Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04

Lee Do Young

Hari ini Yejoo tidak masuk karena ada pemotretan di luar negeri untuk majalah. Jadi hari ini aku akan sendirian di kampus.

"Hah.... Sepi banget. Padahal kalau ada Yejoo biasa berisik." Dengan lemah aku menaruh tas dimeja sebagai bantalan kepala.

Rasanya benar-benar sepi sekali. Mana sekarang kelasnya Jung ssaem pula. Astaga. Salah apa aku hari ini. "Do Young-ah!" Merasa terpanggil aku mengangkat kepalaku mencari siapa yang memanggil. Dan mataku mendapati Seokwoo sunbae sedang melambaikan tangan padaku seraya tersenyum. Mau tak mau aku juga tersenyum dan melambaikan tangan padanya juga.

Seokwoo terlihat berbincang pada beberapa temannya dahulu sebelum dia berjalan kearahku. "Sunbae juga di kelas ini?" tanyaku basa-basi setelah dia duduk disampingku.

Seokwoo mengangguk dengan senyumannya lagi. "Eung! Aku tidak tau kalau kau ada di kelas ini. Takdir sekali ya."

"Takdir museun," ujarku garing. "Tapi bukannya kau satu semester diatasku ya, Sunbae?"

Seokwoo tak menjawabku dan menggaruk tengkuknya saja. "Begitulah." Keadaan sempat hening karena baik aku maupun Seokwoo tak ada yang buka suara lagi, eung, walau akhirnya Seokwoo bicara lagi. "Disini kosong kan? Boleh aku duduk disini?"

Aku menanggapinya dengan anggukan dan senyuman. "Tentu saja. Silahkan duduk."

Tak lama dosen masuk diikuti dengan satu orang dengan membaca laptop dan tas ransel juga. Eh tunggu. Sepertinya aku pernah melihatnya. "Eo?! Chib-chib Sunbae?!" pekikku tertahan. Eh? Sedang apa dia dikelasku?

Dosenku terlihat berbincang sebentar dengan Do Hoon sebelum dia memperkenalkan Do Hoon sebagai orang yang membantunya hari ini karena dia ada urusan jadi hanya tiga puluh menit dia dapat menghadiri kelasku. Eh?

"Gi Do Hoon imnida."

Kelas dimulai  dengan tiga puluh menit pertama diajarkan oleh Jung ssaem dan selanjutnya diajarkan oleh Do Hoon. Wah. Ternyata dia masuk dalam jajaran anak pintar juga toh. "Waktunya mengumpulkan tugas yang kemarin Jung ssaem berikan. Silahkan taruh di meja paling depan."

Hehehe. Saatnya menhampiri Do Hoon. Aku turun dengan cepat menuju meja paling depan which is meja yang di sebelah kanan Do Hoon. "Sunbae! Kau pintar juga ternyata ya? Sampai menjadi asdos." Terlihat wajah tak senang saat aku mengajaknya bicara. Mungkin dia bosan melihatku terus.

"Aku bukan asdos."

"Tapi kau hari ini menggantikan Jung ssaem."

"Bukan berarti aku asdos. Kebetulan aja lagi kosong."

"Ohhh... Sering-seringlah begini. Jadinya aku bisa melihatmu. Daripada aku melihat Jung ssaem. Bosan."

Terdengar helaan napas dari Do Hoon dan tiba-tiba dia menoleh padaku. "Kembalilah ke tempat dudukmu."

Aku tersenyum seraya mengangguk, "ne! Algesseumnida, Seonsaengnim!" Tanpa melihat reaksinya aku buru-buru berlari ke tempat dudukku. Takut juga kalau nanti dia marah.

***

Bukan Lee Do Young namanya kalau tidak mengganggu orang.

Hm, itu yang sering Yejoo katakan padaku. Aku memang orangnya begitu hehehe

Dan sepertinya aku akan mendengarkan hal seperti itu juga dari Do Hoon. "Kkeojyeora." (Pergilah)

"Sirheunde, naega wae, eolmajulgeonde?" (Tidak mau. Kenapa harus? Berapa yang akan kau berikan?)

Seketika aku bergidik karena menerima tatapan mematikan dari Do Hoon. Sekarang itu jamnya makan siang, rata-rata semua makan siang di kantin, ataupun bersama teman. Ya, walaupun ada juga kelas yang sedang berlangsung. Tapi apa yang aku lihat tadi?

Do Hoon sedang duduk sendirian dibawah pohon -tepatnya ditempat seperti gazebo kayu tanpa atap- taman yang berada di tengah-tengah halaman kampus. Tidak ada seorangpun disampingnya. Jadilah karena aku orangnya iseng, aku berlari ke tempat Do Hoon. Untungnya aku sudah membeli dua samgak kimbab tadi di kantin.

"Sunbae kenapa sendirian? Chingu eobsji?" tanyaku dengan nada meledek sembari menaruh kimbab diatas buku yang sedang ia baca. Makanya jangan galak-galak, Sunbae. (Kau tak ada temankan?)

Do Hoon menatapku bingung. "Makan. Kau tidak makan nasi dari pagi, Sunbae."

Kukira ia akan langsung makan, tapi ternyata kimbab itu ditaruh didalam tasnya. Cih. Memangnya dia malu apa kalau makan didepan orang. "Kenapa kau tidak makan? Makanlah. Jangan malu karena makan didepanku."

Hening. Dia mendiamkanku. Mau berapakalipun aku mengajaknya bicara, yang kudapatkan hanya keheningan. Di tengah keheningan itu akhirnya kumenyerah dan merebahkan tubuhku diatas rumput. Lumayan teduh dan cukup tenang karena beberapa mahasiswa ataupun mahasiswi lebih memilih untuk makan di kantin. Tidak seperti lelaki di sampingku. Ku tatap langit biru berhiasi awan-awan putih tipis. Tanpa sadar tanganku terangkat keatas dengan tangan satu lagi menjadi bantalan kepalaku.

Sseukkkk

Tiba-tiba ada coat panjang berwarna cokelat tua diatas tubuhku. Menutupi sebagian tubuhku sampai ke lutut. "Untuk apa ini?"

"Memamerkan tubuhmu secara sukarela huh?"

Aku baru sadar kalau aku memakai baju crop hari ini dengan cardigan beige sebagai luarannya. "Cih. Dasar tsundere." Terimakasih padanya karena sudah menutupi tubuhku yang sedikit terlihat karena aku mengangkat tanganku tadi. "Geundeyo, menurutmu sejauh apa langit itu? Apakah aku bisa menggapainya suatu saat?"

"Mworae," decihnya tak acuh padaku. "Yang pasti kau tidak akan bisa menggapai langit sekeras apapun usahamu." (Apaan sih)

"Tapi aku pernah mendengar dari temanku di Indonesia kalau Presidennya pernah berkata untuk bermimpilah setinggi langit jika engkau terjatuh, kau akan jatuh diatas bintang-bintang." Aku tidak bohong. Aku pernah mendengarnya dari salah satu temanku dari Indonesia yang dulu datang menjadi salah satu pertukaran murid.

"Itu artinya kau harus menggapai mimpimu walaupun itu sulit dan kalau jatuhpun, jangan takut. Tapi bukan berarti kau bisa menggapai langit benaran." Benar juga. "Babonya?" (Kau bodoh ya?)

Wah. Awalnya saja menjelaskanku dengan baik, tapi ternyata di belakang tetap saja kejam. "Kejam sekali, Sunbae."

***

"Do Young-ah! Tadi ponselmu berbunyi."

Salah satu penata riasku, yang juga sudah menemaniku di lokasi pemotretan dimanapun itu sejak aku pertama kali menjadi model. Dia adalah kakak yang sudah kuanggap sebagai eonniku sendiri walaupun sulit sekali untuk bertemu dengannya karena dia juga ada banyak pekerjaan ikut di fashion show yang diadakan baik dalam negeri maupun luar negeri di agensi dimana ia bekerja.

"Siapa?"

"Eomonim."

Mendadak aku sulit untuk bernapas. Kenapa lagi ibu meneleponku? Ku raih ponsel yang diberikan Bitna eonni dan membalasnya dengan senyuman. Setelah memastikan aku sendirian didalam tenda, aku baru berani membuka ponselku.

Ada satu pesan di kakao talkku dari ibu.

Eomma:
Ttal-ah. Kau baik-baik saja, kan? Di rumah Appa juga sudah keluar. Tolong kembalilah ke rumah. Atau paling tidak jawab teleponmu. Eomma dan Appa harus bicarakan denganmu dengan siapa kamu akan tinggal. Kalau sudah senggang tolong telepon Eomma, arratji?

(Ttal-ah artinya putriku)

Kenapa? Kenapa mereka harus membicarakan ini denganku? Aku sayang pada keduanya. Tapi kenapa mereka membuat pilihan yang sulit untukku? Bagaimana caranya aku bisa memilih kalau seperti ini.

Tanpa sadar air mata menetes dari mataku.

"Do Young-ah. Do Young-ah! Kau tidak boleh menangis. Nanti riasanmu jadi luntur," kataku pada diri sendiri. Susah payah aku menahan kesedihanku. Tapi aku tetap harus tersenyum. Kalau mau menangis, akan kulakukan di rumah nanti. Sekarang waktunya bekerja.

***

Gi Do Hoon

Kelas terakhir kini sudah selesai. Sekarang pukul 3 siang, ke perpuskah? Apa aku langsung pulang saja? Toh aku tidak ada urusan juga disini.

"Do Hoon-ah!"

Ah. Perempuan ini lagi. Hwang Ji Hye. Seharusnya tadi aku tidak perlu berpikir antara ke perpus atau pulang. Seharusnya aku langsung pulang saja. Jadi tidak bertemu dengan Ji Hye. Apakah aku sudah bilang kalau Ji Hye adalah teman kecilku? Kalau belum, ku beritahu sekarang kalau dia adalah teman kecilku -yang dipaksakan olehnya- sejak aku masuk yoochiwon tahun pertama. Sebenarnya tidak dapat dikatakan kalau aku tulus berteman dengannya sih. Karena dia memaksakan agar menjadi temanku dulu. Dan aku mau-mau saja. Toh, tidak ada rugijya denganku. Eh ternyata sepertinya itu adalah keputusan yang salah. Karena sejak godeung hakgyo, dia mulai protektif dan menempel terus padaku. Sampai sekarang. (taman kanak-kanak; sekolah menengah atas)

Dengan pelan kulepaskan tangannya dari lenganku. "Nwa. Jangan kekanakan." (Lepas)

Dapat kudengar decakan tak suka dari Ji Hye, tapi itu bukan masalah untukku. "Kau mau langsung pulang?"

Tak kujawab pertanyaannya. Karena tanpa kujawabpun, dia pasti tahu jawabanku. "Aku ikut ya?" Belum kujawab, dia sudah mendahuluiku ke halte bis. Dasar perempuan itu.

Alhasil aku pulang berbarengan dengannya. Tepatnya, dia yang memaksa untuk ke apartemenku.

Dan sialnya aku baru ingat i depan pintu apartemen kalau sekarang aku bukan tinggal sendirian lagi. Sebelum aku membukanya, aku langsung berbalik menatap Ji Hye yang balik menatapku bingung.

"Wae? Museun irisseo?"

"Tidak ada. Pulanglah. Aku sedang tidak dalam mood untuk menerima tamu di apartku."

"Ehei. Biasa aku juga langsung masuk kamarmu dan tidur disana. Kau juga biasa mendiamkanku kan. Cepat buka pintunya."

"Hwang Ji Hye. Aku serius. Pulanglah."

Mungkin Ji Hye melihat raut wajahku sudah serius, jadi dia mengangguk dan memilih untuk pulang. "Baiklah. Tapi kau harus menemaniku jalan di mall besok. Janji?"

Sial. "Akan ku pertimbangkan."

"Yeay!" Ji Hye berjinjit untuk mengecup pipiku yang untungnya aku sudah tahu jadi aku menahan dahinya.

"Pulanglah." Aku tunggu sampai Ji Hye benar-benar naik lift turun baru aku masuk ke dalam.

Merepotkan sekali punya teman seatap sembunyi-sembunyi.

Kringggg kringgggg

Notebook dipangkuanku hampir saja jatuh saat mendengar telepon yang menghubungkan dengan lobby apartemen berbunyi. Ani, selama ini aku tinggal disini, bisa dihitung pakai jari dalam setahun berapa kali telepon itu berbunyi.

Dengan lamgkah tergesa-gesa aku keluar dari kamar karena telepon itu tidak berhenti berdering sama sekali.

"Ne. Yeoboseyo?"

"Sunbae!"

Oh shit.

"Sedang apa kau telepon pakai telepon lobby?"

"Maaf. Tapi aku tidak nomor teleponmu, jadi aku meminjam telepon di lobby."

"Huh. Ada apa?"

"Aku ada membeli meja rias, ada di lobby. Tapi aku tidak bisa membawanya sendirian ke atas. Bisakah kau membantuku? Ya ya ya? Sekali saja."

Sekali sekali. Lama-lama jadi sering juga nanti. Dasar.

"Kan ada petugas dibawah. Minta bantuan padanya saja."

"Yang muda tidak ada. Yang sedang di bawah itu yang harabeoji. Kasian kalau dia membantuku membawanya keatas."

Masih punya hati juga ternyata dia. Aku menimang sebentar sebelum aku berkata, "dasar menyusahkan. Tunggu disana sebentar." Lalu kuputuskan sambungan teleponnya.

Kalau tidak membuatku susah, bukan Lee Do Young namanya.

Lihat lihat. Anak itu dengan topi beanienya terlihat santai saja menunggu sambil menaruh kepalanya di meja resepsionis. Sepertinya dalam waktu kurang dari dua minggu dia sudah bisa kenal dekat dengan orang-orang disini. "Oh? Sunbae!! Sini sini!" Tangan kecilnya yang kemerahan -sepertinya karena kedinginan- memanggilku agar mendekat kearahnya. Memangnya aku buta apa?

"Jangan teriak. Kau ini berisik sekali."

Do Young menampilkan senyum tipisnya disertai matanya yang membentuk bukan sabit. "Itu. Cukup besar kan? Aku tidak mungkin mengangkatnya sendiri sampai unit."

Hah... Benar-benar.

"Neo jinjja. Mothamyeon wae ssasseo?" (Kau ini. Kalau tidak bisa kenapa kau beli?)

"Ei, Sunbae. Wae geureoseyo? Jangan galak-galak begitu. Kau seperti gae tetangga rumahku di Pohang." Anak ini. Bisa-bisanya menyamakan ku dengan anjing sambil tersenyum seperti itu. (anjing)

Pada akhirnya aku hanya bisa menghela napas karena tak mau ribut dengannya. Tanpa meladeninya aku bergerak untuk meminjam troli kecil untuk mengangkut kardus yang nantinya akan dibuat menjadi meja rias.

"Wah ternyata itu boleh dipinjam ya? Kalau boleh dipinjam mah aku tidak perlu memanggil sunbae turun membantuku."

Aku melihatnya lelah. "Lain kali gunakan duku kepalamu untuk berpikir."

"Tapi berpikirkan memakai otak."

"Bisa tidak kalau kau tidak membalas kata-kataku?"

Setelah aku berkata seperti itu, Do Young baru diam. Memang benar-benar perempuan ini. Dia hanya berjalan disebelahku. Berlari kecil untuk menahan pintu lift agar aku bisa langsung masuk dan keluar dari sana tanpa berlari.

"Akhirnya! Sudah sampai di apart. Gomawo, Sunbae!" Sumringah sekali dia.

Aku tidak menjawabnya hanya langsung keluar dari kamarnya. "Sunbae!"

"Tto mwo? Wae? Mwo?" (Apa lagi? Kenapa? Apa?)

Dengan menggaruk kepalanya dia tersenyum padaku. "Boleh bantu aku merakitnya? Aku tidak tahu bagaimana caranya."

"Neo jinjja!" Kalau saja dia bukan perempuan, sudah kuajak ribut pasti. "Minggir sana."

Alhasil aku dan dia sama-sama merakitnya, lebih tepatnya aku yang merakitnya dan dia hanya mengambilkan perkakas yang aku butuhkan.

Dalam dua sampai tiga jam akhirnya meja rias itupun selesai dirakit. Buru-buru aku langsung masuk kamarku agar tidak diganggunya lagi. Do Young juga bilang makasih padaku walaupun tak kujawab lagi.

Tok tok tok

Apa lagi sekarang.

Kubuka pintuku dengan malas. Ini anak benar-benar ya.

"Sunbae. Aku lapar. Tapi aku tidak tahu mau masak apa. Bisakah kau buatkan makanan untukku?" tanyanya dengan senyuman lagi.

Aku tidak tahu setan apa yang merasukiku sekarang. Tapi yang kutahu sekarang adalah, aku sedang berjalan ke dapur diikuti Do Young dari belakang. Do Young duduk di meja makan mengamatiku yang sedang mempersiapkan makanan untuknya.

"Akh!" Sial. Jariku teriris pisau.

Do Young tiba-tiba sudah berdiri disampingku dan memekik. "Sunbae! Jarimu! Kotak P3K dimana. Kau duduk dulu. Biar kuambilkan kotak obat dulu."

Ku basuh jariku dengan air sebelum aku duduk menunggu Do Young yang sekarang sibuk mencari kotak obat.

Lucu melihatnya melompat-lompat kecil meraih kotak obat yang berada di rak dapur atas. Aku berjalan ke belakangnya dan mengambilnya dari belakang. Do Young berbalik dan membuatku sedikit terkejut karena ternyata jarak kami cukup dekat. Tapi gadis itu tidak terlihat terkejut. "Duduklah. Biar kuobati dulu." Dia mengambil kotak obat dari tanganku dan mendorong pelan tubuhku agar aju bisa duduk.

"Kenapa juga kau bisa terluka? Jangan buru-buru. Aku masih bisa menunggu, kok. Ya aku tahu sih sunbae segitu perhatiannya denganku. Tapi tidak perlu buru-buru, kok."

Narsis sekali anak ini. Kusentil pelan dahinya hingga ia menjerit kecil. "Sunbae! Sakit tahu!"

"Akh! Ya!" Dia membalas dengan menekan pelan lukaku yang sudah ia balut dengan plester.

"Kau duluan yang mulai, Sunbae."

Kuputar bola mataku jengah dan kembali membuat makanan untuknya.

Tidak perku waktu lama karena tadi bahannya juga sudah siap semua. Kusajikan dalam piring sebelum kuberikan pada anak ayam itu.

"Yey! Makanan!"

Lihat. Lihat! Binar mata itu. Memangnya dia tidak makan dari pagi atau bagaimana sih. Tadi siang dia makan loh. Aku sempat melihatnya di kantin dengan teman perempuannya tadi siang. Lalu kenapa dia seperti tidak diberi makan seminggu. Dipikir-pikir sudah dua minggu dia mengangguku saat makan siang di taman. Dan baru hari ini dia tidak mengangguku. Syukurlah temannya cepat kembali. Jadi aku tidak diganggu.

"Wahhh!!! Jinjja masisseo!" Aku tersenyum puas sembari tanganku mencuci panci bekas masak. "Sunbae! Lain kali sering-seringlah masakan untukku."

Aku tidak menjawabnya dan hanya melenggang masuk ke kamarku. Semoga saja dia tidak lihat senyumanku ini.

[TBC]

7 March 2020 / 2020년 3월 7일

hampir aja aku lupa buat update loh wkwkwk maafkan ya karna terlalu telat updatenya hehehe

so, happy reading guys!

see ya on next chap!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro