Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Day 4

Fourth Day: Merpanti Cinta SMA PAW

Warn content: absurd dan nista, tidak logis jadi dimohon maklum karena isi plotnya berdasarkan prompt dan berisi humor juga tanpa riset sekaligus.

HMM....

Yang kulihat kemarin itu ternyata benar. Bukan kebohongan semata apalagi tipu daya. Sungguh benaran nyata!

Lele-lele yang menjadi tugasku untuk mengambil satu kumis di setiap ekornya menunjukkan kelihaian nan nyata. Tak main-main, bahkan kuakui pertunjukkan mereka sangat apik. Seperti hewan di sirkus mungkin? Namun, tak kusangka di sekolah ini ada yang dapat menjinakkan, bahkan memerintah lele-lele tersebut.

Pantas, menurut Semi-san bilang, tempat itu menjadi tempat favorit seantero SMA PAW setelah Merpanti Cinta. Atraksi yang ditujukkan bukan main-main. Lele-lele itu melompat sana sini, membentuk barisan rapi ala-ala tim paskibra lalu membentuk formasi.

Tidak masuk akal sehat memang. Namun, apakah sebuah kenyataan mesti disambungkan dengan logika?

Harusnya sih, iya.

Namun, aku tak mengerti lagi dengan kondisi sekolah ini.

Dibanding disebut keajaiban mungkin dapat dibilang keanehan. Sekilas terlintas keraguan alasan aku memilih sekolah ini. Segera kutepis tentunya. Title elite jua bergengsi memang pantas disanding PAW. Prestasi banyak tertuai di sekolah ini, fasilitasnya pun jua tak kalah hebat, kualitas guru serta para staf pantas disebut profesional. Hanya karena keanehan-keanehan yang belum dapat kuterima, bukan berarti aku mesti ragu.

Aku mesti mengejar dan terus mencetak prestasi di sini! Pasti! Akan kududuki peringkat pertama di paralel nanti.

Iya, sudah kukatakan 'kan, bahwa aku ini ambisius? Segalanya akan kutapaki jika itu merupakan proses menuju puncak.

Termasuk tur tujuh keajaiban ini.

Akan kuselesaikan semuanya dengan tuntas, bahkan kalau perlu sempurna.

Dengan tekad saja pun tak cukup. Mesti dibuktikan dengan usaha juga doa.

Sebagai salah satu cara menuju proses tersebut, kini aku berdiri di depan kelas 3-1. Tentu familier karena kelas ini adalah kelas pemanduku selama seminggu ini.

Ketika aku ke sini, beruntunglah karena Semi-san sedang berada di kelas bersama teman-temannya. Semi-san awalnya bingung karena kupanggil dia melalui isyarat. Setelah pertimbangan sebentar, ia pun mengunjungi yang berdiri di pintu belakang kelasnya.

"Ada apa?"

Kutarik napas sejenak. "Bisa antarkan aku ke tur selanjutnya?" sambarku tanpa basa-basi. Aku memang gila, iya. Namun, kulakukan itu semua agar cepat selesai. Tak mau aku menunggu sampai jam pulang usai.

Dahi Semi mengernyit. Awalnya mungkin dia bingung barulah dua detik kemudian menanggap, "Sekarang? Tapi, kau lagi istirahat? Kau yakin? Kakimu juga sepertinya masih belum sembuh betul."

Aku menggeleng mantap. "Kakiku sudah sembuh. Jika belum sembuh aku tidak bisa ke atas sini, Semi-san," tukasku. "Aku mohon. Aku tidak ingin membuang-buang waktu untuk melakukan tur ini. Sepulang sekolah tugasku untuk belajar. Jadi, aku mohon agar dilakukan sekarang juga seperti di hutan panda waktu itu. Kalau perlu, tuntaskan semua tempatnya hari ini juga."

Semi-san terdiam setelahnya. Dia tampak bingung bersikap. "Aku tak masalah, sih. Kau ambisius sekali. Sepulang sekolah masih banyak waktu juga, 'kan? Bukannya aku memaksa, tapi akan lebih leluasa melakukannya ketika itu." Tangannya menggaruk tengkuk. "Dan lagi, semua tempat tur tidak bisa langsung dituntaskan dalam satu hari. Dari awal peraturannya mesti tujuh hari tujuh tempat, tidak termasuk hari libur."

"T-tapi—"

"Sehabis pulang sekolah saja, ya? Kau 'kan, juga mesti menikmati waktu istirahatmu. Kutebak kau belum makan karena datang begitu awal."

"Semi-san—"

"Semua ada waktunya juga."

"Semi Eita-san!" pekikku pelan sehingga Semi-san jadi terdiam utuh. Aku mengembuskan napas. "Maaf kalau lancang. Aku sudah mengetahui beberapa tempat tur, Semi-san tinggal menunjukkan tempat selanjutnya saja. Jika Semi-san tidak mau, aku tidak masalah karena aku bisa melakukannya sendiri."

Semi-san pun menghela napas. Sepertinya lelah dengan tindakan keras kepala nan ambisiusku. "Tetap tidak boleh! Mau bagaimana lagi, tapi kali ini saja, oke? Akan kutunjukkan tempatnya."

Apa tadi ia bilang? Aku tak salah dengar? Aku tak tahu buruk atau tidak jika Semi-san ikut. Namun, sepertinya aku beruntung.

Sebaiknya aku tidak menyianyiakan hal ini.

"I-ini—"

"Ya. Sangat bagus, 'kan?" sahut Semi yang berada di sebelahku. Pandangan kami sama-sama mendongak tuk melihat sebuah kandang besar yang tak kalah indah seperti hutan—kandang—panda.

Berbeda dengan Semi-san yang sepertinya sudah terbiasa, sementara pandanganku menatap takjub. Kandang-kandang burung pada umumnya berbentuk kecil atau sebuah kotak kayu berukuran sedang. Namun, yang di hadapanku berbeda. Terdapat sebuah kandang kayu besar yang dapat dimasuki manusia. Di dalamnya terdapat kandang-kandang kecil merpati. Begitu pun bagian luarnya, meski mayoritas merpati di dalam kandang besar, ada pula beberapa merpati yang menempati kandang-kandang kecil di luar.

"Ini. Ambil ember berisi pakan merpati. Mereka akan suka jika kau memberinya makan." Semi-san pun menyerahkan sebuah ember kecil, aku menerimanya.

"Dapat dari mana?"

"Dari situ," tunjuknya, menunjuk sebuah tempat yang tak jauh dari kandang. "Makanan ini telah disediakan klub pecinta hewan bagi siapa pun yang berkunjung. Tidak bisa sembarang orang karena dibatasi. Tempat ini merupakan tempat favorit, terutama anak muda seperti kita."

"Karena dapat mengirim surat cinta itu, ya?"

"Betul sekali. Maka dari itu, pihak klub dan staf OSIS membatasi siapa pun yang berkunjung ke sini. Jika terlalu banyak kasihan merpatinya. Oh, tentunya kita telah membuat izin. Semua izin telah diurusi Zena sejak awal."

Aku memasuki kandang, melihat merpati-merpati putih di mana. Lalu mengunjungi salah satunya sambil mengelus kepala sang merpati. Tak lupa kuberikan pakan di tempat yang disediakan.

"Cantik, 'kan?"

"Ya. Sangat cantik. Cocok sekali dengan tugas mengantar surat-surat itu, terlebih surat cinta."

"Tapi, sayangnya sempat ada pergolakan di sini. Ada beberapa murid yang menentang dipeliharanya merpati-merpati ini."

Aku menatap Semi-san tidak percaya sekaligus keheranan. "Kok, bisa? Bukankah merpati-merpati ini sangat berguna?"

"Berguna memang, tapi tidak bagi semua murid beranggapan begitu. Merpati-merpati ini cukup mengganggu bagi mereka. Tidak cocok menjadi lambang para murid. Terlalu lemah katanya," tutur Semi-san. "Karena letaknya berdekatan dengan gedung utama, merpati ini juga merepotkan. Coba lihat tulisan kabur di dinding situ."

"Tulisan?" Lantas kudekatkan dinding yang dimaksud Semi-san. Tulisannya samar, seperti sudah lama lalu berusaha dihapuskan. Aku mengejanya perlahan hingga berhasil membentuk kalimat yang benar. "#SavePigeon?"

"Itu bentuk dukungan dari yang mendukung keberadaan merpati-merpati ini. Penggagasnya salah satu alumni lama, sekitar bertahun-tahun lalu, sekarang mungkin sudah bekerja dan menikah. Konon, dia sangat menyukai merpati ini hingga tidak tega jika melihat mereka dibunuh dengan sadis oleh tim kontra."

"Seperti politik, tapi objeknya merpati, ya?"

"Benar. Sampai sekarang gerakan antimerpati masih ada. Kebanyakan mereka dipimpin oleh alumni yang masih menyebarkan doktrin tersebut." Semi-san pun memulai hal yang sama, mengelus seekor merpati lalu memberinya makan. "Jika alumni sekolah lain mendoktrin juniornya dengan tawuran, maka di kita berbeda."

"Aku tidak tahu mesti menganggap itu konyol atau sebuah sejarah?"

Semi-san melirikku. "Lebih baik tidak usah dianggap. Sekarang pun gerakannya juga mulai berkurang. Meski ada, tapi tidak sesadis seperti dulu. Kabarnya, penggagas gerakan antimerpati pertama kali itu salah satu alumni yang berpengaruh ketika menjadi murid di sini. Bahkan ada yang bilang jabatannya dulu itu ketua OSIS. Kurang tahu juga, sih, tapi begitu cerita dari turun-temurun. Bersyukur aku tidak masuk kedua gerakan." Semi pun mendesah lega.

Tidak rasional sebenarnya. Namun, seru juga begitu mendengarnya. Seperti mendengar sebuah sejarah dari sekolah sendiri.

Aku jadi ingat ketika mendengar sejarah SD dan SMP-ku. Selain fakta bersebelahan dengan tempat pemakamam, yang kutangkap dari rumor juga mengatakan bahwa sekolahku dulu asalnya dari sebuah sawah, bahkan ada yang bilang bekas rumah sakit. Entah benar atau tidak, tapi yang pasti keduanya masih belum bisa dibuktikan kecuali bertanya langsung ke kepala sekolah.

Begitu mendengar tentang PAW. Rasanya aku jadi lebih antusias walau kisahnya lebih irasional ketimbang sejarah SD dan SMP-ku dulu.

Sepertinya juga berkat Semi-san yang menjabarkan dengan mudahnya.

Lain kali, aku mesti berterima kasih.[]

28/12/18
—reeshizen

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro