Chapter 10
Leana tidak berkutik. Silas telah mendatangkan pelayan dari istana untuk mendadaninya. Bahkan dua kesatria berjaga di depan tenda dan tidak mengizinkan siapa pun mendekat.
Leana tahu, dia seharusnya bahagia karena bisa dekat dengan Silas. Namun, ini salah. Kedekatannya dengan Silas bisa jadi malapetaka. Lagipula, mengapa Silas harus tertarik pada orang asing yang ia temui pagi-pagi?
Derek. Benar, Leana memikirkan Derek. Dia harus meminta bantuan Derek agar bebas dari Silas. Leana melirik cemas ke pintu tenda. Sulit keluar tanpa dicegat. Gaun hijau berlapis renda membuat Leana tidak nyaman, ditambah korset yang mencekik pinggulnya. Leana menarik napas. Dia berusaha bersabar sampai Silas kembali di tengah hari.
…
Perburuan hari kedua sedikit berubah. Semangat para peserta menurun. Sebagian besar masih penasaran dengan pelayan yang dibawa Silas ke tenda. Putri-putri bangsawan juga berkumpul dengan rasa ingin tahu yang besar. Mereka semua butuh konfirmasi Silas.
Isabel menyuruh Maria untuk memata-matai tenda tersebut. Tidak sekalipun, ada kesatria yang beranjak pergi. Bahkan orang lain yang masuk ke dalam sana. Maria terus menunggu sampai akhirnya ia merasa bosan dan pergi menemui Isabel.
"Apa yang kau dapat?" bisik Isabel sambil mengipas dirinya yang kepanasan. Para tamu bangsawan di sediakan tempat berteduh untuk menunggu kembalinya para pemburu.
"Tidak ada, Nona. Tempat itu dijaga ketat. Tidak ada orang yang keluar masuk."
Isabel berdecak kesal. Dia tidak terima, seharusnya yang membuat Silas terpukau adalah dirinya. Isabel sendiri sudah merencanakan pertemuan tidak sengaja agar Silas bisa tertarik dengannya. Sayangnya, sebelum rencana itu berhasil dilakukan. Seseorang sudah mencuri garis start.
Terompet dibunyikan, para pemburu mulai kembali. Wanita-wanita bangsawan mulai menghampiri kekasihnya masing-masing. Isabel berdiri berusaha menghampiri Silas secepat mungkin.
Ia baru saja ingin memberi salam, namun Dante sudah menghalanginya dari Silas. Dante ingat jelas, bahwa Isabel adalah salah satu orang yang Silas perintahkan agar tidak mendekatinya. Dante tidak tahu alasannya. Akibat perbuatan tersebut, Isabel memasang wajah galak padanya.
"Aku ingin memberikan salam. Menyingkir dari hadapanku."
"Baginda tidak ingin bertemu siapa pun. Saya mohon Nona Duchess mengerti." Derek menuturkannya dengan sopan.
Silas melirik sekilas ke arah Isabel. Dia sedang sibuk melepas pakaian luarnya, memeriksa kondisi Kim, kuda hitam kesayangannya. Setelah itu, ia pergi menemui Leana.
Di dalam tenda, Leana langsung membungkuk hormat. Silas memandangnya tajam. Gaun hijau itu serasi dengan warna mata Leana. Silas mendekat, kemudian mengangkat dagu Leana dengan dua jarinya.
"Kau menunggu lama?" tanya Silas.
"Tidak Yang Mulia."
Bohong, Silas tahu. Leana sedang berbohong. Silas juga sadar, tindakan membawa Leana sudah sangat salah. Orang-orang akan menggunjingnya. Dia tidak terima kalau Raihan membawa pergi Leana dengan pakaian seksi seperti itu. Tubuh Leana hanya boleh dilihatnya, dia tidak mengizinkan laki-laki lain melihat tubuh tersebut.
"Kau adalah pelayan Saintess. Jadi—"
"Yang Mulia. Nona Saintess ingin menemui Anda."
Dante tiba-tiba muncul dari luar tenda. Ia memandang Silas dan Leana dengan ragu. Clara tampaknya mendengar gosip yang terjadi pada pelayannya. Tentu saja, Clara tidak bisa tinggal diam. Silas akhirnya mengizinkan Clara untuk masuk ke dalam tendanya. Sementara Leana tetap di sana.
Mata biru Clara menunjukkan rasa cemburu dan amarah yang tidak bisa ia sembunyikan. Pelayannya berada di tenda matahari kemaharajaan. Itu adalah suatu penghinaan.
"Baginda. Saya minta maaf atas kecerobohan pelayan saya tadi pagi." Clara menunduk penuh hormat. "Izinkan saya membawanya pulang Yang Mulia."
"Baiklah, kurasa Leana memang ingin pulang. Benarkan, Leana?"
Leana mengganguk kikuk, sedangkan Clara menatapnya heran. Dia bahkan tidak tahu siapa nama pelayannya. Namun, Silas justru mengucapkan nama pelayan tersebut di depan wajahnya.
…
Pakaian Leana sudah berganti seperti biasanya. Dia disuruh pulang oleh Clara saat mereka meninggalkan tenda Silas. Sebagai gantinya, Nyonya Miria diminta datang. Saat itu, Nyonya Miria menarik Leana sedikit menjauh dari kereta kuda.
"Demi Dewa, Leana! Apa yang terjadi? Kau menggoda Kaisar Silas?"
"Tidak!" Leana menahan diri untuk tidak menjerit keras. "Situasinya tidak seperti itu. Tapi, ya. Memang terlihat seperti itu."
Nyonya Miria mengangkat telapak tangan Leana. Cincin bermata ruby tidak ada di sana. "Aku meminta kau memakai cincin tersebut."
"Terlalu berharga untuk dipakai." Leana menarik tangannya. "Nyonya Miria. Apa yang dikatakan Tuan Raihan? Apa dia akan memecatku?"
"Kurasa lebih dari itu anakku sayang. Begini, aku sudah menyuruh kusir untuk membawamu jauh dari kuil. Tetap di sana sampai aku kembali. Kau mengerti?"
Leana menatapnya bingung. Tidak ada penjelasan. Nyonya Miria mendorong Leana masuk ke kereta kuda dan memerintahkan kusir segera pergi. Nyonya Miria menatap kepergian Leana dengan sedikit rasa lega.
"Harusnya dia memakain cincin itu. Jika seperti ini, aku harus turun tangan. Dia tidak boleh bertemu Silas lagi."
…
Leana mengamati jalanan pelosok yang tidak di kenalnya. Pepohonan dengan daun jarum-jarum tumbuh di setiap sisi. Jelas, itu bukan jalan menuju kuil. Leana tahu, Raihan memecatnya. Ini skandal dan aib bagi kuil suci. Leana tidak sanggup membayangkan tatapan para seniornya. Mereka akan merisak Leana habis-habisan. Bahkan, Leana yakin. Raihan punya hal yang jauh lebih menakutkan untuknya.
Kereta tiba-tiba bergoyang dan miring. Pintu mendadak terbuka dan seseorang menyelinap masuk begitu mudah.
"Kau ke mana?" tanya Derek dengan wajah kesal. "Ini bukan jalan kekaisaran."
"Kenapa kau baru muncul?" ujar Leana. Padahal hal yang ingin ia tanyakan. Bagaimana cara Derek bisa menyelinap ke dalam kereta kuda yang terus bergerak.
"Hei, aku sudah memintamu tinggal di tenda. Kau sendiri yang keluar dan bertemu Silas. Leana, semua orang membicarakanmu. Kau ini bagaimana sih?"
Leana tidak ingin mendengar amarah atau nasehat orang lain tentang dirinya. Dia mengabaikan Derek. Sialnya, Derek benci diabaikan. Dia menangkup pipi Leana dan memaksa wajahnya menatap Derek.
"Aku masih bicara padamu, Leana. Kenapa kau keluar dengan pakaian seksi seperti itu?"
"Lepaskan aku."
Derek tidak mau. Dia sudah menahan emosi dan gejolak itu sedari tadi. Mata Leana terbelalak. Ibu jari Derek membelai bibir Leana. Kemudian dia menunduk dan menyapukan bibirnya pada bibir Leana. Napas Leana meluncur saat mulutnya terbuka untuk memarahi Derek.
Sayangnya, yang Derek tangkap hanya bisikan lirih. Dia mendekap tubuh Leana sementara mulutnya berusaha membelai mulut Leana. Dia mengangkat tubuh Leana dan memangkunya.
Lengan Derek yang kokoh merangkul punggung Leana, membuat dada mereka saling menempel satu sama lain. Derek tidak berhenti, keintiman ini membuatnya ingin merasakan tubuh Leana lebih, lebih dan lebih.
Lidahnya mendesak mulut Leana. Menguji dan menikmati setiap sudut dengan rasanya. Dia melakukan itu berulang kali kemudian mengambil jeda bagi Leana menarik napas.
Kemudian desakan itu semakin panas. Bibir Derek membelai leher Leana sampai ke telinga. Dia menggumamkan kata-kata manis tentang tubuh Leana yang indah. Lalu mulai memberikan kecupan singkat dari mata, pipi, bibir dan dagu.
Bibir Derek tampaknya tidak lelah. Ciuman membelainya turun sampai tulang belikat Leana dan ceruk di antara payudara. Tangannya lanjut menangkup payudara Leana. Leana tersentak dengan desahan yang membuat kejantanan Derek terbangun.
Derek meremas payudara itu dengan lembut. Membelai sambil mempelajari bentuk dan aroma Leana yang khas. Derek merasakan panggilan dari puncak payudara Leana. Ibu jarinya mengusap bagian yang sudah mengeras dan menuntut perhatian dari tangan Derek.
Belaian tangan Derek berganti dengan mulutnya. Derek menghirup aroma harum yang menyebar di sana. Bibir Derek mengulum puncak payudara Leana sampai Leana mendesah panjang.
"Kau sangat basah, Leana," bisik Derek, "dan indah. Tentu saja, aku bisa melakukan lebih dari ini. Tapi, aku ingin kau merasa nyaman."
Wajah Leana memerah seperti kepiting rebus. Sentuhan Derek membuat Leana ingin lebih. Dia tidak pernah merasakan gairah yang begitu memabukkan dari seorang pria. Rambut dan pakaiannya sudah berantakan. Leana masih ingin merasakan belaian Derek. Lalu dia tersadar, Derek sudah meracuni pikirannya.
Derek membantu merapikan pakaian Leana dan membenahi rambutnya dengan sebuah sisir kecil berhiasan mutiara.
"Kau punya benda ini?" tanya Leana saat Derek menyisir rambutnya. "Ya, punya ibuku. Aku selalu membawanya. Membuatku merasa dekat dengannya. Nah, kau sudah rapi sekarang."
Leana menatap benda itu saat Derek menyimpannya lagi di saku celana. Kemudian mengintip keluar jendela. Kereta mereka mulai memasuki sebuah pemukiman kecil.
"Aku harus pergi. Tampaknya aku tahu, kau akan tinggal di mana."
"Memangnya di mana?"
"Desa Miria. Kebun anggur kekaisaran. Kau tidak pernah ke sini?"
Leana menggeleng. Desa itu memiliki nama seperti kepala pelayan kuil. Derek bersiap untuk kembali melompat dari kereta yang bergerak.
"Tunggu!" Tangan Leana menahan lengan Derek. "Kau akan pergi sekarang?"
Derek terkekeh. "Kau masih rindu padaku?"
"Aku ingin berbicara tentang Kaisar."
"Tidak. Jangan sekarang. Aku akan mampir nanti malam. Tidak perlu menungguku dengan hiasan rapi. Karena, aku akan membuatmu kembali berantakan."
Derek sudah membuka pintu kereta, sebelum ia tersadar sesuatu. "Jangan meminum anggur tanpa aku di sisimu. Kau hanya boleh liar di depanku, Leana dan hindari orang-orang yang kelewat penasaran."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro