Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 10

Sinar matahari belum sepenuhnya menghujami permukaan bumi. Tetapi cahayanya mampu menerpa sebagian wajah maupun seluruhnya saat seseorang melewatinya. Begitupun dengan penghuni sekolah yang biasanya sudah berlalu lalang di depan pintu kelas, kini masih terlihat beberapa orang yang sudah mengisi kelasnya.

Kali ini, Fara datang lebih pagi dari biasanya. Manikmati suasana kelas yang sepi di pagi hari dengan mendengarkan musik mungkin bisa membangkitkan semangatnya lagi. Setelah berperang batin kemarin cukup menguras energinya untuk sekedar melakukan sesuatu.

Fara menuju tempat duduknya yang dekat dengan jendela kelas dengan penerangan dari sinar matahari yang belum menembus ruangan. Kedua tangannya membuka gorden berwarna piech agar sinarnya dapat masuk. Fara mengaitkan tas di bagian pinggir meja setelah mengeluarkan ponsel beserta headseat-nya dan juga selembar kertas dari Lia beberapa hari yang lalu.

Dengan jaket hitam yang masih melekat di tubuhnya, Fara duduk tenang dan memilih beberapa lagu dalam daftar playlist-nya. Kemudian menarik dua sisi headseat-nya agar terpasang sempurna di telinganya dengan memutar lagu Monokrom dari penyanyi Tulus. Fara mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja dengan menikmati suara emas dari penyanyinya.

Lembaran foto hitam-putih

Kembali teringat walau kuhitung-hitung bintang

Saat mataku sulit tidur, suaramu buatku lelap

Dimanapun kalian berada kukirimkan terima kasih

Untuk warna dalam hidupku dan banyak kenangan indah, kau melukis aku

Kita tak pernah tahu berapa lama kita di beri waktu

Jika aku pergi lebih dulu jangan lupakan aku, ini lagu untukmu ungkapan terima kasihku.

Tanpa sadar, pilihan lagunya turut sedikit menggambarkan potongan kisahnya. Perlahan ia terlarut dan ikut menyanyikan sebagian bait lagunya dengan nada lirih.

Memang kehidupan yang berjalan dinamis ini selalu ada seseorang yang singgah lalu pergi, banyak juga yang singgah lalu memilih menetap untuk mengukir kembali jalan cerita yang penuh misteri. Untuk mereka yang hanya singgah lalu pergi dalam kehidupan kita, setidaknya pernah membuat warna dalam hidup kita, yang menjelma sebagai pelajaran maupun lukisan untuk kita kenang di masa depan.

Fara menarik sudut bibirnya saat lagu tersebut mencapai nada terakhir. Pandangannya kini beralih pada seseorang yang baru saja datang dan dengan senyum semringah itu Fara langsung mengetahui artinya, pasti ada kabar baik setelah ini.

"Pagi, Ra," sapa Devi yang datang dan langsung menghampirinya.

"Pagi, Devi," balas Fara dengan binar di matanya.

Sesuai dugaannya, Devi mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyerahkan pada Fara dengan raut wajah bangga dengan hasil yang ia buat. Pamflet berukuran 21 x 10 cm yang di desain sesuai sketsa dari Fara dengan warna dasar pink itu ia terima dengan senang hati.

"Ya ampun, so cute, makasih banyak, Dev. Sebagai rasa terima kasih, aku traktir deh."

"Uwaaah, siap. Eh tapi nanti aja, Ra, tanggal-tanggal tua gitu," ucap Devi dengan kerlingan matanya.

"Oke. Ya udah aku kasih ini ke Lia dulu sebelum bel masuk," Devi mengangguk mengiringi langkah Fara ke depan pintu.

***

"Liaaa," teriak Fara dari ambang pintu.

Ruang ekskul seni yang letaknya dekat dengan kantin sekolah itu telah dipenuhi oleh pengurus dan juga panitia perekrutan anggota baru. Satu ruangan ekskul ditempatkan berjejeran dengan ekskul lainnya, sehingga persahabatan antara ekskul terjalin dengan sangat erat dan meminimalisir adanya pertikaian antara satu dan yang lain.

"Ra, suaranya kecilin, ada rapat ini," Lia segera menghampiri Fara yang sedang mendapat sambutan dari beberapa pasang mata yang tertuju padanya.

"Ups! Maaf" ujar Fara dengan menutup mulutnya, "ini pamfletnya, Li."

Lia menerima pamflet berwarna pink dan mengamatinya dengan seksama. Lia sempat heran sebelumnya karena ini adalah tugas untuk dua orang tapi mereka mengerjakannya masing-masing.

"Kenapa, Li? Jelek, ya?" tanya Fara penasaran.

"Bagus, Ra. Cuma, ini tugas kelompok, aku pikir yang Wirdan kasih itu buatan kalian ternyata kalian bikin masing-masing."

"Wirdan kesini?"

"Iya, baru aja sebelum kamu masuk, setelah kasih pamfletnya langsung pergi."

Mendengar hal itu secara spontan Fara menoleh ke luar pintu. Ternyata benar, Wirdan baru saja meninggalkan ruang ekskul. Kini dirinya berjalan menuju ruang kelasnya yang jaraknya dengan ruangan ini tak begitu jauh.

Sedikit ada perasaan lega menghampirinya. Wirdan belum berubah sepenuhnya, ia masih tetap menjadi Wirdan yang selalu membantunya meski sekarang dengan sikap yang berbeda. Entah sampai kapan ia akan terus menutup tabir di antara mereka dan tak mengizinkan sebuah komunikasi baik memperkuat mereka kembali.

Jauh dalam dasar hatinya, Fara ingin berterus terang apa yang ia rasakan saat Wirdan mulai berubah. Kehampaan saat ia tak bisa lagi melakukan hobi yang sama, tak ada lagi candaan receh yang selalu terlontar dari dirinya yang kini telah berganti dengan untaian kata menyebalkan yang kerap terlontar darinya. Rasanya benar-benar seperti kehilangan satu saudara laki-laki yang dulu begitu menyayanginya.

***

Sejak usai kelas malam itu, Fara sudah dua hari tak masuk sekolah. Selama dua hari itu juga Gandhi selalu mendatangi rumah Fara setelah pulang sekolah. Tetapi ada hal mengganjal menghampirinya, Wirdan tak pernah menjenguknya bahkan sampai dirinya masuk sekolah, bahkan sekedar bertanya pada Gandhi tentang keadaannya pun Wirdan seakan tak peduli lagi.

Sederet pertanyaan menghampiri dengan tanda tanya yang tak ada habisnya, namun kuasa untuk bertanya tentang apa yang sedang terjadi tak pernah mampu menembus ego antar keduanya.

Hari-hari awal dengan kebersamaan yang berkurang tentu terasa berbeda. Langkah yang biasanya dilalui bersamaan kini berjalan masing-masing sesuai kehendaknya. Tak ada lagi sapaan hangat yang di terima setiap pagi sebelum kelas berlangsung. Meskipun masih dalam ruangan yang sama perlahan-lahan menjadi jauh, terasing, hingga hilang tanpa jejak..

Bruk!

Salah satu bahu siswa yang sedang lewat menabrak Fara hingga buku-buku yang semula berada di tangannya terjatuh.

"Maaf, Ra," ujarnya sambil membantu membereskan buku-buku yang terjatuh.

"Nggak apa-apa," Fara mengangguk dan mengisyaratkan siswa itu untuk meninggalkannya.

Tak jauh darinya seorang siswa lain berdiri dan memandanginya dengan tatapan dingin yang dimiliki. Sebuah pandangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya jika terjadi sesuatu yang melibatkan Fara, dia akan menjadi orang terdepan yang akan membantunya. Namun kini keadaan telah berbalik, bahkan langkah kakinya terasa kaku untuk menghampirinya.

Biasanya tak perlu ada pergolakan batin sebelumnya apalagi hanya untuk membantu seseorang yang menjadi teman dekatnya. Biasanya ia selalu mencegah kemungkinan buruk itu terjadi padanya, bahkan memberi nasihat tanpa diminta terasa ringan dilakukan. Kini, saat melihatnya terduduk di lantai dengan membereskan buku-buku yang terjatuh, ia harus berpikir berkali lipat bahkan untuk sekedar menghampirinya saja.

Menyadari ada yang memerhatikannya dari dekat, Fara mendongak untuk memastikannya. Pandangan itu bertemu. Saling mengunci di antara kebisuan. Menahan amarah yang tak bisa untuk diluapkan. Menekan ego untuk berbuat semaunya. Jika ini bukan di sekolah, mungkin Fara akan mencoba bogem empuk untuk mendarat dengan sukses di wajah Wirdan.

*** 

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro