Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 : Possessive

Seorang pria wajar punya sifat posesif terhadap gadisnya.

♥️Ethan♥️

Author

Setelah selesai mengemasi rumah, mandi, dan kemudian membuatkan makan malam untuk dirinya dan juga Paula, Arabell seperti biasa kembali ke dalam kamarnya.

Ia sedang mengerjakan tugas kuliah yang diberi oleh guru pembimbingnya, dengan Ethan yang duduk di sebelahnya menemani.
Sedangkan sang ibu berada di ruang tamu, menonton televisi.

"Kenapa kau mengambil jurusan seni?"

Arabell mengangkat satu alisnya, "Karena yang aku sukai dan pahami hanya itu." balasnya tanpa melihat lawan bicaranya lantaran sibuk menulis.

"Begitu. Apa saja yang kau lakukan saat jam istirahat tiba tanpa teman?"
Ethan bertanya hati-hati, takut menyinggung perasaan Arabell.
Sebenarnya dia ragu untuk menanyakan hal ini, namun dia juga butuh tau segala sesuatu mengenai kekasihnya.

"Terkadang aku suka membaca novel di perpustakaan kampus dan membaca buku seni."

Ethan mengangguk paham, menyandarkan punggungnya di kursi yang ia duduki.
Matanya sedari tadi tak lepas memandangi Arabell, memperhatikan dengan seksama gadis itu menulis.
Entah mengapa hal itu menjadi kesenangan tersendiri untuknya.

"Eth, apa kau punya teman di kerajaanmu sana? Di mana letak kerajaanmu itu?"
Arabell menoleh memandangi Ethan, menghisap pulpen di mulutnya.

Ethan berdecak, bergerak melarikan pulpen tadi dari mulut Arabell dan meletakkannya di meja belajar Arabell, menimbulkan kerutan dahi tak terima dari sang empu.

"Punya. Namanya Allan dan Allen, mereka kembar. Letak kerajaan kami hanya bisa ditemukan oleh para iblis, tak dapat ditemukan oleh manusia. Jika kami sedang ke bumi, dan akan kembali ke kerajaan kami, kami semacam berteleportasi untuk kembali ke sana. Tapi bukan berarti manusia tak bisa ke sana, ada beberapa iblis di kerajaanku membawa manusia ke sana untuk ditiduri ataupun untuk dihirup jiwanya secara perlahan."

Arabell tersentak tak percaya.
Dia jadi tau satu hal, ternyata seorang iblis bersama seorang manusia juga bisa bercinta.
Hal yang mustahil rasanya.

"Benarkah itu bisa? Lalu apa alasannya para iblis meniduri manusia?"

Ethan menyunggingkan senyumnya, "Tentu saja bisa. Hal itu dilakukan untuk memuaskan hasrat kami. Jika kau ingin pun aku bisa melakukannya padamu."

Arabell menelan salivanya susah payah, menatap tajam Ethan, "Jangan berani-beraninya kau menyentuhku!"

"Tenang saja, aku tak akan melakukannya. Hanya bercanda."

"Kau juga pernah melakukannya bersama manusia lain?"

Ethan menggeleng, "Aku bukan tipe iblis seperti itu."

Arabell menatap Ethan curiga, tak yakin dengan jawaban Ethan barusan, "Aku tak percaya, wajahmu tipe-tipe licik. Jadi, sulit dipercaya kalau kau juga tak melakukannya."

Menghela napas lelah, Ethan bangkit dari duduknya, kali ini ia mendudukkan diri di jendela kamar Arabell yang terbuka, "Aku tak mau melakukan hal serendah itu. Dan lagi, tidak baik menuduhku seperti barusan. Aku hanya bernafsu untuk menghabisi jiwa manusia jahat."

Arabell terdiam sambil menundukkan pandangannya. Entah mengapa perkataan Ethan barusan seolah meyakinkan dirinya. Membuatnya merasa bersalah telah menuduh Ethan yang tidak-tidak tadi, "Maaf."

"Tak apa. Aku mau pergi dulu ya, kurasa aku ada tugas malam ini. Kau tak keberatan 'kan kalau aku tinggalkan bersama wanita jahat itu?"

"Pergi saja. Sejak kapan aku pernah melarangmu pergi? Dan satu hal lagi, aku tak suka kalau kau mengatai ibuku seperti itu. Biar bagaimana pun aku sangat menyayanginya."

Ethan menghela napas, menyerah. Padahal sebutan itu baginya sudah sangat pantas untuk disematkan pada Paula.
Beruntung Paula punya anak seperti Arabell, kalau dia tak punya anak tiri yang baiknya luar biasa seperti Arabell mungkin Paula akan ditinggal sendirian di rumah saat ini.

Ethan benar-benar tak bisa lagi mengerti jalan pikiran Paula.
Jika saja Paula mengetahui mengenai perjanjian Arabell pada dirinya yang seorang iblis hanya demi mendapatkan uang biaya perawatan rumah sakitnya.
Arabell bahkan mau mempertaruhkan masa depannya menjadi kekasih Ethan seumur hidup meski dia sendiri tau Ethan bukanlah seorang manusia.

Tapi setelah dipikir-pikirnya lagi, meski Paula mengetahui hal ini pun mungkin wanita itu tetap tak peduli. Karena perlu ditekankan lagi, wanita itu sudah sangat membenci Arabell, dan tak menutup kemungkinan suatu hari nanti jika ada kesempatan ia akan membunuh gadis itu.
Tentu jika itu terjadi, Ethan tak akan tinggal diam.

"Iya, iya maaf," Ethan turun dari duduknya pada jendela Arabell, menghampiri gadis itu sebelum akhirnya memberi kecupan singkat di puncak kepala Arabell yang masih dalam keadaan sedang menulis.

"Jaga dirimu."
Setelahnya Ethan menghilang bersamaan dengan asap hitam yang menandai kepergiannya.

Arabell memegangi puncak kepalanya bekas kecupan Ethan tadi. Tanpa diperintah kedua pipinya sudah bersemu merah dengan jantung berdebar saking gugupnya.

Menyebalkan! Mengapa aku harus gugup pada iblis itu?

📞📞📞

Arabell meregangkan kedua otot lengannya sambil menguap lebar saat kakinya sudah menapaki halaman kampus.

Semalam, ia harus merelakan jam tidurnya berkurang lantaran mengerjakan banyak tugas yang diberikan oleh guru pembimbingnya, membuat rasa kantuk terus-terusan menyerangnya pagi ini.

"Hei!"
Arabell menoleh ke belakang saat sebuah tepukan di pundaknya mengejutkannya, "Kau?"

Pria yang menepuk pundak Arabell tadi mengulas senyum. "Ya. Aku Kane. Ingat?"

Arabell mengangguk samar. Mana mungkin dia melupakan Kane yang menabraknya kemarin siang?

"Ya. Ada apa?"

Kane mengusap tengkuknya, kebiasaannya ketika sedang gugup, "Aku...mau minta nomer hpmu. Apakah boleh?"

Arabell mengernyit sejenak, mencerna ucapan Kane barusan. Kane yang melihatnya menjadi takut kalau-kalau Arabell memikirkan hal buruk mengenai alasannya meminta nomer hpnya.

"A-aku hanya ingin berteman. Tidak ada niatan lain."

Membuka tasnya dari gendongannya, Arabell merogoh secarik kertas beserta pulpen dari dalam sana, menuliskan nomor hp miliknya.

"Ini nomerku. Aku ada kelas pagi ini, jadi aku masuk dulu ya."
Arabell segera pergi setelah menyerahkan kertas tadi. Kane yang menerimanya tersenyum puas sambil mengucapkan terima kasih, menatap kertas yang ada di tangannya.

🚘🚘🚘

"Ayo pulang bersamaku. Aku membawa mobil, rumahmu daerah mana?"

Arabell menoleh, mendapati Kane yang terlihat bersemangat mengajaknya untuk pulang bersama.
Gadis itu sungguh tak mengerti mengapa Kane terus mendekatinya. Bahkan saat jam istirahat tadi dia juga mendatangi Arabell di kelas. Mengajaknya untuk ke kantin sama-sama, namun tentu saja ditolak secara halus oleh Arabell, lantaran dia sendiri jarang ke kantin. Saat jam istirahat, dia banyak menghabiskan waktunya ke perpustakaan, membaca novel dan buku seni atau jikalau bosan, dia akan membaca buku-buku lainnya. Hal itu bisa dikatakan sudah menjadi kebiasaannya sekaligus kegemaran untuknya.

"Maaf, bukannya aku tak mau. Tapi aku ingin pulang sendiri saja. Lagipula rumahku dekat dari sini, kok."

"Justru itu, karena rumahmu dekat, aku akan mengantarmu pulang. Tunggu ya, aku mengambil mobilku dulu di parkiran. Tunggu di sini, okay?"

"H-hei---astaga, mengapa dia memaksa seperti itu?"
Arabell hanya bisa memandangi punggung Kane yang sudah berlari menjauhinya.

Ia menghela napas lelah.
Entah mengapa dia tiba-tiba memikirkan Ethan, takut-takut pria bermata zamrud itu akan marah lagi padanya jika dirinya dekat-dekat dengan Kane.

"Kau baik-baik saja?"
Tanya Kane, penasaran karena sejak masuk ke mobilnya tadi gadis di sebelahnya hanya diam. Bahkan sekarang ini, mobil milik Kane sudah akan sampai ke rumah milik Arabell. Namun belum ada obrolan yang tercipta di antara mereka, membuatnya lama-lama jengah juga.

"Ya. Memangnya aku kenapa?"

"Kupikir kau tak suka kuantar pulang?"

Arabell menghela napas, "Bukannya tak suka, tapi aku takut merepotkanmu."

"Hei, ini sama sekali tak merepotkanku, okay? Lagipula aku yang memintamu untuk diantar pulang olehku. Jadi aku tak masalah."

Menghela napas kembali, Arabell menyunggingkan senyum tipisnya, "Baiklah, terima kasih. Itu rumahku yang bercat biru muda."

Kane mengikuti arah telunjuk Arabell, memandangi sebuah rumah sederhana yang dibilang Arabell adalah rumahnya.
Lelaki itu tak terkejut melihat rumah Arabell yang menurutnya cukup kecil. Gadis itu untuk pergi ke kampus saja jalan kaki, dari situ dia sudah dapat menebak kalau Arabell termasuk dari kalangan gadis sederhana.

"Terima kasih sudah mengantarku."
Ujar Arabell singkat masih memasang senyum seperti tadi.

Kane mengangguk, membalas senyuman Arabell, "Nanti malam aku akan menghubungimu. Okay?"

Arabell terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Setelahnya Kane segera pergi, pamit pulang menggunakan mobil berwarna merahnya.

"Pulang bersama, huh?"

Arabell tersentak saat matanya ia alihkan ke depan rumahnya, Ethan tiba-tiba muncul dari sana.

"Kenapa kau hobi sekali membuatku terkejut? Lama-lama aku bisa sakit jantung tau!"

"Jangan mengalihkan pembicaraan."
Meskipun kata-kata barusan terdengar biasa saja, namun Arabell tau ada nada sinis terselip di sana.

Terpaksa Arabell melarikan pandangannya, tak mau menatap mata Ethan yang untungnya tak berubah warna, "Maaf. Dia hanya mengantarku pulang."

"Memang itu yang kulihat."

"Lalu apa maumu?"

"Apa mauku? Pertanyaan tak masuk akal. Jawaban yang seharusnya kau berikan adalah apa saja yang sudah kau lakukan bersamanya?"

Arabell mengangkat alis, sungguh tak mengerti ke mana arah pembicaraan Ethan saat ini.
"Kami hanya pulang. Jangan salah paham."

"Aku tak mengizinkannya."

"Kenapa?"

"Karena kau adalah kekasihku."

Arabell membuang napas kasar, "Terserah!"

"Terserah apa? Jawabanmu belum jelas."
Ethan menahan lengan Arabell yang berusaha melewatinya.

"Sebenarnya kau ini kenapa? Dia hanya temanku---ah entahlah aku harus menyebutnya apa. Yang pasti kami tak melakukan apapun dan tak punya hubungan apapun!"

Ethan semakin kuat mencengkeram lengan Arabell yang kini berontak dalam genggamannya, "Aku tau. Tapi jangan sampai menerima tawarannya lagi untuk mengantarmu pulang. Kau bisa pulang bersamaku jika kau mau."

"Sakit."
Ethan reflek melepas cengkeramannya pada lengan Arabell saat suara gadis itu mulai terdengar lirih padanya.

"Maaf, aku---"

"Lupakan. Aku mengerti kata-katamu barusan."
Setelahnya Arabell langsung masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan kecewa.

Kecewa mengetahui fakta bahwa Ethan bisa melakukan hal kasar padanya jika sedang marah.
Padahal Arabell hanya pulang bersama Kane yang ia sendiri bingung harus menyebut Kane sebagai temannya atau bukan.
Dan itupun dari paksaan Kane sendiri.
Lihat saja beberapa hari lagi, jika Kane terus mendekatinya pasti suatu hari ada saatnya Kane akan pergi setelah tau kenyataan bahwa dia adalah anak dari hasil hubungan gelap, seperti yang dilakukan teman-temannya sebelumnya.

Jadi sebenarnya kemarahan Ethan hanyalah sia-sia.
Karena pada akhirnya Kane bisa pergi sendiri menjauhinya.

Tbc...

Siapa yang nungguin cerita ini update?

Jangan plagiat.
Jangan siders.
Jangan sampe gak Vomment😚

❤MelQueeeeeen

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro