Bagian 34 : Gerbang Ketiga
Perlahan, aku membuka kedua mataku. Mata ini terasa berat sekali saat ingin dibuka, seolah tidak pernah tidur cukup. Sedikit demi sedikit, indra penglihatan ini mulai berfungsi. Tempat ini asing. Aku tak tahu, namun sepertinya aku telah berada di tempat yang lain.
Gelap. Tempat yang penuh dengan warna hitam tanpa ada secercah warna lain. Hawa di sini dingin dan menyesakkan. Kenapa terasa menyesakkan? Aku tak tahu. Kegelapan ini seolah mengurungku jauh dari cahaya. Mengasingkanku dari warna lain yang lebih indah. Mengikatku dengan benang tajam keputusasaan yang menyakitkan.
Tunggu dulu. Benang?
Aku baru sadar. Kini, tubuhku diikat oleh helaian benang. Menggantungku sampai kakiku tak mampu menyentuh permukaan. Kedua lenganku dililit benang dengan posisi merentang. Sepasang kakiku juga dililit benang dengan posisi melurus rapat. Juga bagian tubuhku lainnya.
Siapa yang telah melakukanku seperti ini? Bukankah aku berada di hutan aneh yang di dalamnya terdapat gerbang-gerbang istana Jeswel? Kapan aku bisa sampai di sini? Ini aneh. Aku harus keluar dari sini. Melepas benang-benang ini dariku. Kemudian, mencari jalan keluar dan menemukan sosok Celdo. Mungkin dia juga ada di sini.
Kedua lenganku mulai bergerak, meronta berusaha melepaskan diri dari ikatan benang yang anehnya tidak mudah putus. Jika benang biasa, meronta sedikit saja benang ini pasti sudah putus. Namun, kenapa benang ini malah memperkuat ikatan dan melukaiku? Benang macam apa ini?
Pada saat aku menggerakkan diri, salah satu helai benang melukai kulitku. Setetes darah keluar dari goresan luka. Rasanya perih dan membakar. Namun, tak begitu sakit. Kalau bergerak lagi, bisa-bisa benang yang lainnya juga ikut melukai tubuhku. Goresan kecil bisa menjadi rasa sakit yang besar karena jumlahnya. Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang?
Cicin perak yang menghias jari manis kiriku bersinar merah, hanya sebentar. Entah apa maksud dari cahaya tersebut. Namun, sepertinya cermin Doorfan berusaha memberitahuku sesuatu. Mungkin, tentang tempat ini? Asal benang tajam ini? Atau ... ada orang lain selain diriku?
Berita baik. Aku benar-benar terjebak dan dilanda kebingungan. Tak tahu harus melakukan apa, aku memilih terikat dalam diam. Menunggu tanda-tanda kehidupan -maksudku, orang lain selain aku.
Lama sekali aku menantikan siapa orang yang akan menyapaku. Yap, biasanya, kalau aku telah dipindahkan cermin Doorfan ke tempat asing, pasti ada orang yang akan menyambutku, seakan aku adalah tamu mereka.
Tempat ini jauh berbeda dibandingkan tempat yang pernah aku kunjungi sebelumnya. Dan juga, keadaanku yang sekarang terikat sama sekali tak menjelaskan apapun kenapa dan alasan aku berada di sini. Sepertinya, hanya aku yang berada di sini, tidak, aku yakin pasti ada orang lain selain diriku. Tidak mungkin tak ada alasan yang menjelaskan aku berada di tempat suram seperti ini. Bukan suram, lebih tepatnya, sunyi dan kosong. Tempat kosong yang hanya diisi olehku.
Tes.
Sontak air mataku jatuh. Melungsuri kedua pipiku dan jatuh pada dasar lantai yang gelap seperti tak ada permukaan apa-apa. Entah apa yang mengundangku menangis, tapi, jika boleh dikatakan, hatiku semakin sakit berlama-lama di tempat ini.
Kegelapan, benang tajam, dan aku yang sendirian. Di tempatkan di sini tanpa ada alasan yang bisa membuatku mengangguk paham, dan lebih parahnya lagi, tak ada seorang pun selain diriku. Rasanya ... sakit.
Membiarkan diriku terikat oleh benang tajam yang sepertinya berbahaya jika aku asal bergerak. Mengurungku dalam warna hitam yang menggelapkan sekitar. Aku paham. Tempat ini seperti diriku yang menyedihkan. Tak ada yang mau menemaniku, apalagi menghampiri.
Dunia adalah tempat terjahat yang pernah aku tinggali. Rumah yang mengatakan kalau dunia itu indah akan hal keindahan pada sesuatu yang menakjubkan. Namun, coba pikirkan keburukannya. Dunia tidak sebaik yang orang-orang gambarkan. Orang lain selalu saja menganggap dunia itu baik. Namun, mereka tak sadar, bahwa dunia telah menghipnotis mereka untuk melakukan hal-hal menyenangkan. Bagiku, itu membuang-buang waktu saja. Tidak ada satu pun hal yang bisa aku sebut baik. Bahkan dunia ini. Menurutku, dunia itu jahat. Atau mungkin, akulah yang jahat.
Jahat, karena aku merasa berbeda dari yang lain. Karena mata dan rambut yang berbeda dari yang lain. Juga status dan kelebihan yang aku dapatkan jauh berbeda dari yang lain. Semua itu membawaku jatuh ke dalam suatu tempat yang gelap.
Dan, di sinilah aku. Di suatu tempat gelap yang menggambarkan kalau di sini hanya untuk orang sepertiku. Aku hanya bisa berdiam dalam ikatan benang. Menutup mataku rapat-rapat, berusaha menahan tangis, walaupun mustahil dilakukan, aku tetap bersikeras tidak untuk menangis. Menyiram rasa perihku dengan air mata.
"Hiks. Aku .. tidak sanggup sendirian di tempat menakutkan ini. Hiks. Aku tahu. Sekarang, aku tidak punya siapa-siapa untuk aku sebutkan. Hiks. Aku akan menerima ini. Mengikatku oleh benang keputusasaan ini dengan kepedihan yang membuatku berdarah. Hiks. Ayah, Ibu, aku .. merindukan kalian. Aku .. sangat menyayangi kalian. Tapi, kalian pergi begitu cepat dariku. Meninggalkanku di sini, di kegelapan ini. Kalian tega. Kalian tidak menyayangiku lagi. Jahat. Tapi, aku tidak bisa membenci kalian. Kalian telah membuatku hidup sampai sekarang. Kalian berjuang membuatku berada di dunia ini. Namun, aku mengatakan kalau dunia ini jahat. Aku benar, kan? Dunia ini jahat, menyakitkan, dan membingungkan. Tangisanku ini hanyalah air hujan yang terbuang tanpa manfaat. Aku hanya menjadi kotoran di dunia ini. Tidak ada yang berkeinginan menemaniku di dalam kegelapan. Aku .. hanyalah bayangan tanpa nyawa."
"ITU TIDAK BENAR! JUSTRU ANDA BERADA DALAM KEGELAPAN KARENA ANDA ADALAH CAHAYA! JIKA TAK ADA KEGELAPAN, UNTUK APA CAHAYA DICIPTAKAN?"
Deg!
Suara itu. Tidak. Kenapa dia di sini? Ini mustahil. Jika dia sedang mencariku, kenapa secepat itu dia tahu dan sampai menemukanku? Di tempat ini? Bagaimana bisa?
"Jessy? Apa itu kau?"
"Ini saya, Yang Mulia Ratu."
SRING! SRING!
Dua pedang yang tidak asing itu membelah seluruh helai benang yang mengikat serta yang menggantungku. Selesai semua benang putus, aku jatuh dalam tangkapan Jessy. Mendaratkanku dengan mulus sampai aku kembali bisa menyentuh lantai.
Aku memandang gadis 17 tahun itu penuh lekat. Baju bergaun putih dengan dua pedang bertengger di kedua pinggang. Mata biru dan rambut hitam panjang berkucir satu berbentuk ekor kuda. Dia juga menatapku, dengan senyum, dia membungkuk hormat.
"Bagaimana kau tahu aku ada di sini? Maksudku, bagaimana cara kau tahu dan sampai di ... Fantasy Land?" tanyaku meminta penjelasan.
"Saya mencari Anda ke mana-mana. Ternyata Anda lenyap dari dunia manusia, karena Anda berkunjung ke dunia penyihir ini. Di sini berbahaya untuk Anda datangi, Ratu. Mari kita pulang ke istana," jawab Jessy sambil mengulurkan tangan, mengajakku untuk pulang.
Tanganku mulai meraih uluran itu. Uluran tangan yang sudah lama tidak kusentuh oleh tangan berdosaku. Mengajakku untuk segera pergi dari dunia ini, Fantasy Land.
Tapi, tunggu.
Sebenarnya, apa tujuanku berada di sini? Memasukkanku ke dunia aneh ini, berpetualang tidak jelas, bertemu orang-orang yang tinggal di dunia ini, mengenal, membiasakan, dan merasakan hal-hal yang tidak pernah lagi aku rasakan sebelumnya.
Kehangatan.
Setiap orang-orang yang aku jumpai, betapa bingungnya aku mendengar beberapa dari mereka menyebutku sebagai seorang penyihir bermata merah, kelompok penyihir terkuat. Aku masih tak percaya dengan omongan mereka. Walaupun, kekuatan yang tumbuh secara tidak masuk akal telah membuktikan bahwa aku ini adalah penyihir. Namun, bagaimana cara aku bisa percaya sepenuh hati? Apa orang tuaku adalah penyihir dari dunia ini? Ataukah aku hanyalah anak yang dititipkan di dunia manusia?
Lama-lama aku dicemplungkan ke dunia ini, aku jadi tahu siapa yang telah membunuh orang tuaku. Tujuanku melewati lima gerbang istana Jeswel adalah menemui Presiden brengsek itu. Penyihir sialan yang melenyapkan orang tuaku secara keji. Dan aku ingin membalaskan dendam yang sudah kian tahun lamanya tertanam, akhirnya sebentar lagi aku akan membunuh orang itu.
Aku akan membunuhnya, dengan tanganku sendiri, balas dendamku akan terlampiaskan oleh siksaanku padanya nanti.
Tanganku menjauh dari tangan Jessy. Hampir saja aku meraih tangan itu. Keinginanku berganti arah. Sebelum aku pulang ke duniaku, aku akan membunuh orang itu dulu. Walaupun nyawa yang menjadi ancaman, aku akan tetap maju.
Aku tak akan pernah melupakan dendamku.
"Kau saja yang pulang," kataku memutuskan. Jessy membelalak kaget mendengar keputusanku itu.
"Kenapa, Ratu? Anda harus pulang. Kerajaan dan rakyat membutuhkan Anda. Tak ada yang bisa menggantikan singgasana Anda, walaupun itu hanya sebentar. Anda harus pulang, Ratu," kata Jessy masih mengulurkan tangan padaku. "Mari kita pulang ke istana, Ratu Moune."
"TIDAK!" pekikku, mengubah cermin Doorfan menjadi sebuah pedang. "Ada hal yang harus aku lakukan di sini. Selesai aku melakukan hal itu, aku akan pulang. Kau tidak akan pernah mengerti. Aku ... menyayangi Ayah dan Ibu. Maka, aku harus balas dendam."
"Memangnya, Anda menemukan pembunuh itu? Siapa namanya, Ratu?"
"Aku tak tahu. Yang jelas, jika aku berhasil menemui dan melihat siapa dia, siapapun dia, aku akan tetap membunuhnya."
"Usaha Anda akan selalu sia-sia di dunia ini, Ratu. Balas dendam tidak akan membuahkan hasil. Setelah Anda membunuh orang itu, apa yang akan Anda dapatkan? Tentu saja, Anda akan pulang dengan membawa dosa, karena sudah membunuh orang. Dosa yang tidak akan pernah terampuni. Kecuali, jika itu bertujuan melindungi orang lain."
"Melindungi ... orang lain?"
Mataku menatap tajam ke mata biru Jessy. Entah kenapa, aku merasa tidak bicara dengan siapa-siapa. Seakan, Jessy yang ada di depanku ini hanyalah ... ilusi?! Ini bukan gaya bicaranya. Sama sekali bukan.
"Ini pertama kali aku mendengar kau tidak setuju dengan rencanaku membalas dendam. Ada apa denganmu?" Tanganku mengangkat pedang, menodongkannya pada Jessy. "Bukankah selama ini, kau setuju saja dengan segala yang aku lakukan untuk balas dendam?"
"Saya mohon, Ratu. Ayo kita pulang ke dunia kita. Lupakan semua yang terjadi di sini. Anda akan jauh lebih baik jika mengikuti kata-kata saya," balas Jessy. Aku melototkan mataku murka.
"Aku tidak MAU PULANG! Aku sudah tidak peduli dengan kerajaanku atau apalah itu! Semua hal itu menyebalkan! Aku suka dunia yang satu ini. Karena aku dimasukkan ke dunia ini, aku jadi mengenal banyak orang-orang baik. Menemukan berbagai kegiatan yang lebih menyenangkan dibandingkan memecahkan kasus dan memerintah. Ternyata, selama kita saling mengenal sejak kecil, kau masih tidak mengerti diriku, Jessy. Kau hanya mementingkan keselamatanku, bukannya memikirkan hatiku berkeinginan. Aku tidak akan pulang. Aku akan membalaskan dendam kematian orang tuaku. Membunuh orang itu dengan tanganku sendiri. Dan aku juga akan membalaskan dendam untuk orang lain. Karena orang itu juga membunuh orang-orang tidak bersalah selain orang tuaku. Dia pantas dibunuh."
Kami berdua terdiam sejenak. Jessy terlihat tetap tenang setelah mendengar kata-kataku. Apalagi tanganku masih menodongkan pedang ke arahnya, dia tetap tenang sekali.
Aku yakin, dia bukan Jessy.
"Ratu, jika itu yang Anda inginkan, saya tidak akan bisa membantah. Namun, Ratu, jika orang yang membunuh orang tua Anda itu adalah saya, apa Anda akan membunuh saya sekarang?"
"Apa maksudmu kau mengatakan itu?"
STTHH!!
Pedang itu. Salah satu pedangnya menebasku begitu cepat. Membentuk goresan besar pada bagian perut sampai dada. Mengeluarkan banyak darah segar oleh pedang itu lakukan padaku. Aku terkejut bukan main. Jessy. Dia telah melukai Ratunya sendiri. Melukai temannya sendiri.
Pengkhianat.
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku. Darah terus mengalir keluar tanpa henti. Pada saat aku tengah menahan rasa sakit ini, aku melihat Jessy tersenyum padaku. Dia mengatakan empat buah kata yang membuatku terkejut sekali lagi.
"Keluarga Romanove harus MATI."
Setelah mendengar itu, semua kembali sunyi. Kegelapan kembali menyelimuti dalam diam. Dan tidak lama, aku bisa merasakan angin menerpa rambut panjangku.
Aku harus bangun.
👑👑👑
Sesuatu yang dingin sangat terasa di dahiku. Setelah aku benar-benar bangun, tanganku meraih benda yang selama ini diam menutup dahi tanpa bergerak -tentu saja, karena itu adalah benda mati. Lebih tepatnya, kain basah berlipat. Biasanya kain seperti ini digunakan saat suhu tubuh tidak baik.
Rasa pusing menekan kepalaku saat aku berusaha bangun dari posisi baringku. Tas Celdo sebagai pengganti bantalku tadi. Namun, aku tidak melihat tanda-tanda anak itu di sekitarku. Di mana dia sekarang?
"Woh, kau sudah bangun, Nona perak?"
Aku terkejut mendengar pernyataan itu, karena suara perempuan itu tidak menampakkan wujudnya. Diriku mulai siaga. Takut orang ini akan menyerangku tiba-tiba.
"Siapa kau? Tunjukkan dirimu padaku!"
Suara tawa menggelegar mengelilingiku. Aku ingin berdiri, tapi kepalaku yang masih terasa pusing, menghalangiku untuk beranjak. Mengesalkan.
"Namaku Glouna Fherlas. Kau bisa memanggilku Glouna. Salam kenal!" kata suara itu memperkenalkan diri dengan nada ramah. Namun, dia tetap tidak menampakkan wujudnya.
"Oke, Glouna. Aku tidak suka bicara seperti ini, karena kau tidak menampakkan wujudmu. Tunjukkan dirimu sekarang!!" Ucapku seperti memerintah.
"Aku ada di atasmu."
"Apa?"
Kepalaku menengadah ke atas. Rupanya benar, dia berada di atasku. Dia sedang menggantung bebas pada benang-benang tipis yang membantunya tergantung di atas sana. Di sekeliling jemarinya terdapat benang yang dia kendalikan sesuka hati. Benang itu terlihat tidak asing. Hei, bukankah benang itu ada di mimpiku?
"Kenapa kau menggantung dirimu di atas kepalaku? Selain itu, aku butuh penjelasan dari benang-benangmu itu."
"Ah, senjataku ini? Ini bukan benang biasa. Benang ini berbahaya untuk para musuhku. Senjataku yang sangat penurut dan kuat. Aku cuma penyihir biasa. Dari lima penyihir terkuat, hanya dua kelompok yang bisa dikatakan sangat kuat, yaitu penyihir bermata merah dan ungu. Kau punya mata merah. Artinya, kau dari kelompok penyihir terkuat. Dan, oh, kekuatanku adalah mengendalikan mimpi seseorang. Saat kau sedang tidur, aku membuat mimpimu menjadi sebuah mimpi yang kau bayangkan dalam hatimu. Biasanya, mimpi seseorang yang aku kendalikan akan mati. Namun, kau bisa melawan kekuatanku. Bagaimana caranya?"
"Itu mudah," jawabku dengan senyum. "Caranya adalah membuat diriku bangun dari mimpi tersebut."
"Hmmm." Glouna bergumam ria. Dia mendaratkan diri ke permukaan. Tangannya memegang dagu, terlihat sedang berpikir. "Benar juga katamu itu."
"Hei, sebenarnya untuk apa kau mengendalikan mimpiku? Dan, kenapa kau ada di sini? Bukannya--"
"Kau mencari laki-laki bermata berbeda warna itu?" potong Glouna, membuatku kesal karena seenaknya saja memotong kalimat orang yang belum selesai. "Aku tengah mengendalikan mimpinya juga. Dia berada di atas kita. Aku menggantungnya dengan benang-benangku."
Glouna menunjuk ke atas, di dekat salah satu pohon, aku melihat Celdo tengah terikat oleh benang-benang. Kedua tangan itu merentang, kepala tertunduk, mata terpejam, dan kedua kaki terikat merapat. Aku jadi teringat posisiku saat terikat oleh benang-benang milik Glouna pada mimpiku. Perasaanku mulai cemas. Aku takut dia akan memimpikan sesuatu yang mengerikan. Bisa saja, tentang masa lalunya. Dia pernah bilang padaku bahwa masa lalunya terlalu suram untuk diceritakan.
"Glouna, hentikan. Jangan kau gunakan kekuatanmu itu padanya."
"Kenapa? Dialah yang menginginkan dirinya ikut terkendali oleh kekuatanku. Kalau dia tidak bangun dalam waktu yang seharusnya, dia akan mati dalam keadaan tidur. Awalnya, aku juga ingin menggantungmu sama seperti dia. Namun, karena kau terlihat kurang sehat, hatiku yang baik ini membiarkanmu terbaring saja. Lalu--"
Kedua tanganku mencengkram jas panjang birunya. Gadis berambut panjang hitam ini hanya memasang wajah santai dan datar, seakan biasa saja jika melihatku sedang marah.
"Kau tidak dengar? Hentikan ini sekarang juga!!"
"Aku tidak bisa melakukan itu."
"Kenapa??"
"Karena hanya dia yang bisa menghentikan mimpinya sendiri. Seperti kau memutuskan untuk bangun dan keluar dari mimpimu."
"Siapa kau sebenarnya??"
Glouna tersenyum misteri. Dia melepaskan diri dari cengkramanku. Kembali menggunakan benang-benangnya. Bukan menggantung, kali ini dia berdiri seimbang di salah satu helai benang.
"Glouna Fherlas. Aku adalah penjaga gerbang yang ketiga. Jadi, karena kau sudah mengalahkan kekuatan mematikanku, kau boleh melewati gerbang ketiga."
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro