
Day 2
Second Day: Keajaiban Hutan Panda
Warn content: absurd dan nista, tidak logis jadi dimohon maklum karena isi plotnya berdasarkan prompt dan berisi humor juga tanpa riset sekaligus.
SUASANA pagi membuatku semangat seperti biasa. Dengan tambahan berkurang sedikit. Rasanya tubuhku lebih lelah ketimbang biasanya. Padahal aku belum mendaftar klub sudah sekolah ini. Apa karena jadwal kegiatan SMA PAW yang padat? Bisa saja, sih. Namanya sekolah bergengsi, kegiatannya tak mau kalah bergengsi juga.
Begitu sampai ke kelas, aku langsung menyandarkan dahi ke meja dengan keras. Suara merintih pun keluar dari mulutku. Salahku sendiri juga, sih. Aku benar-benar mengantuk. Kurang tidur karena mesti mengerjakan tugas lalu disusul laporan tur kemarin. Tidak kucicil laporannya, langsung kukerjakan tuntas. Pasti hari ini pun akan ada tugas lagi, aku tidak mau memakan waktu untuk mencicil tugas kemarin di hari ini.
Laporan kemarin benar-benar luar biasa. Luar biasa capek ketika dibuatnya. Minimal mesti dua lembar kertas folio. Berarti ditulis tangan? Pasti. Tidakkah kau bayangkan betapa capeknya itu? Belum lagi jangan sampai salah tulis, penggunaan kaidah bahasa yang benar dan struktur laporannya. Bukan laporan makalah, kok. Cuman sekadar laporan yang terjadi di hari itu. Seperti teks observasi saja.
Aku mendesah. Semoga saja aku tidak mendapat tugas yang berat untuk hari ini.
Yang paling menjengkelkan adalah ketika firasatmu tidak mengiakan hal itu. Malah sebaliknya. Hanya bisa pasrah saja sepertinya diriku ini.
"Kau kayak zombie berjalan. Lesu banget dari tadi. Butuh asupan?" Kawanishi mendekatiku. Salah satu teman yang baru kukenal selama seminggu ini, juga yang mengisi bangku di sampingku.
"Asupan makanan sih, iya. Aku kurang tidur kayaknya." Kepala kumiringkan, mendapati Kawanishi yang kini menatapku.
Kawanishi mencibir, "Tumben. Biasanya seorang [surname] selalu antusias ke sekolah, paling beda di antara yang lain. Pelajaran pertama pun yang paling jarang mengantuk. Pasti ada sesuatu."
"Benar, sih. Ya, bukan hal penting juga," sahutku sambil mengerucutkan bibir kesal. Bukan kesal karena Kawanishi, tapi kesal karena waktuku kemarin lumayan terbuang banyak. Jika saja Semi-san tidak mengajakku bermain ayunan selama sejam, aku pasti tidak akan kurang tidur.
Oh, waktuku yang berharga. Maafkan aku.
"T-tunggu [surname]! Jangan menangis! Aku tidak tahu apa masalahmu, tapi nanti dikira aku yang membuatmu menangis."
Kawanishi jadi menyebalkan. Siapa juga yang menangis karena dia? Aku menangisi waktuku yang terbuang sia-sia kemarin. Katakan saja aku berlebihan sampai-sampai tidak sadar telah menitikkan air mata.
"Gara-gara Kawanishi. Harus tanggung jawab, lho!" selorohku, tapi menampilkan raut yang menyedihkan, seolah-olah merupakan korban.
"Jangan bercan—"
"Kawanishi jahat!" pekikku hingga seluruh murid kelas menghadirkan pandang pada kami. Kawanishi langsung gelagapan karena linglung.
Kasihan sih, tapi aku cukup menikmati penderitaannya.
Kutinggalkan Kawanishi dan Shirabu ketika istirahat tiba. Biarkan saja mereka mencari. Toh, aku ingin makan sendiri sekarang. Biasanya jika mood-ku sedang turun, aku meningkatkan porsi makanku melebihi batas normal. Ketimbang mereka melihatku aneh, lebih baik aku makan sendiri.
Setibanya di kantin, kupesankan nasi kare, soba dingin, ayam karaage, teh lemon dan dua gelas air putih. Maklumi saja sikap keserakahanku. Mungkin ada yang bilang aku tidak peduli berat badan. Oh, tentu aku peduli. Setelah makan rakus ini aku biasanya mengurangi makanku beberapa hari ke depan dan hanya makan makanan yang dipenuhi sayur serta banyak minum air mineral. Barulah menu makanku normal kembali.
Agak kesusahan emang membawa dua nampan sekaligus. Satu nampan tidaklah cukup. Aku membawanya dengan hati-hati karena menangkup keduanya dengan tangan dan dada. Sudah pula meja di kafeteria lumayan penuh. Mau tidak mau aku mengisi meja yang paling belakang. Jangan lupakan pandangan orang-orang yang menatap aneh padaku karena membawa makanan yang banyak. Pelbagai spekulasi sepertinya memenuhi otak mereka. Aku tidak tahu yang dipikirkan, untuk kali ini aku tidak mengacuhkannya.
Dengan susah payah pun aku berhasil mendaratkan dua nampan ini dengan selamatnya. Sebelumnya nyaris saja nampan-nampan ini tumpah karena sempat bertabrakan dengan beberapa orang. Untungnya tidak fatal, ya.
Sekarang aku bingung ingin memakan yang mana. Nasi kare? Soba dingin? Atau ayam karaage? Ayolah, nafsu makanku semakin membara. Sepertinya makan ayam karaage terlebih dulu tak masalah lalu disusul nasi kare dan soba dingin sebagai penutup. Air putih di selang-selang mereka jika aku tersedak atau merasak serak. Teh lemon sebagai penyegar di akhir lalu meminum kembali air putih untuk menetralkan.
Sungguh enak untuk dinikmati bila rencana itu lancar.
Sayangnya tidak. Firasatku pun benar.
Semi-san datang tanpa diundang tiba-tiba saja menghampiriku, menyuruhku untuk ikut dengannya. Aduh, padahal lagi enak begini. Tidakkah kautahu isi hatiku, Semi-san?
"Tidak lama, kok. Hitung-hitung ketika pulang sekolah nanti tidak perlu tur lagi." Semi-san menjelaskan. Aku terdiam sebentar. Tawarannya itu cukup menarik. Pulang sekolah tidak perlu tur lagi katanya? Dengan begitu waktuku saat di rumah lumayan banyak serta dapat digunakan untuk hal-hal bermanfaat.
"Benarkah?" tanyaku memastikan. Berharap dia tidak berbohong. Aku rela mengorbankan waktu istirahatku, begitu juga dengan makananku asal kautahu itu, Semi-san.
Semi-san mengangguk mantap, meyakinkanku agar dapat ikut dengannya.
"Baiklah, tapi bagaimana dengan makananku? Aku baru memakan satu potong ayam karaage."
"Minta bungkuskan saja! Kaubisa makan ketika tur nanti."
Begitu saja hingga kami tengah berjalan bersama mencapai tempat tujuan. Tak kusangka ini tur keduaku.
"Makanmu memang banyak begini, ya? Biasanya cewek tidak akan kuat makan sebanyak itu."
"Cuman hari ini saja kok, Semi-san. Tidak sering. Kalau terus-terusan makan makanan ini nanti tidak sehat. Harus diimbangkan dengan sayur serta buah juga susu. Empat sehat lima sempurna gitu."
Semi-san tergelak. "Kau patuh pada pola hidup. Ya, aku juga sih, karena masuk klub olahraga bukan serta-merta hanya latihan dan bertanding saja. Pola hidup seperti menu makan pun mesti dijaga, bahkan pelatihku membuatkan menu khusus."
"Enak itu. Tidak perlu ribet buat mengatur menu sendiri juga," timpalku.
Kulihat, Semi-san mendengkus. "Memang enak, tapi lama-lama bosan juga mesti diatur. Pelatih kami pun lumayan gila mengatur selain itu."
Kepalaku manggut-manggut. "Kata Zena, Semi-san itu anak asrama, ya? Bagaimana rasanya tinggal di asrama?"
"Lumayan seru. Aku ditempatkan ruang yang sama dengan Tendou—lelaki yang narsistik kemarin itu—bukannya tenang, malah makin berisik. Di saat aku tidur, dia malah mengganggu. Menyebalkan, deh. Oh iya, kau itu kelas dua ya? Nanti ketika kelas tiga nanti wajib asmara."
"Wajib, ya? Kenapa mesti ketika kelas tiga?"
Semi-san mengangkat bahu. "Mungkin karena kami mesti dihadapkan dengan ujian masuk universitas. Sekolah jadi membuatkan asrama agar murid-muridnya dapat belajar dengan baik. Ada bimbel juga di setiap malamnya, tidak hanya di sekolah saja."
"Kalau ada murid yang ikut bimbel di luar, bagaimana?"
"Tetap harus asrama. Boleh saja ikut bimbel di luar, tapi mesti membuat izin. Asrama bagi kelas tiga hukumnya wajib. Ya, meski tidak hanya kelas tiga saja yang boleh asrama. Anak kelas satu dan dua pun boleh semisal jarak rumah mereka jauh."
Sistem yang bagus. Sistem asrama untuk tahun ketiga lumayan efektif. Ditambah ada bimbel khusus, sepertinya pindah ke SMA PAW bukanlah hal buruk. Bagiku yang sangat ambisius dan terobsesi pada ilmu pengetahuan, hal tersebut merupakan suatu jalan yang tak boleh dilewatkan. Sayangnya bimbel khusus hanya untuk anak kelas tiga saja.
"Omong-omong, berapa lama lagi kita sampai?"
"Sekitar sepuluh langkah lagi dan kita berbelok ke kanan, kau akan menemukan sesuatu yang menakjubkan." Tak kuindahkan Semi-san. Langkah kupercepat hingga tiba di kelokan yang dimaksud.
Serta-merta tubuhku mematung. Mataku menampakkan binar-binar terkejut karena pemandangan sebuah pagar besar yang menampilkan hutan-hutan berisi panda-panda lucu.
"Hutan ... panda? Sekolah ini punya hutan panda?"
"Punya. Sejak lama sekali. Sekitar sepuluh tahun setelah sekolah ini terbentuk baru ada hutan panda. Agak susah membuatnya terlebih panda termasuk hewan yang dilindungi. Entah dengan cara apa, pihak sekolah mendapatkan izin dari pemerintah." Semi-san berada di depanku. "Menakjubkan bukan?"
Aku menatap balik Semi-san sambil menerbitkan senyum gembira. "Banget! Tidak kusangka ada hutan seperti ini! Bolehkah aku memegang pandanya?"
Semi menjentikkan jarinya, aku terkejut. "Justru karena itu. Sebenarnya, selain staf sekolah, sekbid OSIS yang bersangkutan dan klub pecinta hewan, tidak ada yang boleh memasuki kandang itu."
Mukaku menghadirkan roman kecewa. "Sangat disayangkan."
"Jangan kecewa dulu. Kau masih bisa melihatnya langsung, kok. Meski dengan cara yang sedikit ilegal. Ini gara-gara Tendou yang menyarankan agar tugasmu juga lebih mudah," tuturnya lalu mengedipkan sebelah mata. Gestur tangannya pun seolah memberi tahuku bahwa yang akan kita lakukan itu rahasia, tidak boleh diberitahu siapa pun. "Kita lewat jalur rahasia."
Aku pastinya tercengang. "Memangnya boleh?" Jika ada jalur rahasia, apakah itu melanggar aturan?
"Tidak boleh sebenarnya, tapi ini juga demi tugasmu. Tugasmu sendiri mesti membuat makalah tentang perkembangan dan pertumbuhan panda ini. Jadi sekaligus saja."
Oh.... Aku mengangguk paham. Melanggar aturan memang, tapi jika demi tugas mau bagaimana lagi?
"Ikuti aku, tapi pelan-pelan, ya. Meski sekarang kandang sepi karena murid-murid pada istirahat, bukan berarti bisa seenaknya."
Kami pun berjalan menuju bagian belakang hutan panda. Begitu mendekati, langkah Semi-san jadi memelan dan mengendap-endap, kuikuti pula langkahnya. Ternyata di bagian belakang hutan penuh dengan pohon-pohon bambu. Pohon-pohonnya berjejer rapat, khas seperti Negeri Tiran Bambu.
"Hati-hati, dari sini cukup licin. Kaubisa masuk ke celah itu? Kau duluan yang masuk baru aku."
Sebuah celah pun ditemukan. Seperti yang dikatakan Semi-san, aku masuk terlebih dulu. Celahnya sangat kecil, tubuhku nyaris tidak muat. Banyak bagian tubuh yang mengganjal. Duh, rasanya malu apalagi Semi-san pasti melihatnya juga. Aku tidak tahu yang dipikirkan Semi-san, tapi semoga bukan yang aneh-aneh karena aku tidak melihat ekspresinya.
Begitu kami sudah melewati celah, Semi-san langsung berjalan memanduku menuju panda-panda berada. Ternyata hutan—kandang—panda ini bukan sekadar berisi panda-panda saja. Suasananya menyerupai Negeri Cina! Aku melihat ada jembatan merah dengan pilar-pilar serta atap senada dengan motif khas negara tersebut. Ada banyak lampion yang kutemukan. Meski tidak menyala karena masih siang hari.
Suasananya mendukung sekali.
"Pandanya!"
"Lucu, 'kan?"
Aku langsung berjongkok menghampiri panda-panda tersebut. Tentunya tidak dalam jarak dekat karena masih ada rasa takut. Namun, sempat kuelus salah satu panda sambil terkikik geli. "Banget! Terima kasih Semi-san!" Tak lupa terima kasih tentunya aku.
Begitu kuhadirkan raut tulus, aku melihat Semi-san juga tersenyum tulus.
Aduh, mengapa rasanya gemas sekali melihat Semi-san? Sama seperti panda-panda ini sampai-sampai aku lupa makanan yang kubeli tadi belum terjamah.[]
22/12/18
—reeshizen
[A/N]
Nggak jauh beda kok ini sama sieplatze Kageyama. Sebenarnya ini terinspirasi dari hutan kecil sm kebun binatang SD saya dulu. Promptnya emg kandang panda. Cuman saya tambhain jalan rahasia kayak pas saya SD. Dulu itu bentuknya masih kayak hutan jurang kecil, trs ada jalan rahasianya buat main, semenjak saya kelas 2 sd apa 3 baru hutan kecil itu diganti jadi kandang unggas wkwk, kandangnya mayan tinggi sih.
Saya apdet berkala. Kalo bisa setiap hari atau dua hari sekali apdet.
P.s apdet rata2 tengah malem krn menyesuaikan dgn kuota yg ada 🙃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro