3.
"Mmm.."
Surai kuning itu kembali menutup matanya, ketika merasakan sinar matahari masuk dan menusuk matanya. Beberapa saat setelahnya, ia kembali membuka mata perlahan dan mengubah posisi badannya menjadi setengah duduk sambil bersandar di kepala kasur.
Ia lalu melipat kedua kakinya, dan memeluknya menggunakan kedua tangan.
"Lagipula.. Aku juga tidak berniat untuk menikah dua kali."
"Haahh.."
"Apa aku pulang saja.."
Tok! Tok! Tok!
Bunyi ketukan pintu langsung mengalihkan atensi perempuan itu, "m-masuk..?"
Pintu terbuka, menampakkan beberapa perempuan yang berpakaian seperti maid, namun dengan warna tosca dan putih. "Selamat pagi, nona! Mulai hari ini, aku yang akan mendampingi nona disini," jelas salah satu dari mereka, lalu dua orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya menunduk hormat sebentar, sebelum mereka berdua pergi dari sana.
"Anda.. Sendiri?" tanya Erin, membuat orang itu mengangguk santai. "Namaku Sana, salam kenal nona Erin," lanjutnya sambil menunduk.
"P-Panggil Erin saja, tidak perlu terlalu formal. Salam kenal Sana," balas Erin sambil tersenyum simpul.
"Baiklah kalau begitu.."
"Ngomong-ngomong, saya telah menyiapkan pakaian untuk nona kenakan-- maksudnya Erin kenakan hari ini," ralat Sana, membuat Erin tertawa kecil. "Tidak perlu secanggung itu, anggap saja aku sebagai temanmu," ujar Erin.
"Aku juga kurang menyukai soal kedudukan, kekuasaan, takhta, atau semacamnya," gumamnya lagi.
"Hum?"
"Ya.. Begitulah. Bukan sesuatu yang perlu dibahas terlalu jauh."
"Baiklah, aku akan mandi dulu lalu mencoba pakaian yang kau siapkan, oke?" ucap Erin mengalihkan topik, lalu pergi dari kamar itu bersama dengan Sana yang mengekorinya.
-: ✧ :-
"Bajunya agak.."
"Norak? Ahaha, kau harus membiasakan diri karena pakaian ini memang khas Sirena," jelas Sana sambil tertawa kecil.
"Bukan itu maksudku--"
"Sudah sudah, aku mengerti kok!" potong Sana sambil menepuk-nepuk kasar pundak Erin.
"Tapi memang bukan itu maksudku.." batinnya sambil menghela nafas.
"Baiklah, sekarang ayo ke ruang makan. Aku yakin yang mulia telah menunggumu!" lanjut wanita itu sambil mendorong kecil tubuh milik Erin.
"Oke..?"
Mereka pun berjalan menuju ruang makan. Mungkin butuh sekitar 20 menit bagi mereka untuk sampai ke lorong terakhir, sebelum sampai ke ruang makan yang letaknya di pojok istana.
"Kau tidak lelah, Erin?" tanya Sana, memastikan kondisi Erin agar tetap aman. Apalagi melihat baju yang dikenakannya lumayan berat, Sana jadi merasa sedikit khawatir.
"Tenang saja, staminaku cukup banyak kok, terlepas dari ukuran tubuhku sih.." jawabnya sambil tersenyum kaku, begitu juga Sana yang ikut tertawa canggung.
Saat mereka berdua telah memasuki simpang terakhir, Erin langsung disuguhi meja makan panjang dengan furnitur mewah dan corak indah khas Sirena, begitupun dengan tema dan warnanya yang senada membuat netra Erin sangat dimanjakan.
Pasalnya, tidak ada yang seperti ini di Kerajaan Lama. Mereka hanya dipenuhi dengan warna hitam dan abu, yang sangat amat membosankan bagi seorang Putri Lama.
Di seberang meja terdapat sosok laki-laki yang sangat amat familiar di matanya, dan berhasil membuat surai kuning itu mengernyit kesal. Sana yang menyadari hal itu pun langsung menepuk pundak Erin, "Erin, kurasa agak tidak sopan jika kau menatap yang mulia seperti itu.." tegur Sana yang tak digubris sama sekali olehnya.
Beberapa menit berlalu semenjak Erin dan Sana sampai, tetapi Erin tak kunjung duduk dan masih menatap sinis Sardinia.
"Rasanya aku sangat tidak sudi untuk duduk dan makan satu meja dengan orang yang telah mempermainkanku.." batin Erin sambil menahan emosinya, bagaimanapun ini semua adalah kehidupan yang harus dijalani oleh dirinya mulai sekarang.
"Kenapa kau tak kunjung duduk juga? Apakah kau ingin aku mengatakan hal semacam 'kau cantik saat mengenakan gaun itu' atau 'gaun itu pas sekali bila dipakai olehmu'? Maaf saja, tapi aku tidak akan mengatakan hal semacam itu pada perempuan tomboy seperti dirimu, nona," ujar Sardinia dari seberang, membuat perempatan imajiner tercipta di pelipis sang surai kuning.
"Kau..!"
"Erin, sudahlah," bisik Sana, membuat Erin menghela nafasnya kasar. "Terserahmu," ucap Erin pada surai pink itu, lalu ia pun berjalan mendekati Sardinia, dan menduduki bangku di dekatnya, membuat Sardinia ikut mengernyit, "apa yang kau lakukan disini?" tanyanya.
"Tentu saja duduk, seperti yang kau katakan sepersekian detik lalu," jawab Erin ketus.
"Aku tau, tetapi siapa yang menyuruhmu duduk disini?" ujar Sardinia, membuat Putri Lama itu kebingungan. "Apa maksud.."
Namun sebelum ia sempat melanjutkan kata-katanya, Netra perempuan itu terlebih dahulu menangkap sebuah tanaman indah yang ia idam idamkan untuk lihat sedari lama.
"Clear lotus?! Ternyata Sirena memilikinya?" ujar Erin tiba-tiba. Surai kuning itu pun langsung beranjak dari tempat duduknya dengan segera dan langsung berlari menuju clear lotus tersebut. Sardinia yang melihat itu pun menjadi sedikit kaget.
"Setelah sekian lama.. Hei, bukankah mereka terlalu indah?" ucap Erin kagum. Sardinia yang sedikit bingung pun mengangkat salah satu alisnya, "bunga teratai, namun warnanya menyatu dengan alam sekitarannya. kau menyukainya?"
"Uhn! Aku sangat amat menyukainya. Sedari kecil aku benar-benar mengidamkan bunga ini, karena berapa kalipun aku mencoba agar dapat melihatnya secara langsung, ia akan selalu layu sebelum sampai ke Lama, atau bahkan mencair terlebih dahulu sebelum sampai ke tanganku," jelas Erin, yang membuat Sardinia tersenyum kaku, namun tak berniat menggubris penjelasan perempuan itu.
"Namun tidak apa, karena sekarang aku sudah bisa melihatnya secara langsung setiap hari!" jelas Erin lagi dengan girang.
"Ano sa.."
"Sebenarnya apa yang membuatmu jadi segirang itu? Banyak bunga yang lebih indah daripada itu, dan ini hanyalah bunga dari kalangan rendahan jika diklasifikasikan. Bahkan bunga ini hampir terdapat di seluruh selokan dan danau yang ada di Sirena."
"Lagipula.."
"Bunga hanyalah bunga, kan? Apanya yang spesial dari itu?"
"..."
"Hanya bunga, katamu?"
"Ya-"
"Tidak kusangka kata-kata itu keluar dari mulut seorang seniman sepertimu," ujar Erin sambil mengepal kedua tangannya.
"Memangnya apa yang salah dengan itu?"
"Kau bertanya?!"
"Kumohon jangan bertengkar, Erin! Maaf Yang Mulia, sekarang Nona Erin sedang tidak dalam kondisi baik.." potong Sana sambil menggenggam erat kedua tangan Erin, membuatnya mendecih kasar.
Raja Sirena itu pun berdiri dari duduknya, dan berjalan mendekati Sana dan Erin dengan tatapan datarnya. "Lebih baik kau mengajarinya tata krama dengan baik terlebih dahulu sebelum bertemu denganku," ucap Sardinia pelan, yang berhasil membuat Sana bergidik. Wanita berbaju maid itu pun dengan cepat langsung menunduk di hadapan Sardinia, "aku minta maaf, Yang Mulia. Akan kupastikan ini tak akan terulang-"
"Apa yang membuatmu sampai setakut itu dengan orang sepertinya, sih?" sarkas Erin yang jelas-jelas sangat diketahui jawabannya. Sardinia yang mendengar itu pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah Erin dengan tatapan sinis, "sungguh, sebaiknya kau melakukan sesuatu dengan sifat tidak sopanmu itu, atau aku akan benar-benar mengembalikanmu ke Lama dan membiarkanmu menikmati hukuman seumur hidupmu."
Kata kata Raja Sirena itu berhasil membuat perempuan bersurai kuning itu meneguk ludah, sebelum ia membatin karena kesal. "Orang ini.. beraninya dia mengancamku."
"Tapi.. Ia terlihat agak.. Kesal?" batin Erin lagi.
"Yah, tapi apapun itu."
"Aku juga tidak berniat untuk menikahi seorang jelmaan setan sepertimu," ujar Erin sambil memalingkan wajahnya dari Sardinia. Surai baby pink itu sendiri terlihat sedikit kaget, lalu mengernyit ke arah Erin.
"Apa? Yang kau katakan tadi?" tanyanya, namun Erin lebih memilih untuk tetap diam dan masih memalingkan wajahnya. Sardinia yang melihat itu pun menjadi tambah kesal. Ia menghela nafasnya, lalu salah satu tangannya bergerak untuk menopang dagu sang perempuan dan menariknya dengan kasar, sehingga wajahnya kini berhadapan langsung dengan wajah sang Raja Sirena tersebut.
"Aku tanya.."
"Apa yang kau katakan barusan?" tanya Sardinia dengan penekanan di setiap katanya. Erin yang terpaksa menatap wajah Sardinia pun sedikit merinding, ditambah intonasinya yang sepertinya tidak sedang bercanda. Namun tidak ada alasan bagi Erin untuk mundur lagi sekarang.
"Aku bilang.." Erin pun menepis kasar tangan Sardinia dari dagunya, "aku sama sekali tidak berniat untuk menikahi seseorang yang sama sekali tak punya rasa memiliki sepertimu!"
"... Huh?"
"Tidak punya rasa memiliki, katamu?"
"Erin, sudahlah! Maaf Yang Mulia, kami izin pamit. Erin, ikut aku, sekarang." Sana pun menunduk hormat pada Sardinia dengan gesit, sebelum ia menarik paksa tangan Erin, yang mau tidak mau Erin turuti karena sudah lelah berdebat.
Kenyataannya sih agak takut juga, ya.
"Cih..."
-: ✧ :-
"Tunggu disini saja, pelayan lain yang akan membawa makananmu kesini."
"Maaf Sana, karena aku kau jadi.."
"Tidak apa-apa. Berkat kebaikan hati Yang Mulia, saya tidak mendapat hukuman yang signifikan."
"Dan anda juga tidak akan dikembalikan ke Lama, setidaknya untuk sekarang."
Erin menundukkan kepalanya, melihat ke arah teh yang sedari tadi ia pegang, namun tak diteguknya sedikitpun. "Sana, apa menurutmu aku berlebihan?" tanya Erin samar. Sana yang mendengar itu pun menoleh ke arah Erin, "kurasa tidak ada salahnya membela diri, tetapi mungkin bahasamu agak terlalu sarkas.. ee.. maksudku.."
"Aku mengerti."
"Hnn.. Tapi aku kaget dengan tatapan Yang Mulia kepadamu. Dari sekian banyak calon yang menginjakkan kaki disini, tidak ada seorangpun yang berhasil membuat Yang Mulia sampai semarah itu."
"Eh-? Dia tidak pernah marah?"
"Entahlah, tetapi kalau marah juga ekspresinya tidak terlihat. Jadi aku juga ikut berpikir mengenai seberapa jauh kata-katamu itu menusuk jiwanya," ujar Sana panjang lebar, membuat Erin menghela nafasnya.
"Hnn.."
-: ✧ :-
"Ini teh untuk anda, Yang Mulia."
Surai maroon itu meletakkan secangkir teh beserta kendinya. Lalu ia pun menunduk hormat, dan langsung pergi dari sana.
"Haahh.."
Helaan nafas keluar dari mulut laki-laki bersurai pink itu, lalu membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegap. "Ne, Shinkai."
"Apa aku.." Sardinia meraih cangkir di depannya dengan salah satu tangan, lalu meniupnya dengan perlahan. "Apa aku.. Tidak punya rasa memiliki?" tanyanya pelan.
"Menurut saya, anda memilikinya. Namun, saya rasa kata-kata yang tadi anda lontarkan pada gadis itu sedikit tidak pantas, mengingat langkanya populasi bunga dan tumbuhan yang ada di Lama."
"Begitu, ya.."
Surai baby pink itu menghela nafasnya lagi. Ia menaruh cangkir yang tadi ia pegang, lalu kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi, sambil meletakkan salah satu lengannya ke atas dahinya.
"Aku.."
"aku sama sekali tidak berniat untuk menikahi seseorang yang sama sekali tak punya rasa memiliki sepertimu!"
"Sshh.."
"Tidak kusangka Yang Mulia begitu memikirkan perkataan Putri Lama itu," celetuk Shinkai. Sardinia yang mendengar itu hanya memalingkan wajahnya ke arah berlawanan, dan memilih untuk mengabaikan kata-kata dari lelaki surai hijau tersebut.
"Siapa juga yang peduli dengan bocah keras kepala sepertinya."
"Begitukah? Entah mengapa aku lebih merasakan suatu ketertarikan dari yang mulia padanya," tanya Shinkai langsung. "Hah? Tidak mungkin. Shinkai, aku selalu percaya padamu. Jadi kumohon untuk tidak mulai mengada-ngada sekarang," tentangnya langsung, membuat laki-laki disebelahnya menatap datar dirinya.
"Baiklah, yang mulia."
To be continued..
Halo! Setelah sekian purnama yha~
Gatau, hiraukan typo typo gaje di atas yah, dan juga jangan hujad cerita gaje ini. y
Kayaknya mulai sekarang aku bakal buat Shinkai sama Sardinia tidak terlalu kalem (khususnya Shinkai) seperti cerita aselinya yah, tapi enggak barbar juga /hlh
Oh, janlup pencet star yang ada dibawah ya ged, lup lup buat readers-tachii!!
Okeh sekian aja, babai minna~
See u on the next chap!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro