sebelum dia sakit jiwa.

"Mungkin kalau bagi yang belum kenal, dia kelihatan dingin, cuek. Tapi, ya, bisa kamu amati sendiri," Fara mengedikkan bahu.

"Wah, tipe aku banget, mbak," semburat merah jambu itu masih tergambar di pipinya.

"Kira-kira kalau ada yang mau lebih dekat, mas Wirdan bakal risih nggak, mbak?"

"Eum, harus kamu coba dulu deh," ucap Fara mantap.

"Oke, aku akan coba. Mbak Fara, makasih banyak, doakan aku sukses," kata Brenda sambil memeluk Fara.

Lambaian tangan terakhir dari Brenda menandakan kepergiannya, dan berharap di dasar hati semoga Wirdan tak melampiaskan masalahnya pada siapapun.

***

Fara kembali lagi ke meja semula yang berada dekat dengan jendela bagian belakang. Ia mengeluarkan selembar kertas beserta pensil dan berniat hanya ingin mencorat-coretnya,  membuat goresan tak bermakna sembari menunggu pemateri datang. Satu-persatu memasuki ruangan dan saling menyapa Fara yang lebih dulu berada di dalam lalu menduduki kursi mereka masing-masing.

Berbeda dengan Wirdan yang masuk dari ruang latihan musik, dengan langkah gontai ia memilih tempat duduk paling depan.

Fara ingat betul, biasanya Wirdan selalu duduk di sampingnya atau di belakangnya dan tak pernah memilih tempat duduk yang jauh darinya.

Fara meletakkan pensilnya sejenak dan menopang dagu dengan tangannya. Meski pemateri sudah datang sekitar sepuluh menit yang lalu tapi fokusnya tak sekalipun berpindah dari tempat Wirdan duduk saat ini.

Fara lelah dengan semua ini, bagaimana bisa kecanggungan itu tercipta dalam suatu keadaan. Dia sangat membencinya, menyebabkan kenyamanan yang semula ada menjadi hilang, sirna.

Ingin sekali menegurnya, mencoba sebisa mungkin bercengkerama seperti biasa, tetapi saat ia ingat lagi perlakuan Wirdan yang berbeda padanya dan mengapa hanya dia sedangkan Gandhi tak menerima perubahan itu, Fara pun mundur sekali lagi untuk mendekatinya. Biarlah semua mengalir dan suatu saat akan sampai pada muaranya.

***

TBC. ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro