Day 6
Sixth Day: Pohon Belakang Sekolah yang Bermuram Durja
Warn content: absurd dan nista, tidak logis jadi dimohon untuk maklum karena isi plotnya hanya sebatas humor tanpa riset.
KUSAPUKAN handuk ke permukaan dahi dan pelipis. Hari ini aku melaksanakan latihan seperti biasa, tapi rasanya latihan kali ini lebih berat ketimbang biasanya. Telah kulakukan latihan voli dua lawan dua bersama anggota lainnya. Kami imbang satu sama dan tidak kembali dilanjut untuk menentukan pemenangnya karena Kapten Sudou mengatakan kami mesti bergantian dengan anggota lain.
Kapten Sudou menghampiriku ketika kutengah meluruskan kaki. "Makin ke sini dasar volimu semakin baik, [name]. Ya, walau servismu masih jelek dan sering tidak melewati net, tapi receive dan block-mu sudah lumayan."
Aku tersenyum mendengarnya. "Terima kasih, Kapten, tapi memang aku belum bisa servis, bahkan servis termudah seperti servis bawah masih sering tidak berhasil, apalagi servis atas dan di atasnya," balasku malu-malu.
"Terus, bagaimana dengan nilai olahragamu kalau servis saja masih sering salah?"
Napas kuembuskan. "Aku hanya bisa pasrah kalau soal itu. Meski sudah sering latihan sampai di pinggir lapangan ketika murid di kelas bertanding, tapi tetap saja tidak sesuai ekspektasi," ujarku sedih.
Kapten Sudou menatap iba padaku. "Sepertinya kau mesti banyak latihan. Kaubisa memakai gimnasium lebih pagi ketimbang biasanya, atau kalau mau ketika usai latihan sore, tapi kau sibuk ya, dari siang sampai sore?"
Kuanggutkan kepala. "Sibuk selama seminggu ini."
Seperti ada yang mengganjal pada Kapten. "Lalu, kenapa kau latihan sekarang?" tanyanya yang menyadari bahwa aku telah mengikuti latihan sore sejak tadi.
Kutipiskan bibir geli, tumben sekali Kapten Sudou baru menyadari kehadiranku. "Aku luang sebentar sampai jam empat sore. Tak apa 'kan, Kapten jika aku mengikuti latihan sore meski sebentar? Sejak pertama bergabung aku selalu izin," cetusku.
"Walah, jika diingat memang kau tidak sering ikut latihan sore, sih. Ya, tak masalah kalau kau luang sampai jam segitu, tapi memang Kageyama sudah tahu?"
"Sudah Kapten, malah dia yang bilang sendiri ada kesibukan sampai jam empat nanti. Karena aku tak tahu tur hari ini seperti apa, mending aku latihan sore sekaligus mengisi waktu," sahutku.
Kapten mengangguk-angguk. "Memang klub voli putra dan putri akhir-akhir ini sibuk, jadi meski sudah izin untuk tidak latihan, tidak memungkinkan juga tidak dipanggil oleh pelatih dan pembina untuk beberapa urusan. Apalagi, pemain hebat seperti Kageyama."
Ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada Kapten Sudou. "Kapten, bolehkah aku bertanya?"
"Dengan senang hati."
"Memangnya Kageyama sehebat apa? Maksudku selama dua tahun di sini. Aku yakin SMA PAW memiliki banyak pemain hebat seperti Kageyama salah satunya, tapi pasti ada yang lebih hebat darinya, terlebih posisi dia itu seorang setter. Berbeda dengan posisi wing spiker atau bloker yang lebih banyak diisi. Tidak mungkin 'kan, dia terus dimainkan selama turnamen?"
Kapten Sudou bergumam sejenak. "Aku tidak tahu apakah ini jawaban yang kau inginkan, tapi sayangnya Kageyama selalu dimainkan selama turnamen semenjak ia berada di tahun pertama. Memang anak itu genius dan berbakat, tapi ada apa kok, tiba-tiba bertanya tentangnya?" Tatapnya penuh selidik.
Tampak tahu yang dimaksud, aku segera menepis kecurigaan tersirat Kapten. "Hanya penasaran karena dia pemanduku selama seminggu ini, rasanya aneh saja jika aku tidak tahu tentangnya," jawabku setengah asal.
Tatapan Kapten kini berubah menjadi jenaka. "Masa? Bukan karena hal lain?"
Terkekeh, aku pun membalas, "Bukan, Kapten. Jelas-jelas murni karena penasaran, kok," ujarku kembali memperjelas.
Kapten Sudou masih berkukuh. "Pasti ada sesuatu ya, di antara kalian?"
"Tidak ada Kapten," elakku yang merasa benar.
Kapten yang menduduki bangku di tahun terakhir itu menampakkan raut skeptisnya. "Aku masih ragu, tapi ya, sudahlah. Waktu yang akan mengungkapkan itu semua."
Apa perasaanku saja, tapi seniorku ini seperti berharap?
"Kanoka, ada apa?" Begitu seniorku bertanya ketika Kanoka-senpai—teman sekaligus rekannya di klub voli—menghampiri kami. Jarang bagiku melihat Kanoka-senpai sedekat ini. Mungkin faktor ia pemain voli putrid terbaik atau memang Sudou-senpai yang suka mengakrabkan diri?
"Rinko—anoo," lalu pandangannya mengarah padaku," Kageyama mencarimu, [surname]-san."
Huh?
"Wah, inikah waktunya?" celetuk Kapten Sudou sambil tersenyum menggoda, sementara Kanoka-senpai tidak mengerti.
Dan aku memerosot pasrah ketika tahu makna tersirat yang Kapten Sudou layangkan.
Sialan kau, Kageyama.
Sampai sekarang aku membenci Kageyama.
Bukan tanpa alasan aku membenci dirinya. Terlebih, membenci tanpa alasan adalah suatu tindakan tak bermoral. Kalau kata salah satu selebgram kontroversial, "Nakal boleh, bodoh jangan". Bagiku itu seperti, "Benci boleh, bodoh jangan". Lagi pula aku bukan orang bodoh yang tiba-tiba langsung membenci seseorang.
Ada suatu kondisi yang membuatku membenci Kageyama. Jika mungkin kondisi tersebut tak ada, sampai sekarang mungkin saja aku tidak membencinya, atau malah tidak mengenalnya. Ya, jika begitu pun aku tak menyesal.
Karena dengan itu, aku tak perlu repot-repot membencinya dan hidupku akan tenang seperti biasa.
Aku memang tampak bersikap wajar ketika di hadapannya, tetapi di dalam hati, aku menyimpan sebuah dendam besar yang kusamarkan sebagai rasa benci.
Dendam itu memang tak baik, makanya aku membencinya.
Memang aneh aku ini, tapi diriku ini punyaku dan aku juga milik kalian yang menjadi tokoh utama di sekolah absurd di sini. Jangan salahkan aku jika aku tidak sesuai ekspektasi kalian karena yang membikinku adalah seorang penulis absurd yang memaksa mengikuti satu proyek dengan memegang banyak buku. Maklumilah bila diriku ini banyak kekurangan karena pada aslinya baik sang penulis dan aku bukanlah makhluk yang sempurna.
Meski aku adalah sebuah karakter ciptaan dengan berbagai nama yang kalian bayangkan, jangan mengharapkan bahwa karakter dan alur yang kulalui penuh dengan manis-manis gulali terbang. Tentunya cerita ini tidaklah nyata, tetapi akan dibuat serealistis mungkin dengan bumbu-bumbu absurd yang seringnya tidaklah nyata. Walau tampaknya tak mungkin.
"Pohon?"
"Bukan pohon biasa." Kageyama meralat. "Dulu ada alumni yang pernah bersekolah di sini. Hobinya suka bunuh diri. Meski begitu, tidak pernah mati."
"What? Tidak salah? Suka bunuh diri, tapi tetap hidup?"
Kageyama mengangguk membenarkan. Sepertinya sekolah ini dan isinya sama-sama tidak benar alias gila.
Aku mendengkus. "Lalu? Sampai sekarang alumni itu masih suka bunuh diri?"
"Oh, tidak, tidak," selanya. "Kalau sudah lulus buat apa masih kemari? Tentunya jelas tidak."
Begitu kami sampai di tempat kejadian yang dimaksud yakni halaman belakang sekolah, kudapati sebuah pohon besar dengan sebuah ayunan berbentuk ban. Mulutku sedikit membuka, agak terkejut menemukan ayunan impian seperti ini di lingkungan sekolah.
"Jangan bilang... itu pohon yang dimaksud?" tanyaku yang berharap tidak ingin menjadi kenyataan. Sudah bagus-bagus ada ayunannya, tapi jika sering dijadikan tempat bunuh diri sama saja bohong. Dan setelahnya, kudapati anggukan Kageyama yang memupuskan harapanku.
"Kata senpai-tachi (para senior), sewaktu mereka kelas satu, angkatan kelas tiga yang sekarang ini sudah lulus sering melakukan bunuh diri di sini." Kageyama pun menunjukkan guratan di beberapa cabang pohon yang kuduga bekas sebuah tali. "Katanya sih, ayunan ini milik kekasih orang tersebut."
"Tapi, kekasihnya suka bunuh diri? Memang dia tidak lelah melihat kekasihnya bunuh diri sambil bermain ayunan?" Oke, pertanyaanku makin absurd, tapi sesuai kenyatannya, toh? Sekolah ini absurd, maka jangan salahkan pertanyaanku yang absurd kuadrat.
Mendadak, Kageyama menjentikkan jari. "Karena itulah! Kekasihnya kesal karena orang tersebut sering mengajaknya ikut bunuh diri. Karena kesal, ia pun tidak mau lagi bermain ayunan di sini."
"Oho, terus?"
"Diduga karena hal tersebut, banyak orang yang membicarakan bahwa kekasih gadis tersebut meninggal karena bunuh diri akibat ditolak ajakannya untuk mati."
Aku tidak mengernyit atau pun terkejut. "Tidak adakah yang makin absurd dari itu?" Tuh, 'kan, akibat kemustahilan yang nyata di lingkungan ini, aku jadi tidak bisa bersikap wajar.
"Entah? Aku juga tidak mengerti."
"Hah? Niat tidak sih, jadi pemandu?" Tiba-tiba suaraku meninggi. Kesal? Iya. Karena apa? Tidak tahu.
Raut Kageyama mengerut. "Aku melakukan ini untuk memperbaiki nilai-nilaiku. Kalau ditanya niat atau tidak, aku tidak tahu." Aku mencebikkan bibir. Kageyama masih bingung akan sikapku. "Aku lupa menambahkan, meski alumni tersebut sudah lulus, tapi kadang orang-orang yang mampir ke sini masih suka mendengar bisikan halus mengajak bunuh diri. Kata Kak Zena—"
"Ya, ya, ya," potongku cepat sambil mengangkat tangan. "Disuruh mencari tahu penyebabnya? Oke, fine, akan kulakukan." Kageyama tampak meneguk ludah mendengar jawabanku. Merasa puas akan jawabanku sendiri, aku berujar, "Sudah, 'kan? Tidak ada lagi?"
Kageyama mengangguk perlahan. Tampaknya merasa ngeri padaku.
Aku mendesah. "Baguslah. Tinggal sehari lagi turku. Aku ingin cepat-cepat lepas dari siksaan ini," gerutuku.
Kageyama meninggikan alis, rasanya seperti kecewa dengan ucapanku. "Tur ini sebenarnya seru."
Langsung kusanggah, "Tidak bagiku. Ini seperti siksaan neraka versi dunia. Mungkin aku berlebihan, tapi itu hanya perandaian, oke? Jangan berkomentar atau membandingkan apapun karena porsi setiap orang itu berbeda. Tidak sopan kalau bertindak seperti itu."
Kageyama seketika tidak kembali berbicara lagi. Aku menduga dia diam seribu bahasa, tapi karena apa? Karena ucapanku barusan? Memang ia merasa tersindir?
"Aku tidak akan berkomentar, tapi rasanya kau seperti sedang PMS saja." Sudah kubilang jangan berkomentar, anak ini malah komentar.
"Terus masalah kalau aku sedang PMS?"
"Ti-tidak juga, sih...."
"Masalahmu itu apa, sih?"
"Tidak ada?"
"Kok rasanya aku jadi kesal ya, setiap bertemu denganmu?"
Kageyama makin bingung. "K-kesal kenapa?"
Aku mendesah panjang. "Kuberi tahu ya, umur kita tidak berbeda jauh, makanya aku berani memanggil namamu tanpa embel-embel atau honorifik apapun. Kalau perlu kautahu, aku ini seumuran denganmu hanya berbeda bulan saja."
"Uhh...? Terus kenapa kau tidak seangkatan denganku?"
Sesungguhnya, pertanyaan inilah yang membuatku kesal seumur hidup. "Aku telat masuk sekolah, puas? Selain itu, bulan lahirku di akhir-akhir bulan sehingga masuk sekolah umurku tanggung. Mau apa? Mau tertawa?"
Kageyama gelagapan. "E-eh, t-tidak."
"Ah, sudahlah," tandasku menyudahi.
Kageyama agak lama baru bicara. "Maaf, aku tak bermaksud apapun. Maaf juga membuatmu marah. Sepertinya aku mesti menelepon Kindaichi agar menjemputmu?"
Sontak, darahku naik ke kepala, bukan karena malu, tapi seperti marah. "Kok, Kindaichi, sih?!"
"Karena kau dekat dengannya?"
"Memang kami terlihat dekat?"
"Kemarin kau pulang diantar olehnya, 'kan? Bukankah kalian berdua itu dekat?"
Rasanya, aku jadi ingin tambah marah. "Memang kau harus tahu itu? Mau aku dekat ya, terserah aku."
"Kalau begitu kenapa marah ketika aku mengatakan akan meneleponnya? Bukannya itu justru akan membuatmu lebih baik?" Kageyama turut membalas.
"Masalah banget kalau aku marah, ya?" sahutku sinis, Kageyama tersentak. "Sudahlah, kau itu menyebalkan banget dari dulu. Aku mengerti kenapa Tooru membencimu. Coba saja kau tidak masuk ke kehidupannya, Tooru tidak akan merasa frustrasi karena kehadiranmu."
Kulihat roman muka Kageyama yang terkejut tak main. Mulutnya terbuka dengan mata yang membeliak tak percaya.
Aku menarik napas panjang, bersiap mengeluarakan semua unek-unekku beberapa hari terakhir. "Kukira kau menyadari siapa aku sejak pertama kali bertemu, ternyata tidak, ya? Huh, menjengkelkan. Kau menyakiti kakak sepupuku, menghancurkan kariernya. Tidakkah kautahu rasanya itu? Ah, ya, kau 'kan, hanya adik kelasnya, jadi tidak begitu mengerti," ujarku lalu memalingkan wajah darinya. "Memang sejak awal kita tidak terlalu dekat dan perlu kau ketahui, aku membencimu dengan amat sangat, Tobio-kun."
Setelahnya, aku pergi meninggalkan Kageyama yang masih berada di bawah pohon penuh kemuraman.[]
[A/N]
Wih, nggak kerasa satu part lagi ending. Part terakhir mingdep sama epilog maybe.
30/09/18
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro