Derek memacu kudanya ke dalam hutan. Mengikuti jalur yang dilalui oleh patung shabti. Patung lilin sihir yang ia gunakan untuk mengisi perannya sebagai Silas, sementara ia menyamar sebagai Derek.
Patung itu walau memiliki kehendak bebas. Ia masih membagi pikirannya dengan Derek. Sejauh ini, beberapa kelinci dan rubah yang disediakan oleh kekaisaran sudah Derek bunuh selama perjalanan.
Lalu, munculah hal yang ia tunggu-tunggu. Sebuah anak panah menerjang shabti. Patung itu menghindar dengan gesit. Memacu kudanya untuk berlari.
Semilir angin bergerak dari balik telinganya, anak panah kembali melayang dan menancap batang pohon di depan. Tepat saat itu terjadi, kuda yang ia tunggangi tersandung oleh tali kasat mata. Membuat shabti terlempar dari atas pelana.
Kuda yang ketakutan itu pun jatuh dengan kedua kaki depan terluka. Shabti menarik pedang dari sarung pedangnya. Dari balik semak-semak, muncul beberapa orang berpakaian ninja.
"Yang Mulia," ujar salah seorang dari mereka. "Kami ingin berbicara sebentar."
"Berbicaralah di neraka." Patung shabti itu mewarisi kepandaian seni berpedang Silas sebagai swordmaster.
Dia melesat bagai kilat. Sedetik kemudian, orang-orang itu sudah terkapar tidak bernyawa. Shabti tidak repot-repot membersihkan wajahnya yang ternoda darah.
"Aku tahu kau di sana," ujar shabti pada seseorang dibalik bayangan pohon. Wajah di bawah tudung itu tersenyum samar lalu melangkah keluar dari tempat persembunyiannya.
"Bagaimana kabarmu Silas? Apakah perburuannya menarik?"
Shabti itu tidak menjawab. Dia menatap dingin pada orang tersebut. Angin berembus di sekitar mereka.
"Kami tidak akan berhenti, Silas." Dia berucap dingin. "Kau tidak akan duduk lebih lama di singgasana. Tahta itu bukan milikmu."
"Kalau kau ingin kursi. Akan kukirim ke rumahmu."
Pria dibalik tudung itu tertawa parau. "Aku senang kau perhatian padaku. Sayang, aku ingin berbicara lebih banyak denganmu. Tampaknya seseorang mendekat."
Sebuah ledakan asap menutupi jarak pandang shabti. Saat asap itu menghilang pria misterius dan jasad yang sebelumnya tergeletak. Kini menghilang tanpa jejak.
...
Perburuan pertama selesai menjelang tengah hari. Hasilnya akan di umumkan saat malam. Para pesuruh sibuk mengumpulkan hewan-hewan mati di penjuru hutan.
Leana menunggu cemas kedatangan Derek. Dia harus segera kembali ke tenda saat matahari tepat di atas kepala.
Lalu, dilihatnya Derek yang melambai dari atas kuda hitam. Pria itu melompat turun dan berjalan menghampiri Leana.
"Bagaimana?" tanya Leana penasaran.
"Aku lapar."
"Bukan itu, Kaisar," bisik Leana sambil melirik sekitar.
"Oh, dia baik-baik saja. Aku melindunginya diam-diam."
"Orang-orang Ganjaa pasti ada di sini dan mengawasi," ujar Leana mengeluarkan pendapat.
"Kurasa iya."
"Jad, mengapa mereka ingin membunuh Kaisar?"
Derek berkedip mendengar pertanyaan tersebut. "Kau tidak tahu?"
Leana menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi, bukankah menjadi kaisar akan membuatmu tidak disukai oleh orang lain?"
Derek terdiam sejenak. Lalu menatap sesuatu dibalik punggung Leana. Dante ada di sana, tanpa pakaian ninjanya. Berdiri berbaur bersama para kesatria kekaisaran. Dia mengganguk pada Derek dan berjalan pergi.
"Kau bisa berdansa?"
"Aku tidak mau berdansa. Kau belum memberiku upah soal rangkuman kemarin."
"Oh, akan kuberi."
"Baiklah, aku akan kembali ke tempatku. Kau jaga kaisar baik-baik. Kurasa, kita bisa menjadi sekutu. Aku tahu, dia tidak mengenalku dan mungkin dia mengenalmu. Setelah aku merenung, aku tetap tidak bisa membiarkannya menghadapi kematian begitu saja. Aku ingin memikirkan diriku sendiri. Tapi percuma. Aku rasa, aku akan memikirkan keduanya."
Leana melambai pergi. Membiarkan Derek mematung di tempat.
...
Sore itu, tumpukan api unggun mulai dinyalakan di tengah-tengah lapangan. Aroma makan malam mengudara di sekeliling. Hewan-hewan buruan sudah ditimbang dan dihitung untuk hari pertama.
Leana masih di tenda. Clara sama sekali belum kembali sejak pagi tadi. Dia menunggu cemas. Leana ingin keluar berjalan-jalan sebentar. Namun, dia takut bila ia melakukan itu. Clara bisa kembali sewaktu-waktu.
Leana berjalan keluar dari tenda. Ia berjalan ke arah parkiran kereta kuda. Mencari-cari kereta dari kuil suci. Senyum di wajahnya mengembang saat melihat tukang kuda yang menjaga kuda mereka.
"Em, halo." Leana menyapa. "Apa kau tahu, kapan Nona Saintess akan kembali?"
"Oh, ya. Entahlah, kusir hanya bilang. Dia tidak akan kembali ke sini malam ini. Kupikir, mereka akan kembali besok."
Mulut Leana terbuka, cukup lebar hingga lalat bisa masuk ke dalamnya. Dia merasa kesal, karena Clara membohongi dirinya. Leana menduga, Clara melakukan perjalanan di luar jadwal tugas Saintess.
Di depan api unggun. Nama Derek disebut sebagai juara utama. Namun, pria itu tidak terlihat di mana-mana. Tidak ada seorang pun pendaftar yang cukup mengenalnya. Hadiah pun terpaksa ditunda dan disimpan sampai orangnya mengklaimnya sendiri.
Wajah Leana memerah semu. Dia bisa melihat beberapa orang sedang berkecan di sekitar hutan. Dan sepertinya itu hal biasa yang terjadi saat perburuan.
Leana mengambil makan malam dengan cepat. Dia akan memakan semuanya ke dalam tenda tanpa harus melihat pemandangan itu. Sialnya, dia terlalu ceroboh untuk menghindari seseorang.
Piring makanan tersebut tumpah mengotori gaun sutra berwarna merah jambu. Decakan kekesalan empunya membuat aliran darah Leana seperti tersendat.
Mata biru dan rambut merah jambu yang serasi dengan gaunnya. Hidung mungil dan bibir kecil yang manis.
"I- Isabel?" seru Leana tanpa sadar.
"Kau seharusnya minta maaf. Dan, apa itu? Beraninya kau memanggil Nona dengan nama panggilannya?" Yang berkata adalah pelayan sang Ducches.
Wajah Leana memucat. Dia buru-buru minta maaf dan memohon ampun.
"Ya ampun, gaunku. Apa kau pikir, hanya dengan maaf semuanya akan selesai? Lalu, apa gunanya hukum dan keadilan di negeri ini, jika semuanya selesai dengan kata maaf?"
Leana menunduk takut. Dia panik, terlalu takut untuk mengangkat wajah. Isabel yang ia kenal adalah gadis baik yang murah hati. Mungkin, itulah yang ia yakini.
"Saya mohon maaf Ducches. Jika ada yang bisa saya lakukan untuk menembus kesalahan saya," ujar Leana dengan jari-jari saling bertaut.
"Aku tidak tahu, siapa majikan yang kau layani. Tapi, ikut aku."
Leana menurut, dia mengikuti Isabel dari belakang tanpa suara. Derek yang melihat itu dari jauh menatap waspada pada mereka.
Isabel, membawa Leana ke sebuah aliran sungai kecil. Di sana, ada sebuah meja penuh makanan dan lilin yang menyala terang. Beberapa wanita bangsawan sedang duduk di sebuah tikar sambil tertawa cekikikan. Tawa itu lenyap, begitu Isabel mendekat.
"Oh, Dewa. Isabel, ada apa dengan gaunmu?" seru seorang dari mereka.
"Seorang pelayan membuatnya kotor. Aku ingin tahu, apa dia pelayan kalian?"
Wanita-wanita itu saling menatap dan menggeleng.
"Seingatku, dia pelayan Saintess. Aku melihat mereka tadi pagi." Seseorang akhirnya mengingat sesuatu.
"Ah, begitu?" timpal yang lain. "Dia tidak terlihat lagi setelah berkat dilakukan. Kudengar, dia menjadi kandidat kuat untuk merebut hati Kaisar."
Tangan Isabel terkepal kuat. "Pelayan Saintess?" Isabel menoleh menatap Leana. "Ya, bagaimana pun. Orang seperti kalian harus diberi hukuman. Maria, ambil anggur itu."
Maria, pelayan Isabel itu pergi ke meja dan mengambil sebotol wine. Dia menyerahkan benda itu kepada Leana.
"Minum sampai habis."
"Eh?"
"Tunggu, Isabel. Dia tidak bisa meminumnya seperti itu," seru para bangsawan. Isabel tidak peduli, dia tetap menatap Leana dan menuntut gadis itu untuk mengambilnya.
Leana bimbang. Dia belum pernah minum alkohol. Toh, satu botol tidak apa. Dia yakin, ini akan menjadi pengalaman pertama. Hukumannya mudah, Leana hanya perlu meminumnya.
Maka, diambilnya botol itu dari tangan Isabel. Meneguk rakus aliran cairan merah pekat. Rasanya manis dan pahit di saat yang bersamaan. Tenggorokan Leana serasa terbakar. Namun, dia tidak berhenti sampai di situ. Begitu tetes terakhir tandas dari mulut botol. Leana tampak sempoyongan.
"Isabel! Dia mabuk."
Isabel masih tidak menggubris seruan teman-temannya. Leana berusaha menjaga keseimbangannya. Pandanganya mulai mengabur. Dia melihat wujud Isabel menjadi dua. Lalu menjadi tiga dan lima.
"Pergilah." Isabel membuang wajah. Tidak lagi peduli pada Leana. Tetapi, teman-temannya menatap Isabel dengan cemas. Sambil berjalan gontai, Leana pergi meninggalkan mereka.
"Oh, Isabel," ujar putri Baron. "Pelayan itu akan menggoda para pria yang lewat. Dia tidak tahu, anggur itu dibuat untuk merangsang birahi. Kau membuang satu botol percuma."
"Jangan berisik. Aku masih punya stoknya."
Sementara para wanita bangsawan itu berdebat. Leana merasa bahwa tubuhnya kepanasan. Dia mulai membuka pakaian luarnya. Menatap aliran sungai yang terasa menyegarkan.
Suara musik dan tari-tarian terdengar tidak jauh dari rimbunya semak-semak belukar. Leana tidak tahan, seluruh pakaiannya telah dilepas. Bahkan bra yang menahan payudaranya pun lenyap. Leana merentangkan tangan dengan lebar. Lalu menjatuhkan diri ke dalam air sungai yang dingin.
Di dalam air, kelopak mata Leana terasa berat. Dia ingin tidur. Sayang, seseorang menepuk wajahnya di dalam air. Leana memaksa kedua matanya tetap terbuka.
Sepasang mata biru menatapnya cemas. Dia melingkarkan tangan di pinggul Leana dan menariknya ke permukaan.
"Dasar gila! Kenapa kau tidak melawan mereka? Kau begitu berani di depanku. Apa yang kau lakukan, Leana?"
Leana hanya cegukan. Kedua tangannya menangkup pipi Derek. "Pangeran Duyungnya tampan."
Leana mengecup bibir Derek dengan tipis. Lalu cegukan sambil tertawa. Tangannya menyentuh kening Derek, kelopak mata, hidung, dan dagunya.
"Dasar tampan. Apa kau ini nyata?" Leana bergumam tidak jelas. "Sayang, aku sudah jatuh cinta pada Silas. Dia—"
Kata-kata Leana dibungkam oleh bibir Derek yang menyapu bibirnya. "Bibirmu sangat menggoda."
Leana menelan ludah. Dia seperti tersadar sesuatu. Lalu linglung. Derek mulai mengulum bibir Leana dan mengigit bibir bawahnya. Desahan Leana semakin memancing birahi Derek untuk lebih menyentuhnya.
Alam bawah sadar Leana menangkap mulut Derek yang sejuk, tegas, lembut dan menggoda dengan lidahnya yang menjelajahi mulutnya.
Napas keduanya mulai memburu. Leana mulai melingkarkan lengannya di leher Derek dan menariknya lebih dekat. Lidah Derek mendesak mulut Leana dengan desakan yang panjang.
Leana tanpa sadar, menyerahkan dirinya kepada Derek. Mereka bercinta dengan bibir dan lidah masing-masing. Payudara Leana yang naik turun dengan resah. Direspon oleh tangan Derek yang bebas.
Belaian tangan Derek di payudara Leana terasa lembut dan berani. Ia menangkupnya, memijat secara memutar dan meremasnya.
Kaki Derek yang di dalam air bergerak lincah membawa mereka ke area dangkal hingga air hanya sepinggang. Ibu jari Derek terus menerus membelai puncak payudara Leana.
Ia mengangkat tubuh Leana lebih tinggi. Puncak payudara itu mengeras dan Derek ingin merasakannya. Ciumannya mulai menurun dari bibir, dagu, leher, dada dan puncak payudara Leana.
Leana mendesah sambil meremas rambut Derek. Lidah itu menyapu dan mengulum payudara Leana dengan lembut. Mengisapnya seperti harimau lapar. Melepaskannya dan meninggalkan tanda-tanda kepemilikan.
Derek sadar, jika dia berbuat jauh sampai di pangkal paha Leana, dia tidak akan bisa berhenti. Mereka akan bercinta sepanjang malam di pinggir sungai. Ia lalu membaringkan Leana yang setengah sadar. Mengambil mantel luarnya dan menyelimuti Leana. Kemudian membopongnya pergi.
_//__/___/___
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro