Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Day 6

Sixth Day: Perpustakaan Menyirat Mitos

Warn content: absurd dan nista, tidak logis jadi dimohon maklum karena isi plotnya berdasarkan prompt dan berisi humor juga tanpa riset sekaligus

Tak terasa hari keenam pun tengah berjalan. Sudah memasuki minggu kedua tur. Tinggal sehari lagi akan selesai. Tugas-tugas tur pun ada yang tengah dan selesai kukerjakan.

Tugas kemarin memang absurd. Siapa sangkan helikopter kepala sekolah akan tiba secepat itu? Ternyata kepala sekolah memang terburu-buru ke sekolah untuk rapat lalu kembali menggunakan helikopter untuk pergi ke dinas pendidikan. Bukan suatu kebetulan. Sepertinya Zena sudah memprediksi. Tidak mungkin ia memberikan tugas sulit tanpa alasan. Sulit jika kepala sekolah tidak datang, tapi mudah kalau sebaliknya.

Tinggal tugas tur hari ini dan besok serta ketika tur di kandang merpati. Tugas tur lusa kemarin membuatku mesti menuliskan sebuah surat. Tidak ada keterangan pasti mesti membikin surat cinta atau yang lain, hanya surat itu saja. Ini yang membuatku dilema. Bukan, bukan karena bingung menuangkan kata tuk orang yang dicinta. Justru karena aku tak punya orang yang kusuka itu masalahnya. Akan tetapi, Semi-san sendiri tidak mencantumkan objeknya secara khusus. Berarti bebas aku menuliskannya kepada siapa, bukan?

"Kau yakin makan sambil mengerjakan tugas sekarang?" Kawanishi menceletuk, memperhatikan aku yang tengah fokus menuntaskan tugas pelajaran Matematika yang akan diserahkan setelah istirahat nanti.

Kini, aku, Shirabu juga Kawanishi seperti biasa, makan siang bersama ketika istirahat. Keadaan kantin sedang riuh. Untungnya kami berhasil mendapatkan meja segera mungkin meski sempat berdesakan.

Aku mendelik diiringi mulut yang masih mengunyah. "Aku lupa tugas matematika minggu kemarin. Tahu sendiri 'kan, Takeda-sensei kalau menyangkut tugas itu sangat tegas."

"Takeda-sensei tidak lembek pada tugas, apalagi pada murid yang nilainya di bawah rata-rata."

"Tapi, saatnya makan ya, makan, bukannya mengerjakan tugas."

"Sedikit lagi. Habis itu aku akan makan dengan tenang, deh. Ya, ya?"

Shirabu mengangkat bahu, tanda tak peduli lagi. Kawanishi mendengus geli memperhatikan aku dan Shirabu.

Aku mendengkus. "Kenapa seolah aku jadi anak kecil di hadapan kalian, sih? Padahal otakku lebih cemerlang."

"Aku anggap itu pujian secara tersirat. Terima kasih, tapi itu berarti kau tidak cemerlang dalam segala hal, Nona," tukas Shirabu lalu menyereput segelas air.

Mataku memutar kesal lalu menaruh pandang yang sama terhadap lelaki berponi miring. "Aku akui memang kurang pandai berolahraga. Meski begitu aku menguasai tenis dan atletik, tahu!"

Kawanishi merespons ucapanku. "Kenapa tidak ikut klub atletik atau tenis? Kau belum bergabung ke klub mana pun, 'kan?"

Dagu pun kupangku dengan kedua tangan. "Soal itu aku masih berpikir. Belum pasti juga, sih. Omong-omong, ada apa dengan Semi-san, ya?"

"Semi-san? Memang kenapa dia?" Kawanishi lalu memasukkan sesuap nasi kare ke mulutnya.

Aku sempat memerhatikannya sejenak sebelum menghela napas terlebih dulu. "Sepertinya dia tidak akan bermain di turnamen musim dingin nanti."

Ada jeda kosong yang timbul. Aku tak sempat memerhatikan roman muka kedua teman kelasku ini.

Pita suara Kawanishi angkat bicara. "Iya? Belum pasti juga. Bisa saja dia dimainkan."

"Meski sebagai cadangan sekalipun," lanjut Shirabu sebagai penutup.

Firasat burukku pun kembali benar.

Mulutku membuka, mengeluarkan decak kekaguman yang tak berhenti menutup. Tak kusangka ada perpustakaan selain perpustakaan nasional yang dapat membuatku takjub. Apa lagi jika bukan perpustakaan milik PAW?

Perpustakaan ini benar-benar besar. Meski memang bukan milik dari SMA PAW sendiri, perpustakaan ini umum digunakan oleh siswa PAW. Memang aslinya milik yayasan, jadi sah-sah saja jika sekolah-sekolah yayasan PAW juga memakainya.

Setiap tingkatan sekolah memiliki perpustakaan, tetapi tak sedikit juga siswa berkunjung ke perpustakaan utama. Alasannya, lebih lengkap. Ketimbang perpustakaan sekolah, perpustakaan yang memiliki gedung tersendiri ini besarnya bisa tiga puluh kali lipat. Setara dengan perputakaan nasional mungkin, atau bisa saja lebih besar dari itu. Baru kuketahui juga bahwa perpustakaan ini termasuk perpustakaan terbaik di Jepang.

Aku tidak menyesal masuk PAW. Banyak fasilitas dan kualitas yang bagus di sini. Terutama bagiku, yang suka mencari ilmu pengetahuan, SMA PAW memang tempat yang cocok. Meski yang berada di dalamnya tidak semua normal, aku tetap menyukai sekolah ini.

"Bagus, 'kan?" celetuk Semi-san yang juga muncul di hadapanku.

Aku mengangguk mantap. "Banget. Terima kasih, Semi-san."

Dapati alis Semi-san menukik. Aku mengerti maksudnya. "Buat apa beterimakasih padaku? Memang sudah seharusnya tugasku ini, toh? Kutunjukkan ruangan yang dimaksud, cepat."

"Haik, Semi-san!"

Ruangan yang dimaksud Semi-san sudah kutapaki dari dua menit yang lalu. Ruangan ini berbentuk bulat dengan atap transparan yang menampakkan sinar matahari. Permukaan lantai serta rak-rak yang memenuhi dinding sepenuhnya terbuat dari kayu dengan warna murni cokelat tua. Tak perlu diyakini seperti apapun, bagiku ini adalah tempat terbaik untuk belajar. Siapa yang bisa menolak tempat sunyi nan tenang seperti ini?

"Tempat enak seperti ini punya keanehan? Okelah, jika itu keajaiban, sangat mendukung. Namun, kalau keanehan...? Aku tahu pasti setelah tur selama berhari-hari ini, setiap tempat ada keanehannya."

"Tidak salah, sih," desis Semi gemas, mungkin karena tebakanku benar. "Hanya sebuah mitos kecil. Semua barang di sini bisa dibilang keramat. Jangan pernah mengacaukan barang-barang di sini seinci pun."

"Apa masalahnya?"

"Katanya, ruang perpus ini dibuat oleh alumni angkatan pertama. Katanya lagi, orang yang dimaksud dikabarkan begitu mencintai segala macam buku, sehingga terbentuklah ruangan ini. Dan terakhir, saking cintanya dengan buku-buku serta tempat ini, ia melakukan ritual dengan darah merpati seraya bersumpah jikalau ada yang mengacaukan ruangan ini, niscaya orang terkait akan diteror terus-menerus."

Aku membuka mulut, ingin bicara.

"Jangan tanya bagaimana bentuk terornya. Aku tidak tahu. Omong-omong, tugasmu kali ini hanya membuat laporan saja. Kalau begitu sudah ya, aku ingin pergi buat latihan." Lantas, Semi-san berbalik sambil melambaikan tangan padaku.

Rasa penasaranku tentang tempat ini usai karena melihat ekspresi pilu yang berusaha ia samarkan padaku.

Sebelum mendapatkan informasi valid terkait, aku sempat berfirasat.

Lusa lalu, hari sebelum kemarin.

Ada suatu firasat buruk yang menerjang relungku. Begitu dalam hingga merasa sesak baik di sukma pula raga. Sesaknya membuatku tidak berhenti berbenak, memperkirakan spekulasi yang akan terjadi begitu pula dampaknya. Sampai-sampai tugas sekolahku ada yang keteteran. Contohnya, tugas matematika yang kukerjakan saat istirahat makan siang tadi.

Menyebalkan mempunyai firasat yang terbukti 99,9% benar. Meski tidak sampai seratus, tetap saja angka segitu mendekati nominal yang sempurna.

Apa yang mesti kulakukan untuk mencegah hal tersebut?

Rasanya tidak mungkin. Tidak ada kejadian yang dapat dicegah. Apakah aku harus memikirkan solusi setelahnya?

Namun, bagaimana mungkin? Hal yang akan terjadi saja tidak kuketahui pasti.

Walaupun setelahnya kusudah tahu, tapi tidak ada tindakan berarti dariku ini.

Rasanya seperti percuma saja. Tidak ada yang berubah.

Aku payah sekali.

Boleh saja kuyakini jika firasatku ini salah, tetapi selaput pendengaranku tidak mungkin salah.

"Semi, mohon maaf sekali, dengan pertimbangan yang sudah dipikir matang-matang, pelatih dan Pelatih Wasijou tidak memasukanmu ke dalam pemain inti."

"Pelatih?"

"Dengan cederamu yang masih belum sembuh total, kami tidak ingin mengambil risiko. Terutama pada kondisimu dan kemenangan tim. Aku tahu, ini adalah tahun terakhirmu di SMA, tapi mohon maaf sekali lagi, kau tidak bisa bermain."

Semi menunduk, menerawang sendu. "Apa tidak ada kesempatan bagiku?"

"Sayangnya, sama sekali tidak ada."

Kubalikan badan karena tak sanggup menyaksikan tatapan kecewa dari netra abu-abu itu.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro