3 : Tears
Terkadang, manusia lebih buruk daripada iblis.
♥️Author♥️
Author
Arabell menarik selimut Ibunya hingga ke batas leher.
Mereka berdua kini sudah sampai di kediaman mereka setelah pulang dari rumah sakit.
Selepas Arabell melakukan kontrak perjanjian bersama seorang iblis di gang sempit malam itu, Arabell langsung kembali ke rumah sakit seperti yang disuruh Ethan.
Ia benar-benar tak menyangka, saat ia menanyakan pada petugas administrasi di rumah sakit keesokan harinya, biaya perawatan Ibunya benar-benar sudah dilunasi oleh seseorang.
Dan Arabell sangat yakin itu adalah ulahnya Ethan.
Sampai saat ini Arabell belum pernah bertemu dengan Ethan lagi, padahal pria itu bilang akan menemuinya.
Tapi Arabell baru mengingat, jika dia bahkan belum sempat memberikan alamatnya pada pria tersebut.
Lantas, bagaimana caranya Ethan bisa menemuinya?
Arabell harus merutuk dirinya sendiri karena masih bisa memikirkan Ethan dan mencarinya.
Bukankah jika pria itu menghilang dan melupakan kontrak di antara mereka, dengan begitu dirinya bisa tenang?
Tapi Arabell merasa harus berterima kasih pada Ethan, jadinya ia harus membalas bantuan Ethan ini seperti yang sudah mereka sepakati, yakni menjadi kekasih Ethan seumur hidup.
Terdengar konyol memang, bahkan kekonyolan itu masih dipikirkan Arabell hingga sekarang sampai akhirnya kepalanya terasa pening. Memikirkan hal tak masuk akal yang terjadi pada hidupnya ini.
"Ibu istirahatlah, aku akan memasak makanan untuk kita berdua."
Arabell mengulas senyum tulus sambil menggenggam tangan Ibunya.
Namun hal itu justru dibalas Paula dengan menyentak kasar tangannya dari genggaman Arabell, menatap Arabell dengan tatapan kebenciannya yang selalu sama, "Terserah padaku mau tidur atau tidak! Itu bukan urusanmu! Cepatlah masakkan makanan yang enak untukku, awas saja jika sampai kau memasakkan makanan yang rasanya mirip seperti sampah lagi, aku akan langsung mengusirmu dari sini! Dasar anak haram!"
Arabell hanya terdiam mendengar kata-kata pedas yang dilontarkan sang Ibu padanya.
Ia berbalik dan segera keluar dari situ dengan hati yang sakit, meski begitu ia tak menunjukkan ekspresi kesal atau marah pada Paula. Dia sudah sering mendapatkannya, ini adalah makanan sehari-hari untuknya.
Jangankan Ibunya itu menanyakan sisa berapa lagi uang yang mereka punya hasil dari warisan Ayahnya. Menanyakan darimana Arabell mendapat uang untuk membayar biaya rumah sakitnya pun tidak. Padahal untuk mendapatkan itu, Arabell harus mengorbankan dirinya menjadi kekasih dari seorang iblis seumur hidup. Paula memang tidak pernah peduli pada dirinya. Dan Arabell sudah paham dari dulu.
Arabell membuka pintu kulkas di hadapannya, mencari-cari bahan masakan yang akan dimasaknya untuk dirinya dan Paula.
Namun nihil, di sana hanya terdapat satu buah telur dan satu buah jeruk. Membuatnya harus mendesah kecewa, sebelum akhirnya mengambil keranjang untuk pergi ke pasar, berbelanja.
Dia sendiri sebenarnya belum ahli dalam soal memasak, masakan yang dibuatnya kadang terasa aneh dan hambar, menimbulkan kemarahan besar dari Paula.
Tapi meskipun begitu, karena selama Ayahnya meninggalkannya, dia yang menggantikan sang Ibu dalam hal pekerjaan rumah termasuk memasak.
Dia jadi perlahan bisa membuat masakan enak walau terkadang ada saja yang tidak pas di lidah Ibunya.
Arabell memasuki pasar yang masih dikerumuni pengunjung, mengingat ini baru pukul delapan pagi.
Ia berhenti di salah satu rak pendingin yang menyimpan bahan masakan lengkap, mengambil dua ikat sayuran dengan berlainan jenis, beberapa bawang, kentang, hingga ikan. Tak lupa ia juga membeli lima buah telur, kuah kaldu, dan juga beras karena nantinya ia berniat untuk memasak risotto sebagai menu makan malam. Sedangkan untuk sarapan di pagi hari ini, ia ingin membuat menu hash browns, makanan yang berbahan utama kentang.
Setelah memilih beberapa bahan masakan, Arabell kembali ke rumahnya.
Mengemasi rumahnya sebentar sebelum akhirnya memasak makanan untuk mengisi perut mereka pagi ini.
Arabell dan Ibunya sudah terbiasa makan dua kali sehari setiap harinya.
Selain karena kesulitan ekonomi, mereka juga harus membayar tagihan biaya kuliahnya setiap semester. Sebenarnya Paula sudah beberapa kali memaksa Arabell untuk berhenti kuliah, namun Arabell bersikeras mempertahankan pendidikannya.
Karena menurutnya hal itu jadi satu-satunya harapan agar dia bisa mempunyai mimpi untuk menjadi manusia yang maju.
Dia tak ingin hidupnya dan Ibunya kesusahan seperti ini terus menerus.
Setidaknya jika dia sudah menyelesaikan kuliah, dia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak nantinya, begitulah pikir Arabell.
Meski dirinya harus mendapat hujatan dan makian berkali-kali dari sang Ibu, akhirnya Paula menyerah. Arabell memang tak bisa melepaskan keinginannya yang satu ini.
Lagipula, Arabell berkuliah lantaran sang Ayah juga menyetujui hal itu.
Jadi Paula tak bisa berbuat banyak, bahkan saat suaminya sempat membiayai kuliah Arabell sebelum akhirnya ia harus lebih dulu menghadap Tuhan.
Tapi semenjak Ibunya dilarikan ke rumah sakit beberapa waktu lalu, dirinya memutuskan untuk tak masuk beberapa hari, ingin menjaga Paula di rumah sakit.
Begitu sayangnya ia pada sang Ibu tiri, sampai rela mengorbankan kuliahnya.
Hari ini pun begitu, dia memutuskan untuk menjaga Ibunya dulu, mengingat kondisi Paula masih lemah.
Mungkin besok atau lusa, dia akan mulai kuliah lagi.
"Ini bu, aku masak hash browns. Kupastikan rasanya enak, karena aku sudah menyicipinya terlebih dahulu."
Arabell menyodorkan piring berisi tiga potong hash browns ke dekat Paula. Dan langsung disambut oleh sambaran cepat dari tangan Paula yang setengah berbaring di atas ranjang.
"Ibu benar-benar lapar ya? Maaf, aku lama. Tadi bahan masakannya tidak ada di kul---"
"Diam brengsek! Jika kau mengoceh terus aku jadi tidak konsentrasi memakan makanan ini!"
Paula berkata garang sambil mulai memasukkan hash browns tadi ke dalam mulutnya.
Tak butuh waktu lama, makanan tadi sudah raib dari piringnya.
Tampaknya Paula menikmati makanannya. Setidaknya itulah yang Arabell harapkan.
"Apakah enak?"
Arabell bertanya ragu. Takut akan dimarahi lagi jika dia berbicara.
"Kurang bumbu. Kau ini sebenarnya manusia macam apa?! Sudah sering masak makanan ini selalu saja rasanya tidak pas! Tak ada gunanya kau menghabiskan uang untuk berkuliah! Otakmu itu tetap beku meski diberi ajaran apapun! Bawa piringku ini! Dasar tak berguna!"
Paula melemparkan piring tadi ke arah Arabell hingga benda itu mendarat sempurna di kepala gadis bermata biru kelabu tersebut.
Ia sempat memekik tertahan saat merasakan kepalanya dihantam oleh piring berbahan keramik milik Ibunya.
Dengan menggigit bibir bawahnya menahan tangis, dan sebelah tangan mengusapi kepalanya, Arabell segera keluar membawa piring bekas makan Ibunya.
Ia mengambil kursi di meja makan, mendudukkan dirinya di sana sambil terus menahan agar matanya tak menjatuhkan air mata yang sudah siap untuk meluncur kapan saja.
Arabell menumpukan sikunya di meja makan, menyembunyikan wajahnya menggunakan kedua tangan. Ia tak ingin menangis. Tapi rasanya sulit sekali menahan air mata yang sudah siap tumpah di pelupuk matanya.
Alhasil, karena merasa pertahannya sudah luntur, Arabell terisak tanpa suara. Mengeluarkan air mata yang sejak tadi mati-matian ditahannya.
Ia merutuk dirinya sendiri, padahal hal ini seharusnya sudah biasa untuknya.
Ia sudah sering diperlakukan bahkan lebih parah dari ini. Tapi mengapa dia tetap bisa terusik seperti ini?
Seketika, ingatan tentang Ayahnya muncul begitu saja di kepalanya.
Hatinya serasa diremas, ia sungguh merindukan pria itu.
Sampai kapan hidupnya akan terus seperti ini?
Disiksa terus menerus oleh sang Ibu?
Sampai kapan ini akan berakhir?
Tbc...
Adakah readers di sini yg pernah ngerasain apa yang Arabell rasain?
Aku sih nggak pernah, Alhamdulillah. Amit² dah punya ibu tiri😅
Ethan belum muncul ya di part ini.
Kira² ada yg bisa nebak gak Ethan ke mana?
Jawab di komentar ya.
Jangan plagiat.
Jangan siders.
Jangan sampe gak Vomment😚
❤MelQueeeeeen
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro