6 : Idea
Take me to your dark world.
♥️Arabell♥️
Author
Suasana di pasar saat ini tidak terlalu ramai, bahkan bisa dikatakan sepi.
Mengingat ini sudah hampir senja, jadi hanya sedikit orang-orang---lebih tepatnya wanita berbelanja.
Seperti Arabell sekarang, dia tengah sibuk mengambil bahan masakan yang akan dibuatnya untuk dimakan malam ini.
Tak banyak yang diambilnya mengingat kesediaan uangnya sudah menipis.
Di otaknya sudah terpikirkan untuk memasak apa nanti. Itu sebabnya ia mengambil bahan masakan yang terjejer rapi di hadapannya dengan cepat.
"Astaga, uangnya kurang."
Keluh Arabell sepelan mungkin, setelah si kasir tadi menyebutkan jumlah uang yang harus dibayarnya.
Ia merutuk dirinya sendiri yang lupa jumlah uangnya, sedangkan dia mengambil bahan masakan melebihi dari jumlah uangnya. Sebenarnya Arabell sudah ingat kalau uangnya sisa sedikit, hanya saja dia tak ingat pasti berapa jumlahnya, dia tipikal orang yang cepat lupa akan sesuatu terkadang.
Sebenarnya ada sisa uang di rumahnya yang masih ia simpan, namun dia berpikir jumlah yang ada di kantongnya tadi cukup untuk membeli bahan masakan malam ini.
Arabell menyunggingkan senyum tak enak, menatap sang kasir yang masih menunggunya sedari tadi. "Maaf, bisakah aku mengembalikan beberapa barang? Uangku tertinggal. Jadinya aku hanya membawa sedikit, dan jumlah yang kau sebutkan tadi ternyata tak cukup dengan jumlah yang kubawa."
"Tak masalah, silahkan keluarkan yang mana yang ingin kau kembalikan."
Kasir tadi sudah akan mengembalikan plastik berisi bahan masakannya pada Arabell, kalau saja sebuah suara tak menghentikan niatnya itu.
"Biar aku yang akan membayarnya."
Arabell menoleh cepat pada seseorang yang suaranya terdengar familiar barusan. Arabell terkejut menatap Ethan yang kini sudah tidak dalam wujud bayangan lagi, menawarkan diri untuk membayar bahan masakan Arabell, kemudian membawa plastik tadi dan menggenggam tangan Arabell untuk segera pergi dari sana.
"Ini uangnya. Nanti akan kubayar sisanya yang kurang."
Arabell menyodorkan uang yang sejak tadi dipegangnya ke Ethan, namun tak ditanggapi sama sekali oleh pria itu.
"Kau ini kenapa? Masih marah padaku?"
Nada suara Arabell terdengar kesal, alhasil dia kembali menaruh uangnya tadi di saku sweater tebal berwarna biru dongker yang dikenakannya.
"Kalau masih marah kenapa membayarkan belanjaanku? Sini, berikan padaku!"
Arabell mendekati Ethan, tangannya terulur untuk mengambil alih plastik tadi.
Namun hal itu sia-sia karena Ethan sendiri melarikannya ke sembarang arah, seolah mempermainkan Arabell.
Arabell mendengus, menyerah. Alhasil, ia putuskan untuk berjalan saja mendahului Ethan. "Benar-benar sulit dimengerti! Hanya gara-gara itu saja sampai harus mendiamkanku! Dasar cerewet!"
"Siapa yang cerewet?"
Arabell tersentak, terkejut karena Ethan bisa menyeimbangi langkahnya cepat, sehingga kini pria tampan itu sudah berjalan bersisian lagi dengannya.
Arabell menebak, pasti pria itu menggunakan kekuatannya lagi.
"Pikirkan saja sendiri!"
"Yang kau maksud itu adalah aku? Aku cerewet?"
"..." Sudah tau masih bertanya!
"Aku sedang marah, seharusnya kau membujukku agar aku tak marah lagi denganmu."
Arabell sontak tergelak, "Membujukmu? Yang benar saja! Kalau marah itu diam-diam. Bukannya malah mengungkapkannya. Aneh."
"Itu berlaku bagi wanita saja. Untuk pria, mereka akan marah secara terang-terangan."
"Secara terang-terangan? Kau sendiri mendiamkanku tadi." Cibir Arabell dengan nada menyindir, semakin membuat kesal Ethan. Berdebat dengan Arabell memang tak ada gunanya.
"Tapi kan sudah tidak."
"Terserah!"
Arabell berlari kecil ketika rumahnya sudah dalam pandangannya.
Ia membuka pintu utama rumahnya dan terkejut ketika mendapati sang Ibu tiri sudah berdiri di baliknya sambil memasang wajah yang tak bisa dikatakan baik.
"Ibu?"
Tanpa basa-basi lagi, Paula langsung menarik kuat rambut panjang Arabell yang tergerai sembari memberikan tamparan keras tepat di pipi kiri gadis tersebut.
"Darimana saja kau, brengsek?! Sudah jam berapa ini?! Apa kau tak tau sudah jam berapa ini?! Rumah belum dikemasi, bodoh! Apa kau mau mengelak dari pekerjaanmu, hah?! Dasar anak haram!"
Paula mendorong tubuh Arabell kuat-kuat, hingga gadis itu jatuh terduduk di depan pintu.
"Maaf." Ujar Arabell lirih, memegangi pipinya yang terkena tamparan tadi, namun tak mengeluarkan air mata sama sekali.
Bahkan ekspresi yang ditunjukkannya hanya datar, memandangi Ibunya yang kini menyilangkan tangan di depan dada.
"Aku tak mau tau! Kau harus mengemasi rumah sebelum mandi! Setelah itu buatkan aku makanan!"
Setelah mengucapkan hal barusan, Paula langsung beranjak masuk ke dalam rumahnya.
Meninggalkan Arabell sendiri yang kini sudah bangkit dari duduknya.
"Kau tak apa?!"
Ethan membingkai wajah Arabell, menatap gadis itu cemas. Sesekali tangannya bergerak menepis debu yang mengenai pakaian Arabell yang didapat gadis itu ketika jatuh di lantai semen tadi.
Sejak tadi Ethan melihat kelakuan Paula terhadap Arabell lantaran posisinya persis di sebelah gadis itu. Dia sengaja mengubah dirinya menjadi tak terlihat saat pintu rumah sudah dibuka oleh Arabell.
Arabell mengangguk, namun detik selanjutnya langsung melarikan tangan Ethan di wajahnya secara perlahan saat menyadari warna mata Ethan berubah perak. Dan ia tau apa artinya itu.
"Eth, tenanglah. Aku baik-baik saja, okay?"
"Aku harus melakukan sesuatu padanya!"
Kedua tangan Ethan mengepal, giginya bergemeletuk saking geramnya ingin memangsa Paula.
Dia tak ingin gadisnya kenapa-napa. Apalagi Paula memenuhi kriteria sebagai mangsanya, jadi ia sungguh menantikan kapan dia bisa menghabisi wanita tak tau diri itu.
"Eth, please. Percayalah aku tak apa. Aku sudah terbiasa seperti ini, okay?"
Arabell berkata selembut mungkin, berharap Ethan dapat meredakan keinginannya untuk memakan jiwa sang Ibu.
Ia dapat bernapas lega saat melihat warna mata Ethan kembali berubah emerald.
"Kenapa kau tak berkata jujur saja kalau kau singgah belanja tadi?"
Ethan membetulkan tatanan rambut Arabell yang berantakan karena ulah Paula tadi.
"Belanjaannya ada padamu. Bagaimana aku bisa bilang begitu?"
Ethan tersentak, matanya bergerak memandangi plastik yang dibawanya, "Maaf."
Arabell mengulas senyum. "Sudahlah, itu bukan salahmu."
"Apa ini sakit?"
Sebelah jempol milik Ethan bergerak lembut mengelus pipi Arabell yang memerah terkena tamparan.
Arabell tertegun, tanpa sadar kedua pipinya sudah bersemu malu atas sikap Ethan barusan.
Dia merasa gugup seketika, hal ini tak pernah ia dapatkan sebelumnya.
Punya kekasih, bahkan mendapat perhatian lebih dari seorang pria. Dia belum pernah merasakannya selain dari sang Ayah.
Dan sekarang Ethan hadir begitu saja di hidupnya, menjadi kekasihnya meski hal itu terjadi secara tragis.
Lupakan sejenak bahwa Ethan adalah seorang iblis. Dia tak ingin memusingkan itu karena Ethan sendiri tak pernah coba membunuhnya, bahkan pria itu memberikan perhatian layaknya seorang kekasih pada umumnya, seolah mereka saling jatuh cinta satu sama lain.
Arabell melarikan tangan Ethan dari pipinya tadi, memalingkan pandangannya berusaha menghindar bertatapan dengan iris zamrud milik lelaki itu.
"Sudah tak apa."
"Ara, sepertinya aku punya ide bagus untuk menyingkirkan Ibumu selain dengan membunuhnya."
Arabell memandangi Ethan cepat, "Apa maksudmu?"
"Kau pikir apa maksudku?" Ethan menyunggingkan senyum misteriusnya, kepalanya sudah dipenuhi oleh ide-ide jahat.
Arabell menelan salivanya susah payah, dia hanya berharap Ethan tak akan mencelakai Ibunya setelah ini.
Tbc...
Kira-kira Ethan bakalan ngelakuin apa ya sama Ibunya Arabell?
Ada yang bisa nebak?
Jangan plagiat.
Jangan siders.
Jangan sampe gak Vomment😚
❤MelQueeeeeen
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro