Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21

Lee Do Young

Jangan tanyakan aku bagaimana perasaanku saat ini. Bahkan sepanjang jalan aku hanya diam mengamati jalan dibalik jendela sedangkan Seokwoo sendiri fokus menyetir. Aku berterimakasih sekali karna Seokwoo juga tidak bertanya apapun padaku, karna sekarang aku sedang tidak ingin mengatakan apapun.

"Gomawoyo, Sunbae. Josimhi gaseyo," pamitku lesu saat keluar dari mobilnya.

Seokwoo juga ikut turun dari mobilnya, tak mengatakan apapun dan hanya menatapku sejak turun mobil. Akhirnya dia tersenyum menenangkanku dan mengangguk. "Jangan nangis lagi. Kalau butuh seseorang untuk mendengarkanmu, kau bisa menghubungiku."

Aku mengangguk dan ikutan tersenyum, "ne. gomawoyo, Sunbae."

"Eung. Masuklah kedalam."

Sekali lagi aku pamit dan benar-benar masuk ke dalam lobby apartemen.

Bip bip bip bip drrkkk tenonenitt

Apartemen gelap sekali. Lampu belum dinyalakan. Apa Do Hoon masih belum pulang?

Tapi kenapa dia belum pulang? Apa dia ada hal penting yang harus dilakukan? Kenapa tidak ada kabar?

Tanpa sadar aku menghela napasku sendiri karna banyaknya pertanyaan yang melintas di benakku.

"Sudahlah, Lee Do Young. Biarkanlah saja dia. Kalau menurutnya kau itu penting, dia pasti akan beri kabar."

Hanya itu yang kukatakan pada diriku sendiri dari masuk apartemen sampai akhirnya aku selesai mandi dan merebahkan tubuhku di kasur.

Sudah pukul 2 pagi, masih belum ada tanda-tanda kehadiran Do Hoon juga. Padahal Do Young sudah menyibukkan diri agar tetap terjaga siapa tau Do Hoon butuh bantuannya saat pulang. Tapi ternyata lelaki itu belum pulang juga.

Hampir setiap sepuluh menit sekali, Do Young pasti mengecek ruang obrolannya di KakaoTalk. Tapi tak ada juga.

Akhirnya, tubuhku yang sudah lelah ini memilih untuk tidur saja, siapa tau besok Do Hoon sudah ada di kamarnya.

Setidaknya... itu yang ia harapkan...

***

Sampai pagi, tidurku tidak pulas. Sudah dalam dua hari ini, beberapa jam sekali aku terbangun. Alasannya simpel, hanya untuk mengecek apakah Do Hoon sudah pulang dan ada di kamarnya atau belum. Tapi ternyata sampai jam 4 subuh tadi pagi, Do Hoon masih belum ada di kamarnya.

Dengan mata yang masih tidak mau terbuka ini, aku mencoba untuk mengedipkan mataku beberapa kali, merenggangangkan tangan sebelum aku melirik jam di hapeku.

07.45

Seharusnya Do Hoon sudah ada di kamarnya, kan? Iya, kan? Ini sudah pagi soalnya. Apalagi ini sudah lewat dari sehari.

Sejalan dengan kamar mandi, aku menyempatkan diri untuk mengecek kamar Do Hoon terlebih dahulu.

Tapi kosong. Masih belum ada tanda-tanda kehidupan dikamarnya.

Sebenarnya kemana manusia satu ini? Apa dia kenapa-kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi padanya?

Secepat setelah aku mandi dan berpakaian untuk ke kampus, aku langsung mengirim pesan pada Do Hoon lagi.

Wah, sebelum aku menyentuh tulisan kirim, mataku hampir tidak percaya dengan semua ini. Berapa banyak pesan yang aku kirim sih sebenarnya pada Do Hoon? Tapi itu tidak penting. Aku tidak peduli seberapa banyak aku mengirim pesan padanya, yang penting dia membalas pesanku walau hanya membalas 'ya' saja untuk bom pesan yang kukirim padanya.

Tidak, tidak. Walaupun hanya '.' aku juga tidak mempersalahkannya. Yang penting aku tahu dia tidak apa-apa dan masih bisa menjawab pesanku. Untuk urusan lainnya, aku dapat membicarakannya saat bertemu dengannya nanti.

***

Sepanjang jalan aku tidak merasa fokus pada apa yang aku lihat. Aku bahkan hampir saja ketinggalan bis untuk ke kampus tadi. Rasanya aku tidak berpikiran jernih hari ini.

"Yo, Do Young-ie!"

Sebuah tangan yang kuyakini adalah Yejoo melingkar di leherku. Aku hanya tersenyum tipis padanya lalu melepaskan tangannya dariku dan kembali berjalan. Aku sedang tidak dalam mood untuk bercanda hari ini.

Aku tahu Yejoo pasti bingung dengan itu. Karena seperti yang sudah kuprediksi, Yejoo menyamai langkahku dengan pandangan khawatirnya.

"Do Young-ah. Museun irisseo?" Aku tak menjawab. "Pyojeong wae irae? Eodi apha?" Yejoo benar-benar terlihat khawatir sekali denganku. Aku jagi tidak tega. (Ada apa?( (Wajahmu kenapa? Kau sakit?)

Jadi aku tersenyum tipis lagi. "Kita masuk kelas dulu. Nanti aku akan cerita saat makan siang. Sekarang aku harus masuk kelas. Sampai nanti ya."

Untungnya Yejoo tidak mengikutiku lagi. Aku tahu tidak seharusnya aku seperti itu padanya. Tapi aku benar-benar harus ke kelas sekarang. Walaupun aku tidak tahu apakah aku bisa fokus di kelas nanti.

***

Benar apa yang kuperkirakan. Aku tidak bisa fokus sama sekali di kelas. Pikiranku terus berputar di Do Hoon. Kenapa dia tidak ada kabar sama sekali. Bahkan satu pesan pun tidak ada. Boro-boro mau dibalas, dibacapun tidak.

"Ya, neo!"

Aku menghela napasku berat. Kenapa? Karena aku tahu suara siapa itu. Tentu saja Jihye, senior yang menyebalkan itu.

"Ya! Berhenti kau disana."

Bodo amat. Aku memilih untuk tetap berajalan ke tempat yang sudah diambil Yejoo untuk makan siang. Sekarang aku tidak ada waktu untuk meladeninya.

"Ish. Anak itu." Jihye akhirnya mencekal tanganku untuk membuatku berhenti. "Kau tidak dengar aku bilang untuk berhenti tadi?"

Akhirnya aku menatap tajam sunbae gila itu. "Mwo? Aku tidak tahu kalau sunbae memanggilku. Tak ada nama, kan? Sedangkan aku punya nama. Lee Do Young."

Dapat kulihat Jihye kesal karena jawabanku tadi. "Kau ini benar-benar ya."

"Tidak ada yang penting, kan? Kalau begitu aku pergi dulu. Tak ada waktu untuk meladeni sunbae."

Tadinya itu yang mau aku lakukan. Aku bahkan sudah melangkahkan kakiku satu langkah dari tempatnya sebelum ucapannya membuatku berhenti.

"Apa sudah bertemu Do Hoon?"

Aku diam.

"Ah. Apa dia masih di rumah sakit ya? Terakhir dia bilang dia ada di rumah sakit."

Aku berbalik dengan mata menyipit. "Sunbae-ga eotteohge ara?" Bagaimana dia tahu sedangkan aku tidak tahu? Padahal aku tahu Do Hoon tidak menyukai Jihye bahkan untuk bicarapun tidak mau. (Bagaimana kakak bisa tahu?)

Jihye tersenyum miring seakan meremehkanku. "Aku ini teman dekatnya, sudah wajar aku tahu. Memang seperti kau."

"Byeongwon? Eodi byeongwon? Wae?" (Rumah sakit? Rumah sakit yang mana? Kenapa?)

"Dia tidak memberitahumu? Oh kasihan sekali. Kalau begitu aku juga tidak akan memberitahumu. Untuk apa juga."

Dan manusia itu pergi begitu saja, ah, gak gitu aja sih, dia sengaja menabrak bahuku sedikit kencang sebelum dia pergi menghilang dari pandanganku. Tapi aku tidak peduli dengan itu sekarang.

Apa yang dia bilang tadi? Byeongwon?

Apa Do Hoon sedang sakit?

Kalau iya, kenapa dia tidak memberitahuku?

Aku jadi semakin khawatir dan kesal karena Do Hoon tidak memberitahuku apa-apa sama sekali.

***

Tadi aku sudah menceritakan semuanya pada Yejoo saat makan siang yang berakhir dengan turunnya air di mataku. Untungnya Taejoon berbaik hati untuk meninggalkan kami berdua tadi. Jadi saat aku menangis, tidak ada Taejoon. Kalau ada, aku pasti akan malu sekali.

Butuh waktu cukup lama untuk Yejoo menenangkanku agar aku tidak menangis lagi. Gadis itu juga bicara beberapa kata agar aku tidak perlu begitu memikirkannya.

Tentu saja aku ahnya bisa mengangguk mengiyakan. Hanya untuk membuat dirinya juga tidak khawatir. Lagipula aku sendiri bingung kenapa aku bisa sesedih ini coba padahal hanya tidak diberi kabar doang, yang dimana aku bahkan pernah diputuskan mantanku waktu di junghakgyo. (SMP)

Katalk!

Oh! Ada pesan masuk! Secepat mungkin aku membuka hapeku untuk melihat siapa yang mengirim pesannya.

Tapi yang kuharapkan tidak terjadi. Itu dari eomma.

Eomma:
Do Young-ah. Besok sidang terakhir. Eomma harap kamu bisa hadir. Kamu tidak perlu memilih juga tak apa. Eomma tak akan paksa. Hanya saja, Eomma harap dapat melihatmu di sidang untuk mendapatkan semangat lagi.
Jangan lupa makan ya.

Cepat sekali waktu berganti.

Awalnya aku keluar dan pindah kesini untuk menghindari bumonim-ku yang memperebutkan dengan siapa aku akan tinggal. Dan sekarang aku sadar bahwa waktu cepat sekali berganti. Besok sudah hari terakhir sidang. Dari kaburnya aku dari rumah, aku bisa bertemu Do Hoon disini.

Ah, Do Hoon lagi.

Aku benar-benar butuh waktu untuk menenangkan pikiranku sekarang.

Jadi disinilah aku sekarang. Menangis lagi meratapi nasibku dengan kedua tangan bersandar di pegangan jembatan Mapo. Tahu kan? Yang ada kata-kata mutiaranya itu. Kenapa hampir semua orang yang aku sayang melakukan hal-hal yang membuatku menangis sih? Appa, Eomma, dan sekarang Do Hoon.

Wah... Jadi ini rasanya saat orangtuamu mau bercerai? Rasa menyedihkan yang membuatmu hampir setiap saat ingin menangis?

Angin malam ini sejuk sekali. Seakan dapat mengeringkan air mata yang turun, seakan bicara kalau tidak perlu menangis.

Drrtttt drrrttt drrrtttt

Sudah keberapa kali hape ini bergetar di kantungku dan sengaja tidak kuangkat. Entahlah. Aku tidak menghitungnya. Yang pasti memang banyak panggilan yang tidak kujawab karena aku butuh waktu sendiri untuk memikirkan bagaimana kedepannya. Maksudnya, setelah eomma dan appa benar-benar bercerai nanti, bagaimana aku harus bersikap pada appa dan istri barunya yang menyebabkan semua kekacauan ini.

Karena bergetar terus, pada akhirnya aku menjawabnya tanpa melihat siapa yang meneleponku.

Aku menetralkan napasku sebentar agar tidak serak karna habis menangis. "Yeoboseyo?"

Tidak ada jawaban.

"Yeoboseyo? Siapa ini?"

Agak lama hening sebelum suara yang familiar menjawab dari seberang sana. "Eodiya?"

Suaranya datar dan dingin tapi ada tersirat kekhawatiran disana. Dan juga terdengar sedikit lelah...?

Aku terkejut dan langsung mengecek siapa yang meneleponku.

Gi Do Hoon.

Setelah memastikan aku tidak salah lihat, aku tersenyum kecut sekaligus lega karna dia bisa meneleponku. "Ijeya yeonrak-eul haettne." Aku mencoba untuk bicara setenang mungkin, mencoba untuk tidak menitikkan air mata lagi. (Akhirnya telepon juga)

"Aku tanya kau dimana?"

"Kenapa kau lama sekali meneleponku? Aku khawatir tahu." Sebisa mungkin aku tidak menjawabnya dengan benar. Karna aku tidak mau tangisku pecah lagi kalau membicarakan orangtuaku.

"YA, LEE DO YOUNG!" Aku terkejut saat mendengarnya meneriakiku dengan namaku. Dapat terdengar napasnya yang memberat seperti menahan marah.

"Ah kkamjjakiya! Akhirnya kau bisa menyebut namaku juga. Ini pertama kalinya aku mendengarmu memanggilku dengan nama." Aku masih menjawabnya dengan jokes. (Ah kaget aku!)

"Lee Do Young!! Aku sedang tidak ingin bercanda sekarang. Beritahu aku sekarang kau dimana?"

"Untuk apa kau tahu? Selama ini kau tidak mencariku, kan? Memberi kabar saja tidak. Kenapa sekarang tiba-tiba meneleponku untuk mencariku?"

Setetes air mata kembali turun lagi tanpa bisa kutahan, tapi langsung kuhapus dengan punggung tanganku.

"Mian. Aku akan jelaskan semuanya saat bertemu. Makanya aku tanya dimana kau sekarang? Aku tahu tentang apa yang kau alami barusan."

"Untuk apa kau jelaskan? Toh aku tidak penting kan untukmu, Sunbae?"

Ah. Aku benar-benar merasa kekanakan sekali. Apa-apaan ini Lee Do Young. Kenapa tiba-tiba kau jadi kekanakan sekali coba.

"Aku benar-benar minta maaf." Aku dapat mendengar suaranya yang benar-benar khawatir dan mulai serak. "Tolong beritahu aku dimana kau sekarang, Do Young-ah."

Aku menghapus jejak air mataku dan menetralkan napas serta suaraku sebelum menjawabnya. "Mapo Daegi."

"Jangan kemana-mana. Aku akan menjemputmu sekarang."

Aku tidak menjawab lagi dan langsung mematikan teleponnya. Hanya menunggunya dan menatap ke depan, ke Sungai Han yang terbentang didepanku.

Setelah dua hari, akhirnya aku bisa mendengar suaranya lagi. Hah. Sesulit itu ternyata mendengar suaranya.

"Lee Do Young."

Aku berbalik dan mendapati diriku pada sepersekian detik berikutnya sudah ada di pelukannya. Rasanya hangat padahal aku sudah memakai jaket dan coat sekarang. Tapi dipeluk seperti ini oleh Do Hoon, membuatku semakin merasa hangat. Aku tidak bisa menahan tangisku lagi dan balik memeluknya lebih erat.

"Mian. Naega neomu neujeossji?" Kedua tangannya menghapus air mataku sebelum dia memegang kedua wajahku dengan lembut.

Aku menggeleng dan memegang tangannya yang ada di wajahku sekarang. "Sunbae. Kau sakit?" Wajahnya juga terlihat pucat.

Sekarang gantian Do Hoon yang menggeleng. "Gwaenchanha."

Tanganku langsung berganti memegang dahinya walaupun dia sempat menolak. Dahinya juga panas. Bahkan lebih panas daripada tangannya. "Sunbae! Ini apanya yang tidak apa-apa?! Kau benar-benar panas seperti mendidih."

"Gwaenchanhdanikka. Jangan khawatirkan aku." Dia maih tersenyum melepaskan tanganku dari dahinya.

"Kita ke byeongwon sekarang. Kau harus diobati. Aku takut kau semakin parah. Udara sedingin ini kenapa kau malah menjemputku segala." Aku melepaskan syalku dan memakaikannya di lehernya sebelum memaksa dia masuk mobil.

Dia menahan tanganku. "Gak mau ke byeongwon."

"Sunbae." Aku berniat untuk memaksanya ke byeongwon tapi tatapannya seperti memaksaku untuk tidak membawanya ke byeongwon. "Arasseo. Kalau begitu kita pulang sekarang. Aku akan beli obat sekalian saat jalan pulang nanti."

"Oke."

Aku menghela napasku panjang. "Sekarang masuk ke dalam mobil."

"Kau salah pintu."

"Tidak, sunbae sedang sakit. Aku yang akan menyetir. Sunbae duduk saja disampingku, atau tidur kalau bisa."

"Kau bisa nyetir?"

"Aku tak pernah bilang aku tak bisa kan? Sudah naik saja."

"Tapi--"

"Ck. Cepat masuk."

"Baiklah."

Sebelum aku menginjak gas, aku sempat menatapnya lamat-lamat hingga dia jadi bingung sendiri.

"Kenapa kau melihatku seperti itu?"

"Sunbae."

"Eo?"

"Kau tahu kau berutang penjelasan padaku kan? Jelaskan padaku nanti."

"Iya-iya."

[TBC]

2021 4 10/10 April 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro