Bagian 42 : Aku Tetaplah Gadis Lemah
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu istana diketok dari luar, mengeluarkan suara ketokan pintu yang tidak begitu keras namun terdengar jelas mengundang mata merahku mendelik ke pintu istana. Mengalihkan pandanganku dari bunga-bunga yang aku petik dari halaman belakang istana.
Salah satu penjaga istana membukakan pintu. Kaki kecilku berjalan kecil namun cepat menghampiri sang penjaga masih menyembulkan diri di luar pintu. Aku mengetok-ngetok baju baja penjaga istana itu. Dia menoleh padaku dan tersenyum.
"Siapa yang datang?" tanyaku dengan nada datar yang dingin, tak peduli siapa yang datang namun aku harus mengetahui siapa yang berkunjung ke istanaku.
"Seorang gadis dari keluarga Weltobas, Yang Mulia Ratu," jawab sang penjaga istana berlutut hormat padaku.
"Jessy? Untuk apa dia ke sini? Aku tidak ingin bermain dengannya lagi. Aku ingin sendirian. Usir dia dari istanaku," titahku.
"Baiklah, Yang Mulia Rat-"
BRAK!!
"Putri Moune!" seorang gadis kecil bertudung putih menyembulkan kepalanya, membuatku dan penjaga istana terkejut, menoleh ke arahnya.
Aku menatap datar. "Pergilah, Jessy. Aku tidak mau ditema-"
Kata-kataku terpotong begitu saja sejak Jessy tak memperdulikan ucapanku dan malah masuk ke dalam istana memeluk diriku. Aku berusaha menolak pelukannya, namun dia terus memelukku begitu erat.
"Jessy! Lepaskan aku!" titahku. "Kau sudah lancang memelukku! Kini, aku bukanlah sebagai seorang Putri, melainkan seorang Ratu sekaligus Raja Romanove menggantikan orang tuaku yang telah pergi meninggalkanku begitu cepat!"
"Saya tahu itu, Ratu Moune. Maka dari itu, saya ingin mendukung Anda, melindungi Anda, dan terus berada di samping Anda. Izinkan saya menjadi pedang Anda yang mampu melindungi Anda dari para penjahat yang berada di luar sana. Saya tidak sanggup melihat Anda tak berekspresi saat orang tua Anda dimakamkan. Entah kenapa, saya benar-benar merasa tak sanggup melihat semua ini terjadi pada diri Anda. Bahkan, Anda masih kecil. Dengan mempertaruhkan segalanya, saya akan menjadi pelindung Anda. Saya bersumpah, dengan ini, saya telah menjadi anak buah Anda, kerajaan Romanove."
Aku mendengarkan Jessy yang masih menginjak angka 7 tahun itu berbicara seperti itu kepadaku yang masih berumur 6 tahun. Kepalaku menunduk sedikit melihat Jessy melepas pelukan dan berlutut hormat padaku.
"Demi apa kau mengatakan dan melakukan hal yang kau katakan tadi padaku?" tanyaku.
"Demi Yang Mulia Ratu Mouneletta Romanove, pemimpin kerajaan Romanove yang terhormat. Saya dari keluarga berpedang, Weltobas, diutus untuk menjadi pelindung Anda kelak. Hari ini pun tiba untuk menjadikan saya sebagai pelindung setia Anda," jawab Jessy.
Aku diam menatap Jessy tengah masih berlutut hormat padaku. Menunggu perintahku agar dia kembali berdiri. Namun, aku tidak menyuruhnya untuk berdiri dulu. Tanganku memegang ujung kepalanya sembari mengatakan beberapa patah kata.
"Hari ini, aku, Ratu Mouneletta Romanove, memerintahkan Jessy Weltobas, menjadi pengawal pribadiku seumur hidup berkat sumpahnya."
Pada saat itu, Jessy pun tinggal di istanaku dengan alasan menjadikan dirinya sebagai pelayan, pengawal, dan penasihat istanaku.
Aku pikir, sumpah itu akan tetap bertahan. Aku pikir, semua perkataannya akan permanen dalam sumpah tersebut. Aku pikir, dia adalah teman pertama yang aku harapkan.
Ternyata ...
👑👑👑
"PENGKHIANAT."
Aku tak bisa membebaskan tubuhku karena ikatan rantai besi ini begitu membungkam segala kebebasanku untuk bergerak menuju ke arahnya, agar aku langsung bisa membunuhnya dengan kekuatan yang aku miliki saat ini dengan pedangku.
Gadis berambut hitam panjang melebihkan punggung itu berbusanakan gaun panjang berwarna nila dan hitam. Di puncak kepalanya terdapat mahkota hitam yang sama sekali tidak cantik. Jika dibandingkan lebih bagus mahkota milikku. Dia tampak berbeda jika rambutnya tidak diikat. Senyuman itu tersungging begitu jelas membuatku kesal tiada tara. Aku juga ikut tersenyum sembari mengatakan satu kataku barusan.
"Sudah kuduga, bahwa Anda akan mengatakan itu kepada saya, karena Anda telah percaya kepada orang seperti saya. Sayang sekali, Ratu Romanove. Namun sesungguhnya, saya menjadi pelindung Anda hanya mempunyai satu tujuan yang sebenarnya." Jessy turun dari puncak esku. Tiba-tiba saja sebuah pedang berwarna merah kehitaman telah berada di tangannya. Mengarahkan ujung pedang runcing itu tepat di depan mataku. "Yaitu, membunuh Anda, Ratu."
Aku tak butuh alasan kenapa dia ingin membunuhku, terutama alasan dia membunuh kedua orang tuaku lebih dulu. Yang lebih aku pertanyakan adalah, bagaimana caranya dia bisa membunuh orang tuaku? Bukankah waktu hari pembunuhan itu, dia tidak mengunjungi istanaku? Bahkan, aku lihat, pembunuh orang tuaku berbadan orang dewasa. Dua pedang dan pola gaun panjang serta rambut diikat membentuk buntut kuda. Ah, iya, itu kan tipikalnya Jessy. Namun, saat itu, Jessy masih berumur 7 tahun dan tidak masuk akal jika Jessy tiba-tiba bisa mengubah wujud tubuhnya menjadi orang dewasa.
Oh, sekarang tidak ada hal yang mustahil lagi. Apapun terlihat bisa dinyatakan dengan mudah. Kekuatan maupun itu hewan yang bisa berbicara. Semua telah menjadi nyata di depan mataku. Aku tak perlu bertanya. Tak akan bertanya. Karena jawabannya sudah aku tahu sendiri. Lagipula, yang membunuh orang tuaku adalah Jessy Weltobas.
Prok! Prok! Prok!
Suara tepuk tangan dari Jessy membuatku tersentak sebentar. Aku menatapnya tajam tanpa merasa takut jika memang aku akan berakhir mati di tangannya. Seluruh tubuhku tidak mampu melepaskan rantai besi ini. Biarlah aku terikat dalam rantainya, namun tidak terikat dalam kemisterian tentang pembunuh orang tuaku lagi. Kini, aku sudah mengetahui, bahwa dialah yang dibalik semua kejadian yang menimpa keluargaku. Termasuk yang pasti dari kebakaran istana waktu itu.
"Selamat. Anda telah sampai di istana saya, istana Jeswel, yaitu singkatan dari nama saya, JESsy WELtobas. Apa Anda sadar bahwa nama istana ini didapat dari singkatan nama saya?" Jessy berjalan menjauh. Langkahnya membuat satu per satu cahaya biru melenyapkan kenyarisan kegelapan ruangan ini.
"Aku tak pernah berpikir untuk mengungkapkan nama istanamu. Kecuali jika itu adalah teka-teki agar aku bisa menemui pembunuh orang tuaku," balasku dingin.
Jessy terkekeh. "Seperti biasa, Anda berkata dingin pada saya. Namun sesungguhnya, pasti Anda kecewa dengan kenyataan bahwa saya adalah dalang dari semua ini. Benar begitu?"
Giliranku yang terkekeh. "Tidak juga. Aku hanya terkejut. Aku ke sini hanya ingin membunuhmu, Jessy."
"Anda ingin membunuh saya? Ah, iya, jika Anda bisa membunuh saya, maka Anda akan memimpin dua jabatan sekaligus. Menjadi Ratu Romanove dan Presiden Fantasy Land. Memang tidak mudah, tapi, Anda pasti akan menikmati dua jabatan sekaligus."
"Aku tahu itu. Menjadi Presiden. Aku rasa itu tidak buruk, demi penduduk dunia Fantasy Land menginginkan perdamaian. Dibandingkan dipimpin oleh Presiden GILA SEPERTIMU!!"
Aku kembali meronta berusaha melepaskan diri dari rantai besi ini. Kali ini lebih keras. Namun, sia-sia saja, aku tak mampu terlepas dari rantai sialan ini. Jessy menyeringai.
"Ahh, senangnya bisa melihat Ratu menderita. Bagaimana rasanya diikat oleh rantai saya? Rantai besi ini adalah kekuatan saya. Saya sangat menyukai kekuatan ini, mengendalikan besi sangat menggairahkan. Bahkan, Anda sampai tak bisa melepaskan diri dari jeratan saya. Saya turut senang."
Aku mendecih dan menyumpah serapah di dalam hati. Tak ada yang bisa aku lakukan. Benar-benar payah. Ya, dari awal aku memang payah. Gadis yang payah dan manja. Seorang gadis dari darah bangsawan terhormat, namun aku tetap merasa payah. Inikah akhirku? Apa aku akan mati di tangannya? Kemudian, aku akan menyusul orang tuaku di alam lain. Inikah masa depanku?
Tidak.
Aku tidak ingin berakhir seperti ini. Walaupun aku masih hidup, aku tetap menganggap diriku sudah mati karena tidak berarti sama sekali jika aku masih hidup mengisi dunia ini. Namun, jika kematian telah ada di depan mata, aku akan melawan kematian itu dengan caraku sendiri. Menerima kematian dengan cara melawan.
Mouneletta Romanove tidak akan pernah kalah. Aku tidak akan pernah merasakan kekalahan pada siapapun. Sudah banyak orang yang mendukungku untuk sampai ke sini. Mengharapkanku agar bisa membunuh Jessy. Dukungan dari mereka tidak akan pernah aku lupa. Berkat mereka, aku telah sampai pada puncak terakhir. Aku akan mengakhiri ini. Mengakhiri dengan kemenangan yang tidak akan pernah dilupakan olehku dan semua orang.
Lagipula, rantai ini kurang kuat hanya untuk menghentikanku.
"Tersenyum dan hinalah aku sebanyak-banyaknya sebelum kematian membungkam mulutmu itu untuk diam selamanya, Jessy!"
Jessy tertawa kecil mendengar itu. Kecil, sedang, dan akhirnya terdengar keras. Tawa yang renyah, namun telingaku merasa ingin pecah. Aku tidak tahan lagi. Tanganku gatal menginginkan dia mati.
Semua rantai yang mengikatku. Sekarang, akulah yang mengendalikan kalian. Hormatlah padaku. Turutlah padaku. Laksanakan semua yang aku perintahkan. Kini, akulah yang menjadi pemimpin kalian. Lepaskan aku.
Aku membatin dalam pejamanku sembari mengeluarkan kekuatan yang diberikan Talia padaku, yaitu kekuatan mengendalikan benda mati. Entah apa kekuatan Talia bisa mencuri kekuatan orang lain, namun tidak ada salahnya kalau mencoba. Rantai besi juga termasuk benda mati.
Secara perlahan, namun itu membuat Jessy berhasil terkejut membelalakkan mata birunya, rantai besi ini melonggarkan ikatan. Membebaskanku dari jeratan besi yang membuat kulitku merah. Aku mengangkat sebelah tanganku yang sudah bebas, mengendalikan rantai besi milik Jessy. Rantai besi ini menurunkanku, membuatku kembali bisa memijak lantai. Kemudian memerintahkan rantai besi ini mengikat Jessy. Aku mengubah cermin Doorfan menjadi pedang. Bentuk pedang ini terlihat sangat berbeda dari yang sebelumnya.
Sabit.
Bukan pedang, melainkan sebuah sabit. Sabit yang besar dan tajam berwarna merah. Aku mengarahkan sabitku ke arah Jessy. Giliranku yang mengarahkan senjata. Mata merahku menatapnya begitu tajam. Menahan hasrat membunuhku untuk sebentar. Kenapa sabit, ya? Padahal aku membayangkan pedang bukannya sabit.
"Ada kata-kata terakhir?"
Jessy menyeringai. "Ada. Tapi, mungkin ini bukanlah kata-kata terakhirku. Awas di belakangmu."
"Apa?" Aku membalikkan badan melihat dua monster yang begitu tak asing. Swonlerda. Monster sialan yang membunuh orang-orangku yang tidak bersalah. Rupanya, monster ini juga berasal dari Jessy.
Aku ingin menghindar, namun tak sempat karena salah satu monster itu menghajarku dengan tangan besarnya, sehingga membuatku terpental jauh menabrak dinding. Tubuhku kembali bangkit sekuat tenaga yang kupunya. Mulutku terbatuk mengeluarkan sedikit darah. Pandanganku sedikit berayun, membuat diriku kembali dihantam oleh pukulan monster Swonlerda. Sekali lagi aku terpental jauh dan berakhir tersungkur di lantai.
Sabitku terlepas dari genggamanku. Tak jauh dari tempatku tersungkur, tanganku berusaha meraih sabitku kembali. Tapi, Jessy telah lebih dulu mengambil sabitku, membuat benda itu kembali seperti sediakala, sebuah cermin rias biasa. Dengan mudah dia bebas dari jeratan rantai besiku.
"Oh, inikah cermin Doorfan yang Peter Ortoria jaga? Dan, aku dengar, Anda mengalahkan Peter Ortoria sekaligus membunuhnya. Anda sudah bisa menggunakan senjata. Saya sangat senang dengan perkembangan Anda sudah sejauh itu. Cermin ini tidak mau menuruti saya. Apa sebaiknya saya pecahkan saja kaca ini?" kata Jessy.
Jessy menghampiriku. Kakinya yang memakai sepatu hak tinggi hitam, menginjak sebelah wajahku begitu keras. Menyakitkan, aku bisa merasakan darah keluar dari injakkan ini. Brengsek.
"Kau hebat. Ini pertama kali aku diinjak-injak oleh orang brengsek sepertimu. Sungguh pengalaman yang paling buruk," balasku tak menanggapi kata Jessy yang ingin menghancurkan cermin Doorfan.
"Ah, ini hanya permulaan. Akan lebih menyakitkan jika pedang saya menusuk jantung Anda. Namun sebelum itu, saya harus memecahkan cermin ini dulu." Jessy menghempaskan cermin Doorfan.
PRANG!!
Suara pecah kaca dari cermin Doorfan telah membuat telingaku berdengung sebentar, karena Jessy menghempaskan cermin itu di dekatku. Cermin Doorfan benar-benar hancur. Jessy sudah membuat cermin tak biasa itu pecah menjadi tak berguna.
"Nah, sudah selesai. Terakhir, membunuh Ratu," kata Jessy kembali menoleh padaku sembari memunculkan pedang merahnya kembali. Jessy menginjak bagian perutku dan mengangkat pedang tepat di atas jantungku berada. "Selamat beristirahat, Yang Mulia Ratu perak."
Kedua mataku terpejam kuat. Menerima apa yang akan terjadi padaku, yaitu kematian. Aku akan terbunuh oleh orang brengsek ini. Aku kalah. Sudah kalah. Walaupun aku berkembang karena sudah bisa memakai senjata, aku tetaplah seorang gadis lemah. Ini menyebalkan. Aku tidak mau mati. Aku masih ingin bertemu dengan mereka. Aku ... tidak akan mati begitu saja. Sekali lagi, aku harus melawan. Aku pernah berjanji, bahwa aku tidak boleh mati sampai aku bisa membunuh Jessy.
Cermin Doorfan. Aku membutuhkanmu. Aku yakin, kau tidak mati begitu saja karena telah dipecahkan. Tidak semudah itu kau dikalahkan. Kau sama sepertiku, mudah pecah namun sebenarnya, tulang tidak bisa dipecahkan dengan mudah. Kembalilah ke tanganku. Ini perintah dari pemimpin Fantasy Land yang ASLI.
Sebuah cahaya putih muncul dari serpihan cermin Doorfan, membuat Jessy tidak jadi menusukku dan malah melihat ke arah cahaya itu berasal. Kesempatan ini tidak akan aku buang begitu saja. Kakiku menendang tubuh Jessy dari hadapanku, membuatnya jatuh tersungkur dan memisahkan pedang merah itu dari genggamannya.
Dengan kekuatan seadanya, aku berusaha bangkit sembari terbatuk-batuk. Meraih cermin Doorfan yang sedang menyatu kembali menjadi seperti semula. Aku tidak menyangka, rupanya cermin Doorfan masih bisa mendengarku. Aku memeluk cermin Doorfan. Merasa terharu dan bersyukur bahwa benda ini tidak jadi hancur selamanya.
Benda ini telah membantuku sampai ke sini dari awal aku memasuki Fantasy Land. Berkat benda ini, aku masih hidup sampai sekarang. Ini akan menjadi cermin terindahku. Dan sekarang, waktunya pembalasanku karena Jessy sudah lancang dan berani telah menginjak tubuhku.
Aku hampir melupakan kedua monster Swonlerda itu. Dua makhluk buruk rupa itu ingin menyerangku lagi, namun dengan mudah aku melenyapkan mereka dengan kekuatan esku.
"Letta."
Celdo. Dia telah berhasil melewati penjaga pintu itu. Dia terlihat baik-baik saja. Syukurlah. Sebelum aku menghampirinya, aku harus menyelesaikan urusanku dengan Jessy.
Aku yakin Jessy masih tersungkur. Namun, dia hilang dari tempatnya jatuh. Mataku mencari sosok Jessy dan aku menemukan dia telah berada di belakang Celdo. Dia mengangkat pedang, segera menebas Celdo dari belakang.
"AWAS, CELDO!"
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro