Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

Gi Do Hoon

Tok tok tok

Aku sedang mengeringkan rambutku dengan handuk saat pintu kamarku diketuk.

"Sunbaenim. Kau sudah bangun? Dowajuseyo!" (Tolong aku!)

Ah. Lee Do Young lagi? Kenapa lagi dia sekarang.

Setelah menggantung handuk di beranda kamarku, aku berjalan pelan untuk membuka pintu. "Ada apa?"

Do Young terlihat menggeliat tak nyaman sendiri di depan pintu kamarku. Tangannya juga memegang perutnya. Seolma?

"Ya! Neo wae geurae?!" Aku membantunya untuk duduk di sofa ruang tamu. Do Young terlihat kesakitan sekali. "Eodi apha?" (Kau kenapa?!) (Sakit dimana?)

Do Young masih tak menjawabku malah dia meremas perut sebelah kanannya. "Sakit disini?" Aku menyingkirkan tangannya dan menekan perut kanannya dengan tanganku, alhasil Do Young mengangguk.

"Ya! Neo! Ayo ke byeongwon sekarang."

Do Young tetap tidak menjawabku. Dia sibuk menahan rasa sakit perutnya. Aku hampir saja menggiringnya keluar tanpa membawa kunci dan dompetku. Bahkan aku lupa untuk memakai jaketku. Do Young juga masih memakai celana pendek sport yang biasa dia pakai untuk di rumah. "Kau tidak mau ganti baju?"

Do Young mengangguk. "Mau. Tunggu sebentar. Aju akan ganti celana dulu dan mengambil jaket dan dompet."

"Tak usah. Ganti celana saja. Biar nanti aku yang urus dulu administrasinya. Jaket biar pakai jaketku dulu. Cepat."

Sambil terus meringis sakit, Do Young kembali ke ruang tamu dari kamarnya seusai mengganti celananya. Ku pakaikan dia jaketku dan segera menuju ke rumah sakit terdekat memakai mobilku.

Ya, tentu saja dengan mobilku. Tidak mungkin dengan bis. Dan untuk apa naik taksi kalau aku ada mobil. Aku belum sejahat itu sampai menyuruhnya ke rumah sakit sendirian.

***

Tuk tuk tuk tuk tuk

Bangku panjang di ruang tunggu rumah sakit seakan bergoyang terus menerus. Bukan tanpa alasan bangku ini tidak bisa diam. Karena orang yang duduk di sampingku ini, kakinya terus saja menghentak ke lantai.

Karena aku sudah muak, aku berdiri dan bermaksud untuk pindah bangku mungkin ke belakang. Tapi tak jadi karena Do Young -yang berbarimg diatas kasur rumah sakit- sudah keluar dari ruang pemeriksaan dan masuk ke kamar inap karena dokter merekomendasikan untuk menginap dulu sambil menunggu hasil.

"Lee Do Young-nim bohojabun." (Wali Nona Lee Do Young)

Ah. Rasanya aku mau tinggal pulang saja. Malu juga karena dipanggil sebagai wali. Kenapa juga aku harus menjadi walinya? Ah Lee Do Young ini.

Aku berjalan ke ruang dokter yang menangani Do Young tadi.

"Selamat pagi."

"Ne. Selamat pagi."

"Anda walinya Nona Lee Do Young?"

"Secara legal, tidak. Tapi aku tidak tahu keluarganya dan kebetulan kami di satu rumah yang sama."

"Di satu rumah--"

Waduh. Bisa salah paham ini nanti. Kenapa juga aku bicara seperti itu.

"Bukan bukan. Bukan seperti yang Dokter bayangkan. Aku dan Do Young-ssi kebetulan menyewa tempat yang sama. Satu gedung. Dan tadi pagi tiba-tiba dia mengeluh sakit sambil memegang perutnya."

Dokter Kim Min Seok itu mengangguk paham. Aku tak tahu dia benar-benar paham atau masih ragu dengan penjelasanku tadi. Padahal yang kuberitahu itu benar loh. "Jadi begini. Kami tetap harus menunggu hasil tes dari urine dan tes darahnya. Kemungkinan baru keluar nanti siang atau sore. Tapi melihat dari hasil CT Scan dan rontgen dada, sebenarnya mau dilakukan tes kehamilan juga, untuk jaga-jaga siapa tahu Lee Do Young hwanja sedang hamil, tapi Lee Do Young hwanja menolak jadi kamipun tak bisa berbuat apapun. Dapat dilihat dari hasil ini, Lee Do Young hwanja mengalami radang usus buntu." (Pasien)

Nah kan. Ini dokter masih belum percaya dengan kata-kataku. Cih.

Tapi benar juga dugaanku tadi pagi. Usus buntu. Dia sering sekali makan makanan pedas dan juga ramyeon, jadi tidak mengejutkan kalau dia terkena usus buntu.

"Tapi untungnya, masih belum pecah. Jadi masih bisa diobati dengan antibiotik. Dan ini belum pasti. Karena belum ada hasil tes urine dan tes darahnya. Tapi untuk sekarang, inilah yang diprediksikan."

Tok tok tok

"Ne. Deureo-oseyo." (Ya. Silahkan masuk)

Seorang suster masuk dan memberikan map hitam yang kurasa itu pemeriksaan hasil tes urin dan darahnya Do Young.

"Kebetulan sekali tesnya sudah keluar. Baiklah. Kau bisa keluar." Suster itu pamit keluar dan Dokter Kim itu melanjutkan penjelasannya. "Seperti yang sudah diprediksikan, radang usus buntu. Apakah Lee Do Young hwanja sering memakan makanan pedas, cabai, ramyeon--"

"Ya ya. Dia suka sekali makanan seperti itu. Tapi bukankah untuk yang lebih pasti Dokter harus menanyakan langsung pada pasien?" Tak salah kan yang kutanyakan?

Dokter Kim itu terlihat berpikir dan mengangguk. "Benar juga. Baiklah. Mari kita ke kamar inap Lee Do Young hwanja bersama."

Aku tercengang sampai tak bisa berkata apa-apa. Apa ini dokter benaran dokter? Jangan-jangan dokter gadungan lagi.

Mwoya....

***

Dokter Kim baru saja keluar dari kamar inap Do Young setelah tadi menyampaikan hal yang tadi ia sampaikan padaku. Ah, dasar dokter aneh memang. Ingatkan aku untuk tidak berobat padanya kalua-kalau aku sakit.

"Ya. Kau benar tidak mau dioperasi saja?"

Jadi seperti yang tadi Dokter Kim katakan, Do Young mengalami radang usu buntu yang untungnya belum pecah. Dan tadi dokter itu memberikan opsi untuk menyembuhkannya dengan operasiatau bias juga dengan cara non-operasi yaitu dengan antibiotik. Dan setelah berpikir lama, Do Young, gadis itu, memilih untuk tidak operasi padahal kemungkinan dia untuk sembuh total dengan antibiotik juga tidak 100% sembuh total.

Do Young sudah dapat duduk setengah tiduran -kalian pasti mengerti maksudkulah- diatas kasurnya sekarang setelah diberikan obat pereda rasa nyeri. Dia menggeleng pelan. "Tidak. Aku takut yang namanya operasi. Dan aku juga tidak punya wali."

Tidak punya wali katanya? Selama ini di bagian kata 'wali' di formulir rumah sakitnya selalu kutuliskan namaku. Ini anak benar-benar ya.

"Kenapa tidak kau hubungi orangtuamu saja?"

Raut wajah gadis itu mendadak berubah lesu kemudian dia menggeleng. "Tidak perlu."

"Kau yakin? Antibiotik ada kemungkinan untuk kambuh lagi."

"Mau bagaimana lagi. Aku juga takut untuk dioperasi."

Aku menghembuskan nafas berat sebelum menjaswabnya. "Tak usah khawatir. Aku akan menemanimu nanti. Wali juga bisa memakai namaku nanti. Toh selama ini kau memakai namaku saat di rumah sakit."

"Benarkah boleh seperti itu?"

Dengan sangat-sangat terpaksa aku mengangguk mengiyakannya.

Tapi jangan salah, bukan berarti aku sudah menjadi orang baik. Aku melakukannya karena tidak mau tiba-tiba direpotkannya lagi saat usus buntunya kambuh.

"Wah!!! Ternyata kau bisa berbuat baik juga, Sunbae." Lagi. Do Young lagi-lagi bangun dari tempatnya membuat kepalanya hampir saja bersentuhan dengan kepalaku.

Kacau. Lee Do Young itu adalah perempuan yang berbahaya.

Ku dorong keningnya dengan menggunakan jari telunjukku agar dia kembali duduk bersandar pada kasur rumah sakit. "Duduk dan diam saja. Jangan sampai mengeluh sakit," ujarku dengan diselingi helaan nafas. "Kulakukan itu bukan karena aku baik. Tapi karena aku tidak mau diganggu olehmu lagi. Gwichanh-eunikka. Mengerti?" (Menggangu)

Do Young membuat satu garis laris dengan bibirnya dan mengangguk paham. "Ne ne. Algeusseumnida, Sunbaenim."

"Yaudah. Kupanggilkan dokternya dulu."

"Eh? Untuk apa?"

Wah. DIa bodoh atau bagaimana ya? Dia kan tadi berkata setuju untuk melakukan operasi, tentu saja aku harus memanggil dokterya lagi agar dia dapat memberitahukannya sendiri.

Kesal, kusentil pelan keningnya yang menghasilkan ringisan kecil darinya. "Mwoya?! Kenapa menyentil dahiku?"

"Karena kau bodoh." Aku membalikkan tubuhku dan pergi darikamar inapnya. Persetan dengan dirinya yang memanggil namaku dari belakang.

"Sunbae! Sunbae, eodiga? Sunbae!" (Kak! Kak, kau mau kemana? Kak!)

***

Lee Do Young

Tadi pagi perutku sakit sekali. Benar-benar sakit sampai mengalahkan rasa sakitnya saat kalian sedang masa period. Tak ada pilihan lain selain memints bsntuan pada Do Hoon. MAlu juga sih dan takut juga diomeli Do Hoon gslsk itu. Tapi mau bagaimana lagi. Hanya dia yang dapat membantuku saat itu.

"Sunbae. Temani masuk ke dalam ruang tes," pintaku diselingi rintihan karena sakit perutku.

Aku takut sekali kalau sampai harus masuk sendirian. Tapi si Do Hoon itu tetap tidak menemaniku masuk dan melepaskan tangannya yang tadi menahna lengannya. "Jangan cengeng. Kau tidak akan dimutilasi di dalam." Oh Tuhan. Pedas sekali mulutnya itu.

Alhasil akhirnya aku masuk ke dalam ruang tes tanpa ditemani Do Hoon. Untungnya tes tidak selama itu, tapi yang harus di tes itu banyak.

Setelah tes dan segala macamnya, aku dipindahkan ke ruang rawat inap karena aku masih merasa sakit sekali perutnya, jadi aku meminta untuk menginap dulu disini.

"Ah. Jeo sakkaji Do Hoon kemana lagi, sih? Aduh." Sesekali aku memegangi perutku karena masih terasa sakit. (Manusia kejam itu)

Pintu kamarku tiba-tiba terbuka menampikan dokter, suster dan si Do Hoon itu. Kembali juga akhirnya dia. Kukira dia sudah pulang.

Selama Dokter Kim menjelaskan dan berbincang mengenai penyebab dari sakit perutku, aku hanya bias menganggu seadanya karena aku sendiri kurang mengerti. Pikiran ku sedikit terganggu karena dia berkata kalau aku mengalami radang usus buntu dimana yang aku tahu harus dioperasi. Dan biasanya harus ada persetujuan wali untuk hal itu, sedangkan aku 'tidak punya' wali.

Jawabannya terhadap pertanyaanku mengenai sarana pengobatan lain selain operasi cukup membuatku lega. Perawatan denga antibiotik setidaknya tidak begitu sulit, kan? Sepertinya juga tidak butuh wali wajib. Hanya berdasarkan pendapatku juga bias. Jadi aku memilih untuk memakai antibiotik walaupun agak takut juga, setidaknya saat itu antibiotik adalah pilihanku.

Tapi seperti yang kalian tahu, Do Hoon mengajukan diri sebagai waliku dan memintaku untuk melakukan operasi saja karena pengobatan dengan antibiotik tidak menjamin 100% akan sembuh selamanya. Setidaknya ada sampai 63% pasien usus buntu yang ditangani dengan antibiotik itu akhirnya kambuh lagi. Dan, karena sebenarnya aku juga tadinya ingin operasi, jadi kuiyakan saja perkataan Do Hoon.

Dan disinilah aku sekarang.

Di kamar inapku. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan lagi guna memastikan kesehatanku untuk operasi nanti, aku dikembalikan ke kamar inapku.

"Ah. Ini bisa memakan biaya berapa ya?"

Do Hoon yang duduk di sofa hanya melirikku dan tak menjawab.

Sebenarnya uang bukanlah masalah bagiku. Bocoran saja nih, aku bukan dari kalangan orang yang sederhana. Kedua orangtuaku itu keduanya berasal dari keluarga yang berada. Tapi tetap saja walaupun begitu, aku tidak boleh menghambur-hamburkan uang, kan.

Dan karena aku mau dioperasi, aku harus puasa makan dan minum. Ini sudah tujuh jam lebih aku berpuasa. Jam tujuh malam nanti operasiku akan dilakukan. Kalau mau jujur, tentu saja aku takut. Siapa juga yang tak takut kalau tahu dirinya akan masuk ke ruang operasi untuk dioperasi, walaupun hanya operasi usus buntu.

Tapi ada yang lebih penting daripada itu.

Sekarnag perutku terasa lapar, tenggorokanku juga kering. Aku tak tahan. Karena aku juga belum makan dari pagi. Oke. Sebenarnya sudah. Makan roti selai cokelat dua dan juga jus jeruk. "Sunbae. Aku lapar dan haus. Aku mau minum air putih seteguk saja. Boleh ya?"

Do Hoon bangun dari duduknya dan berjalan kearah kasurku dengan segelas air putih di tangannya.

OH! Baik juga dia.

Aku sudah mengulurkan tanganku untuk mengambil gelasnya dengan senyuman manis di wajahku, tapi sekalinya setan ya tetap setan. Dia tidak memberikan gelas itu padauk. Melainkan dia habiskan air itu di depanku dan memberikanku gelas kosong saja.

"SUNBAE!" Ah. Kesal aku rasanya.

Do Hoon hanya menaikkan kedua bahunya meledekku dan kembali ke tempat duduknya. "Kau itu harus puasa. Mau dioperasi. Tunggulah sebentar lagi."

ARGHH!!!! JEO MICHIN SAKKAJI GATEUN NOM!

Sabar, Do Young-ah. Sabar.

***

Entah sudah berapa lama aku tertidur karena bius operasi tadi. Saat kubuka mataku yang kutahu pasti, langit sudah berubah warna jadi gelap.

Mataku menelusuri seisi kamar inap dan cukup terkejut karena kedatangan Yejoo dan Tae Joon yang sedang duduk dan bercengkerama dengan Do Hoon di sofa tempat dia duduk tadi.

Kalau ingat Do Hoon, hatiku masih sedikit hangat dan berdesir. Sebelum aku masuk ruang operasi dia menggenggam tanganku erat sepanjang jalan menuju ruang operasi seakan tahu kalau aku takut. Dia juga sempat meremas tanganku beberapa kali saat aku menggenggam tangannya lebih kuat daripada yang ia genggam.

"Jangan takut. Hanya operasi biasa. Tidak akan ada masalah."

"Tapi aku tetap takut, Sunbae."

Tangannya bergerak naik ke puncak kepalaku dan mengelusnya lembut. "Untuk apa itu?"

Dia sedikit menunduk untuk membisikkannya di telingaku. "Agar kau tahu kalau kau ada yang harus lebih ditakutkan daripada ini. Yaitu hutang biaya rumah sakit dan lain-lainnya padauk.."

Astaga. Kalau aku sedang tidak sakit, sudah kupastikan akan kujambak rambutnya itu. Dasar manusia kejam.

Dan dengan begitu aku melepaskan tangannya saat berpisah di depan ruang masuk operasi.

"Do Young-ah." Lamunanku buyar saat mendengar suara Yejoo memanggil namaku.

Aku tersenyum untuk menandakan aku baik-baik saja -biar tidak perlu ditanya lagi gitu- tapi Yejoo tetaplah Yejoo. Dia masih menanyakan apakah aku baik-baik saja. Tae Joon pergi keluar setelah dimintai tolong oleh Yejoo untuk memanggil Dokter Kim.

"Aku baik-baik saja. Hanya saja sedikit sakit di bagian yang dijahit kalau aku bergerak."

Yejoo cemberut dan mulai sedih menatapku. "Yayaya. Kenapa kau jadi mau menangis? Yang kesakitankan aku."

"Kau sih. Kenapa tidak memberitahukanku dari pagi? Aku baru tahu saat kau sudah dipindahkan ke kamar inap lagi. Itupun karena aku telepon ke ponselmu dan yang angkat adalah adiknya Do Joon sunbae." Yejoo menghapus jejak air matanya dengan telapak tangannya sebelum dia lanjut berbicara lagi. Ah, aku juga tidak ingat untuk mengabari Yejoo karena sibuk dengan sakitku sendiri. "Kau tahu tidak sih betapa khawatirnya aku."

Jadi merasa bersalahkan aku melihatnya menangis. Dia memang jauh lebih cengeng daripadaku, mungkin karena dia adalah anak terakhir di keluarganya jadi mentalnya benar-benar lembut? Aku menepuk-nepuk tangannya untuk meyakinkannya kalau aku sudah tak apa. "Mian, Yang penting kan aku tak apa setelah operasi." Yejoo masih sesenggukan walaupun sudah mereda dan mengangguk.

OH! Aku teringat pada Do Hoon sekarang.

"Jeogi, Sunbaenim! Terimakasih karena kata-katamu tadi aku jadi ingat kalau ada yang lebih menakutkan daripada operasi." Aku sangat-sangat tulus mengatakan itu padanya dan sekalgus untuk menyindirnya juga.

Seperti yang dapat diperkirakan. Do Hoon hanya mengangkat kedua bahunya dan kembali membaca buku.

"Tapi kulihat-lihat belakangan ini kau sering sekali dengan sunbae itu. Apalagi saat kau sedang kesusahan. Kalian benar-benar tak ada hubungan apa-apa? Jangan-jangan kalian pacaran?"

Do Hoon terlihat terkejut sampai batuk-batuk setelah mendengar yang Yejoo katakan.

Ah, Yejoo juga sih. Kenapa sepenasaran itu coba.

"Tidak. Aku dan Do Hoon sunbae tidak ada hubungan apa-apa. Museun sai ittnya." Tidak. Yejoo kalau sudah tahu aku tinggal seatap dengan Do Hoon, akan sulit untuk menanganinya. Lebih baik tidak aku beritahu. Lagipula kami berdua -aku dan Do Hoon- sudah sepakat kalau tidak akan memberitahu siapa-siapa tentang hal itu. (Hubungan apa yang mungkin ada)

"Tapi ka--"

Syukurlah kata-kata Yejoo terputus karena kedatangan Dokter Kim ke kamarku. Buru-buru aku memberikan isyarat pada Tae Joon untuk membawa Yejoo pergi yang untugnya dia cepat menangkap sinyalku.

Do Hoon juga sudah bangkit dari duduknya untuk pergi keluar dari kamarku tapi tak jadi karena ditahan oleh Dokter Kim.

"Mohon untuk walinya tidak pergi kemanapun dan tetap disini untuk mendengarnya bersama."

Mampus kau, Do Hoon.

[TBC]

15 June 2020 / 2020년 6월 15일

yaampun maaf bangetttttt. aku lupa buat update sabtu kemaren. sebagai gantinya aku update skrg ya!! maaf maaf!!

happy reading guys!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro