Day 5
Fifth Day: Merpati Cinta SMA PAW
Warn content: absurd dan nista, tidak logis jadi dimohon untuk maklum karena isi plotnya hanya sebatas humor tanpa riset.
"KAK Zena yakin tidak apa-apa?" Nadaku cemas begitu mendatangi Kak Zena dan mendapati wajahnya yang agak pucat.
"Tidak apa-apa." Baru saja bilang begitu, lawanku kini tiba-tiba bersin seiring tangan menutupi hidung. Ia lalu mengusap pelan hidungnya. "Aduh."
Aku menatap cemas. "Kak, kalau sakit lebih baik ke UKS saja," timpalku simpatik. Meski menyebalkan, kasihan juga melihat Kak Zena yang sudah memerah pasi.
Kak Zena mengibaskan tangan, menolak. "Ini cuman karena olahraga tadi. Kalau soal bersin memang dari kemarin aku sudah bersin-bersin. Entah kenapa, bersinku seperti sedang ada orang yang membicarakanku."
"Bukankah jika begitu bersinya cepat reda?"
Jari-jari Kak Zena menjentik. "Nah, maka dari itu aku heran. Padahal kemarin aku sehat-sehat saja, langsung pulang ke rumah karena sudah tidak ada kegiatan apapun lagi. Di rumah pun aku santai-santai dan malah merasa lebih sehat sebelum bersin-bersin ini menyerang," ceritanya yang seperti menceritakan sebuah kejadian langka.
"Mungkin hanya bersin biasa?" ujarku yang sebenarnya sudah malas menanggapi.
Kak Zena berpikir sejenak. "Sepertinya tidak mungkin. Aku sangat yakin ada seseorang yang membicarakanku, malah aku mengiranya ia mengumpat sehingga bersin-bersinku belum tuntas," sahutnya yang masih penasaran.
Aku tidak kunjung membalas. Merenungkan sedikit yang Kak Zena bilang. Rasanya seperti sudah pernah terjadi? Apa ya, istilahnya, déjà vu? Namun, kalau kuingat-ingat lagi rasanya tidak pernah. Aneh. Seperti sudah pernah terjadi, tapi tak nyata.
"Ah, sudahlah. Abaikan saja topik tadi. Aku tidak bisa berlama-lama karena perutku belum kuisi. Aku mesti mengejar menu nasi rending yang limited edition. Jadi, kau ke sini karena aku ingin memberitahukan bahwa konser seni dadakanmu kemarin berhasil," jelasnya lalu tiba-tiba melarat kata-kata terakhir, "tidak berhasil juga, sih, mungkin seperti sukses? Ah, tidak, terlalu tinggi. Menarik? Ya, ya! Boleh juga intinya. Beberapa murid dari klub-klub seni takjub—oh, sudah lihat komentar-komentar videomu di channel Youtube sekolah? Dari situ kau dapat melihat seberapa banyak pujian yang bocor."
"Uh...." Mulutku tak banyak bersuara, bahkan bingung ingin berucap. Rasanya kelu antara takjub dan tidak percaya. Penampilanku kemarin sore sebenarnya hanya sebuah kebetulan akibat tugas dadakan yang membikin pikiran kalut. Aku mana peduli tentang hasil dan dampaknya, yang penting bagiku kemarin adalah cepat selesai. Sungguh, Kak Zena tidak kira-kira memberikan tugas. Tidak ada persiapan lalu ditugaskan untuk menampilkan sesuatu.
"Hebat bukan?" Kak Zena menimpali. Aku mengangguk singkat karena masih merasa skeptis. Kak Zena mencebik. "Penampilanmu bagus tahu, dari mana kaubisa mendongeng sambil membius sekaligus?"
Aku tergugu-gugu jengah. Itu sebuah pujian, tapi memang sejatinya aku tak biasa dengan pujian walau kakak sepupuku kerap kali memujiku. Sebenarnya, kakak sepupuku memujiku lebih seperti gombalan, sih....
"Bakat terpendam, ya, hm." Kak Zena menggenggam dagu. "Aku jadi punya sebuah ide," lanjutnya setelah terdiam. Tampaknya ia memikirkan idenya terlebih dulu sebelum berutara.
Alisku sedikit terangkat, agaknya penasaran dan sedikit tertarik. "Ide? Ide apa, Kak?" Baru kusadari, aku mungkin salah bertanya setelah mengingat Kak Zena yang kuketahui selama beberapa hari ini.
Kulihat sebuah seringai muncul, tapi kembali lenyap sebelum Kak Zena menatapku sambil tersenyum. "Bagaimana setelah selesai tur, kau kembali menampilkan bakatmu itu? Oh, tentunya kali ini di panggung yang dapat disaksikan seluruh murid di sekolah secara langsung."
Tuh, 'kan. Pelajaran buatku, lebih baik langsung kabur ketimbang meladeni Kak Zena.
Ketika istirahat kedua berlangsung, aku memutuskan makan siang di kafetaria sekolah. Disebut makan siang juga sebenarnya tidak karena aku hanya memesan sandwich dan bukan makanan berat. Bagiku tak masalah hanya memakan sepotong sandwich sebagai makan siang, tapi orang yang di depanku terus mengomel, menceramahiku tanpa henti. Padahal bukan dia yang tengah makan.
"Makan siang kok, sandwich. Pelajaran nanti pasti berat-berat, kau harus makan nasi atau yang berat-berat juga," oceh Kindaichi sembari menyuapkan sesumpit nasi kare ke mulutnya.
Kusapa meja dengan permukaan pipiku lalu bergumam malas, "Aku masih kenyang. Sandwich sudah cukup bagiku, malah lebih."
Kudengar Kindaichi mengeluh. "Sudah pernah sakit, kok, masih bandel."
Aku kerucutkan bibirku sambil menegakkan tubuh menatapnya. "Yang penting aku tidak telat makan, itu sudah cukup, tahu," balasku tak terima.
"Tidak telat makan memang, tapi kalau sedikit porsinya ya, sama saja," sahutnya yang langsung membungkamku.
Aku tidak membalas lagi, biarkanlah. Setelah ulangan harian matematika dengan waktu tercepat seumur hidupku tadi, perasaanku langsung turun drastis. Akibatnya, aku jadi malas buat melakukan sesuatu, bahkan hanya memakan sandwich pun tidak nafsu. Walau dari itu, aku mesti menerima ocehan panjang dari Kindaichi. Menyebalkan.
Soal makan siang, kami berdua memang memutuskan untuk makan bersama. Aslinya, Kindaichi yang mengajakku duluan karena seperti yang kemarin dia bilang, ingin mencoba ke arah lain. Aku tak masalah jika dia ingin dekat denganku, lagi pula aslinya kami sudah mengenal sejak zaman sekolah dasar.
Namun, aku tak yakin untuk menerimanya atau tidak. Menurutku terlalu cepat bagiku untuk menjalin sebuah hubungan. Hubungan yang ingin kunantikan dulu saja tidak berjalan lancar, bagaimana kalau aku membangun hubungan baru? Makin hancur sudah.
"Dasar kau ini. Ya sudahlah kalau begitu, tapi jangan lupa kau nanti akan pulang sore karena turmu belum selesai. Aku sebenarnya mengkhawatirkanmu, apalagi ada Kageyama nanti, aku tambah cemas karena anak itu tidak bisa diandalkan," tuturnya malu-malu, sambil sesekali mengedarkan mata ke arah lain untuk menutupi rasa malunya itu.
Aku termenung karena Kindaichi tampak begitu peduli padaku. Mukanya saja sampai merona begitu, aku yakin butuh keberanian yang besar baginya untuk mengungkapkannya padaku. Aku sendiri juga merasa malu, maka dari itu aku mengucapkan terima kasih padanya. "Terima kasih, aku rasa aku tidak pantas dipedulikan olehmu, tapi tenang aku akan jaga kesehatan, kok," ucapku menenangkan.
Wajah Kindaichi makin memerah, aku jadi tidak enak, melihatnya saja membuatku jadi canggung. Tampak tahu perasaanku, Kindaichi lalu berdiri sambil membawa nampan makanannya yang sudah selesai. "A-aku ingin mengembalikan ini dulu dan t-tadi Yahaba-san mengirimiku pesan, j-jadi aku harus menemuinya dulu, kau t-t-tunggu di s-sini, ya?"
Aku menganggut kikuk. "Ya, tenang saja, aku bakal menunggu."
Begitu ia pergi, kudapati telinganya memerah seiring langkahnya makin cepat menjauh. Rasa simpatik muncul di pikiranku.
Selagi Kindaichi pergi, aku memainkan android-ku, dari membuka pesan yang masuk sampai melihat story orang-orang yang kuikuti di salah satu platform media sosial. Kulihat beberapa story yang menurutku geli, seperti swafoto milik Yahaba-senpai sampai foto Ushijima-san yang dijadikan meme oleh Tendou-san. Lalu kulihat story milik Iwaizumi-san yang merekam Tooru yang sedang ditindas oleh anjing liar, seketika mengakak dalam beberapa saat. Sungguh, aku tak habis pikir dengan Iwaizumi-san.
Masih melihat beberapa story orang, kurasakan bangku di seberangku terisi karena aku melihat sebuah bayangan yang tersorot cahaya dari jendela depan.
"Kau sudah balik—eh, Kageyama?" Aku terkejut begitu mendapati Kageyama mengisi bangku Kindaichi.
"Yo, [name]-san," sapanya akrab. Aku mengangguk membalasnya.
Dahiku berkerut bingung melihat entitas dirinya di hadapanku sekarang. "Sedang makan juga?" tanyaku begitu aku tak mendapati nampan makanan yang ia bawa, kecuali minuman isotonik.
Kageyama menggaruk tengkuknya sambil menghadap ke lain arah. "Sudah tadi bersama Hinata dan para senior."
Aku mengangguk mengiakan. "Oh.... Tidak ke kelas? Sebentar lagi masuk, lho."
Kageyama lalu menatapku. "Kau sendiri? Kenapa masih di sini? Sandwich-mu juga sudah habis," timpalnya.
Aku terkekeh. "Menunggu seseorang," sahutku. Kageyama membulatkan mulutnya. Lanjutku, "Lalu ada perlu apa kau ke sini?"
Kageyama tampak terkejut. "Kok bisa tahu?"
Senyum geli sekilas terbit dari mulutku. "Kalau menemuiku tanpa ada sesuatu, justru aku yang perlu bertanya."
Kageyama terbengong. Setelahnya ia tersentak sendiri sambil menyerahkan minuman isotoniknya padaku. "Aku ingat kau kemarin kelelahan, jadi ini minuman dariku."
Kini, aku yang terbengong.
"Aku tidak tahu mesti membelikan apa karena yang kupikirkan hanya ini. Oh iya, kata senior di klub, dongengmu kemarin bagus, mereka menontonnya sebelum latihan pagi dimulai tadi," imbuhnya yang makin membuatku melongo.
"Terima kasih," balasku agak lama yang bingung akan berucap.
"Kuharap kau hari ini tidak apa-apa, tur masih berjalan dua hari lagi, jangan sampai sakit," ingatnya disusul pamitan sebelum pergi.
Aku masih termenung sampai Kindaichi kembali lima menit sebelum bel masuk.
"Kau membeli minuman isotonik?" Kindaichi bertanya begitu datang.
"Ah, ya...," jawabku seadanya.
Kepala lobak itu mengangguk. "Bagus, bagus, dengan itu kauada stamina lagi." Padahal, bukan aku yang membelinya. "Jaga kesehatan, jangan sampai sakit lagi," imbuhnya padaku.
Sudah dua orang yang mengucapkan itu padaku, tapi ucapan orang pertama lebih membekas di pikiranku selama pelajaran berlangsung.
Kalau ditanya kenal Kageyama atau tidak, aku pasti mengenalnya. Malah, aku mengenalnya dari lama. Harusnya kami sudah begitu dekat sekarang, tapi karena diriku inilah hal tersebut tidak terjadi. Ya, mau bagaimana lagi? Memilih satu pilihan di antara pilihan-pilihan lain itu sulit, benar-benar sulit sampai membuat kepala pusing setengah mampus.
Meski tidak dekat, tapi aku tahu cukup banyak, lho, tentangnya. Bahkan, aku selalu menonton pertandingan volinya setiap saat. Tidak selalu hadir memang, tapi dapat dikatakan cukup sering. Namun, Kageyama tampaknya tidak menyadari hal itu. Fokus seorang atlet voli memang hebat, yang ini aku bermaksud menyindir.
Jika ditanya sering bertemu atau tidak waktu dulu, jawabanya di antara dua itu. Penampilanku dulu dan sekarang berbeda, wajar saja jika Kageyama menganggapku seperti orang asing waktu pertama kali bertemu. Terlebih itu sudah lama sekali, penampilanku waktu sekolah dasar dan sekarang tentu jauh berbeda.
Pasti akan ada yang mengira aku ini menyukai Kageyama dan merupakan pengagum rahasianya. Tidak salah, sih, praduga itu, tapi yang pasti praduga hanya praduga, bukan berdasarkan fakta yang konkret.
Jawaban yang benar, aku sangat membenci Kageyama.
Benar, untuk yang itu tidak salah dan aku tidak akan pernah menyangkal.
"Untuk tur kali ini, tujuan kita adalah Merpati Cinta SMA PAW." Kageyama membuka pagar kayu lalu memasukinya terlebih dulu sebelum kuikuti.
"Merpati Cinta? Nama yang aneh," gurauku geli sambil mengelus merpati-merpati yang sedang memakan makanannya. "Jangan bilang merpati ini bertugas untuk mengirimi surat cinta?" tebakku asal.
Mau tak mau Kageyama membenarkan. "Ya, seperti itu. Aku baru tahu fungsi merpati-merpati di sini ketika Tanaka-san menyarankan padaku untuk mengirimi seseorang dengan surat cinta. Entah apa tujuannya, padahal aku tidak punya orang yang kusuka, mengapa aku harus mengirimnya?"
Aku mendengus. "Sesekali tak apa, bukan? Aku rasa merpati-merpati ini dapat dialihfungsikan juga," timpalku.
"Wah, seperti apa?"
"Misalnya seperti mengirim surat ke seseorang yang kita benci?"
Alis Kageyama menyatu. "Kau akan menggunakannya untuk itu?"
Aku terdiam, menatapnya lurus, lalu tergelak setelahnya. "Mana mungkin? Kurang kerjaan sekali aku," tukasku sambil lanjut tertawa. Kageyama tak kurung menjawab, aku membiarkannya.
Tak ayal, aku menemukan sebuah tulisan kapur di beberapa kandang kayu merpati. Penasaran, aku langsung menanyakannya pada Kageyama, "Kenapa ada tulisan #SavePigeon2019—bahkan ada yang 2018 juga?"
Kulihat Kageyama mengejapkan mata beberapa kali sebelum sadar akan pertanyaanku. Pandangannya turut mengarah ke kandang yang kutunjuk. "Sebuah kampanye sepertinya. Setiap tahun selalu ada tim afirmasi dan oposisi terhadap merpati-merpati ini. Sering kali merpati-merpati ini ditemukan tragis dan beberapa kelompok yang menyukai merpati tidak terima dan mereka sering melakukan demonstrasi setahun sekali di skeolah," jelasnya panjang lebar.
"Excuse me? Itu nyata?" ungkapku terkejut bukan main.
"Hah?"
"Itu benar-benar nyata?" Kageyama mengangguk. Aku melongo. "Menyeramkan. Dan jangan bilang tugasku...?"
"Ya." Aku nyaris menghancurkan kandang jika Kageyama tidak segera melanjutkan, "Tugasmu mesti mengirimkan sebuah surat pada orang yang ingin kau kirimi."
Aku kira ditugaskan untuk mencari tahu pelaku pembunuhan tragis merpati-merpati ini, tapi ternyata bukan.
Surat, ya? Untuk kali ini aku bingung pada Kak Zena, maksudnya apa?[]
23/09/18
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro