Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Day 1

Tempat Keajaiban Pertama: 69 Ekor Keajaiban Lele SMA PAW

SETELAH melewati hari Minggu, kini Senin pun tiba. Aku berangkat lebih awal karena ada yang ingin Kak Zena bicarakan denganku.

Udara pagi hari terasa dingin, kurapatkan jaket hingga menaikkan ritsletingnya. Hawa musim dingin yang tersisa di musim semi sangat berdampak, bahkan jaket yang mempertebal dua kali tubuhku ini masih belum cukup. Aku mesti pakai jaket setebal apa lagi hingga teman-temanku salah kaprah dengan bentuk tubuhku?

Kulihat Kak Zena berada di depan gerbang sambil meniupkan kedua tangannya yang tak bersarung. Kusapa sejenak ia agar menyadari keberadaanku.

"Wah, sudah datang?" Kepalanya terangkat, menyadariku.

"Iya, Kak," balasku sambil menyematkan senyum. Kuperhatikan lagi Kak Zena yang masih menggosokan tangannya. "Kakak tidak pakai sarung tangan?"

"Tidak. Kukira suhunya sudah naik, tetapi baru naik sedikit dan masih terasa dingin. Beberapa hari lagi kali ya, baru kembali normal," ujarnya. Zena menyibakkan rambutnya ke belakang, kali ini sarat akan serius, aku bergidik sekilas. "Sudah dibaca kertas kemarin?"

Aku buru-buru menunjukkan selembar gulungan kertas yang Kak Zena beri tiga hari yang lalu. Kepala kuanggutkan mantap. "Sudah, Kak."

Sebelum kuberikan kembali gulungan kertas, Kak Zena sudah mengangkat tangannya. "Tidak, buatmu saja. Kami tidak kekurangan kertas hingga mesti diminta kembali," sindirnya halus, aku menurutinya, lagi pula memang benar dan tindakanku tadi rasanya juga kurang sopan. "Tidak perlu kujelasi lagi ya, tugasmu apa dan seperti apa, itu semua sudah kuucapkan Jumat kemarin dan di kertas sudah tertera. Aku hanya mengingatkan dan menambahkan agar kegiatan belajar mengajarmu tidak terganggu, maka kau memulainya sehabis pulang sekolah dan tidak kutemani."

Aku menggaruk tengkuk sambil mempertanyakan yang dikatakan Kak Zena, "Aku sendiri? Maksudku tidak ada yang menemaninya sama sekali...?"

"Ada. Sebenarnya, sejak awal memang aku yang harus menemanimu. Untuk sekarang, tugasku hanya penyampai informasi," tukasnya yang belum selesai, "karena aku sibuk dengan kegiatan OSIS dan olimpiade sebulan mendatang, aku tidak bisa membimbingmu. Sebagai gantinya akan ada orang lain yang telah kutunjuk, kuharap kau tidak keberatan."

Aku mengangguk. "Ya, asal ada yang bisa membantuku aku tidak masalah."

Kak Zena tersenyum puas. "Bagus. Oh, omong-omong, yang kutunjuk ini punya masalah dengan nilai dan kedisplinan, jadi sebagai ganti dua nilainya yang buruk itu ia mau menambalnya dengan menjadi pembimbingmu. Meski kedisiplinannya tidak parah-parah amat dan nilai-nilainya bisa diperbaiki ketika musim panas nanti, tapi karena suatu hal ia mesti memperbaiki nilainya secepat mungkin."

Kepalaku mengganggut tidak yakin. "Eum... oke?"

"Ya, sudah selesai. Maaf memintamu datang lebih pagi karena setelah ini aku ada kegiatan klub panahan. Kau bisa lanjut ke kelas atau jika ada kegiatan klub silakan pergi dan balik sebelum jam pelajaran dimulai kembali," tuturnya sebelum pamit berlalu meninggalkanku.

Kegiatan klub? Sebelum masuk SMA PAW, aku sudah menetapkan pilihan klubku, tapi karena aku baru masuk dua hari sementara kegiatan belajar mengajar sudah berjalan seminggu lebih, otomatis namaku belum terdaftar. Formulir pendaftaran klub baru ada di hari ketiga dan seterusnya, sementara aku hanya hadir di hari pertama. Mayoritas klub pasti ingin mendapatkan banyak anggota jadi, telat mendaftar mungkin tak masalah.

Kebetulan, gimnasium yang menjadi tujuanku dekat dari gerbang. Dari banyaknya gimnasium aku jadi bingung sendiri, yang mana termasuk gimnasium calon klubku?

Semua desain gimnasium sama, tidak ada yang berbeda dan malah membikinku makin bingung. Sebab itu, kuputuskan memilih asal dan membuka pintu gimnasium yang tidak terkunci.

Kudengar suara decit sepatu sebelum lenyap seketika. Ketika pandanganku tertuju pada pusat lapangan, kulihat sebuah bola voli mengarah padaku. Kulindungi kepala dengan kedua tangan hingga bunyi hantaman keras terdengar. Tanganku nyeri, berdenyut-denyut lebih cepat ketimbang suara detak jantungku sendiri. Suara rintihan keluar sambil melihat kondisi tangan yang memerah terkena hantaman.

"Ah-maaf!!" Mendadak, ada seseorang yang menghampiri. Rautnya sarat akan rasa bersalah, kulirik sebentar sebelum kembali ke tanganku.

"Tidak bisakah kau hati-hati?" bentakku cepat. Setelahnya, aku terdiam sebentar untuk menjaga suaraku agar tidak terlalu meninggi dan terkesan marah. "Kurasa kau mesti latihan tuk mengontrol kekuatanmu," sindirku.

"K-kalau begitu maaf! Terima kasih atas sarannya!" Tubuhnya dibungkukan, seolah saran asalku tadi berguna. Padahal, aku bermaksud menyindirnya secara halus, tanggapannya ternyata meleset dari dugaanku.

"Oh... berarti ini klub voli laki-laki, ya," kataku memastikan pada diri sendiri. Tanpa melihatnya lagi, aku segera berbalik pergi mencari gimnasium yang sebenarnya.

Pagi-pagi sudah ada masalah, mood-ku jadi menurun.

Kupandangi tekstur wajahku pada kaca toilet. Sangat berminyak dan kusam. Sudah siang hari, kondisi wajah yang tadinya segar pun mengalami penurunan drastis. Membasuhnya dengan air pun tidak mengalami perubahan yang signifikan. Setidaknya ketimbang tadi, aku tidak terlalu terlihat kucel.

Dengan ini aku keluar dari toilet, menuju lantai kelas tiga untuk mencari Kak Zena. Tadi pagi Kak Zena tidak memaparkan tempat janjianku dengan pemanduku. Jangankan itu, identitas pemandunya saja aku tidak tahu, bahkan keberadaan kelas Kak Zena saja tidak tahu. Dengan bermodalkan pergi ke koridor kelas tiga saja aku berani. Memang salahku tidak menanyakan rincian kelasnya.

Canggung bagiku berada di koridor dua tingkat di atasku ini. Banyak senior-senior dengan uwabaki (sepatu dalam ruangan, biasanya di sekolah-sekolah Jepang) biru melirikku yang pasti sangat asing bagi mereka. Aku yakin, hanya sepintas melihat pasti sudah dapat menebak bahwa aku ini murid kelas satu.

"Ichinen (kelas satu), kah?" Kuperhatikan pemuda di hadapanku yang tampaknya merupakan kakak kelas. Senyumnya begitu lebar, pasti orangnya ramah.

Aku mengangguk sopan sambil menjawab, "Iya, Kak."

"Rasanya kurang sopan jika tidak memperkenalkan diri. Namaku Ennoshita, sepertinya kau ingin mencari seseorang?" Kulihat tas olahraga yang disampirkannya di bahu, tampaknya ia merupakan salah satu anggota klub olahraga.

"Iya, betul, Kak. Omong-omong, namaku [surname]." Rasanya tak sopan jika aku tidak ikut memperkenalkan diri.

"Oh, mencari siapa? Senior di klub, kah?"

"Bukan, Kak, aku mencari Kak Zena," balasku.

Ennoshita mengangguk. "Aksara-san? Tadi kusempat lihat ia keluar, tapi mungkin belum. Mau coba cek kelasnya?"

Aku mengangguk, menerima. Dengan begitu kami berjalan ke tiga kelas setelahnya, mendapati kelas tersebut sepi, tetapi masih ada dua orang yang mengobrol di dalamnya. Kutampilkan senyum semringah, senang karena mendapati Kak Zena yang kucari sejak tadi. Akan tetapi, senyumku perlahan luntur berkat kehadiran seseorang yang baru kusadari belum lama ini kutemui.

Kak Zena menyadari presensiku. "Wah, ada [surname]-san. Doumo. Kageyama, itu orang yang kumaksud. [Surname], ini Kageyama Tobio, kelas dua, yang akan menggantikanku menjadi pemandumu nanti."

Oh, aku mematung, bingung menanggapi. Dan lagi, ya... Kageyama Tobio, telingaku tidak salah dengar yang pasti. Dokter yang telah membersihkan telingaku dua hari yang lalu pasti tidak akan memasukkan obat yang aneh-aneh. Ya sudah, berarti ini nyata, tinggal diriku sendiri yang masih memproser.

"Ada Ennoshita juga, toh. Kupinjam Kageyama-nya selama seminggu ini, ya? Klub voli laki-laki tidak akan keberatan, 'kan?"

Raut Ennoshita yang tampak ramah kini berubah masam. "Kageyama jika tidak latihan setiap hari, kemampuannya akan menurun."

"Terus, kau mau Kageyama tidak lolos nanti? Syarat Interhigh Musim Semi, nilai-nilai rapor dan sikap juga mesti bagus, bukan hanya ketika musim panas saja yang mendadak bagus," elak perempuan yang lebih tinggi dariku itu. Matanya menantang Ennoshita dengan penuh kemenangan.

Ennoshita mendengkus. "Baiklah, terserah. Kageyama kehilangan kemampuannya, kau yang disalahkan," tukasnya pada Kak Zena.

Kak Zena tidak terima. "Kageyama masih bisa berlatih, kok, ketika asa-ren (latihan pagi), 'kan, bisa? Memang di waktu sore saja terbatas waktunya. Ini demi Kageyama juga, Ennoshitaaa...," ucapnya sambil menekankan suku kata terakhir.

Kageyama menimpali, "Aksara-san betul, Ennoshita-san! Aku bisa mengatur waktuku, tenang saja."

Ennoshita pun mengangkat tangan, pasrah. Kak Zena dan Kageyama tersenyum puas berkat itu.

Akan tetapi, akunya yang pucat pasi.

Awalnya, kami berempat berjalan bersama dari kelas Kak Zena tadi, tapi di tengah-tengah perjalanan, Ennoshita undur diri terlebih dahulu karena kegiatan klubnya, sementara Kak Zena pamit ketika sudah mencapai perempatan koridor untuk menjalankan rapat OSIS.

Kini, tinggal aku dan Kageyama yang sedang berjalan menuju salah satu tujuh keajaiban SMA PAW-katanya tadi begitu. Aku berjalan di belakangnya, terkadang mendengarkan penjelasan yang benar-benar singkat darinya. Entah memang singkat, padat dan jelas, atau pengetahuannya untuk memanduku sebatas itu.

Sebenarnya, ogah bagiku untuk bertanya padanya, tapi jika tidak bertanya, aku tidak tahu asal mula tujuh keajaiban ini. "Kageyama-san? Kalau boleh tahu mengapa disebut tujuh keajaiban? Apakah ada semacam rumor atau mitos?"

Mata yang tampak seperti obsidian itu melirikku sekilas. "Euh... seperti itu, mungkin," jawabnya ragu-ragu.

"Mungkin?" tanyaku memastikan.

Kageyama mengangguk, dari belakang terlihat. "Kurang jelas asal-usulnya seperti apa, tapi dari yang kudengar begitu. Tanaka-san dan Nishinoya-san sering membicarakannya, mereka tampaknya sangat percaya sekali dengan itu, aku sendiri tidak begitu paham."

"Oh, begitu," balasku singkat. Aku pernah mendengar dua nama itu. Mereka hebat yang kutahu, tapi dominan mendengar kekonyolannya, kurasa memang benar seperti itu. "Jadi, kita akan pergi ke mana dulu, Kageyama-san?"

Kageyama belum menjawab, mungkin sedang berpikir menentukan destinasi yang tepat. "Karena kita berada di dekat kolam, mungkin mau ke kolam 69 Keajaiban Lele-Lele SMA PAW?"

"Hah?"

Kini, pertanyaanku terjawab sudah. Kulihat eksistensi ikan lele yang berada dalam kolam yang cukup dangkal, tetapi sangat luas, bahkan tersedia bambu-bambu yang naik turun seperti ala-ala desain tradisional Jepang, pula hiasan air terjun buatan yang terjun begitu apik seperti air terjun Niagara versi mininya.

Aku tahu, pasti sekolah elite memiliki kolam ikan semacam ini, bahkan di dalam gedung tadi ada akuarium besar yang berisi dua ikan arwana yang kutahu harganya sangat mahal. Untuk kolam, aku sangat paham jika isinya seperti ikan koi atau yang berjenis alligator untuk hiasan. Memang benar, dua kolam ikan itu ada, tetapi tidak seluas dan semewah kolam 69 Keajaiban Lele-Lele ini.

Yang benar saja?! Memangnya sekolah ini membuka jurusan ternak lele, apa?

"Setahuku tujuannya tidak untuk diternakkan. Ini hanya sebuah kebetulan karena kalau tidak salah ada seorang murid yang sekarang sudah alumni, iseng mengajukan proposal tentang kolam lele ini. Karena sekolah merasa ragu dengan fungsinya yang kemungkinan nirfaedah, maka sang pencetus melatih lele-lele ini selama 69 hari untuk menghasilkan sebuah atraksi yang memukau guna diterima oleh para staf guru," jelas Kageyama yang dari mukanya berusaha mengingat-ngingat. Aku yakin, dia berusaha keras untuk menghafalkan itu semua.

"Oh, sangat unik," komentarku yang entah mesti kagum atau merasa absurd dengan penjelasan aneh, tapi kemungkinan nyata itu. "Jadi, lele-lele ini tidak bisa dimakan?"

"Seingatku sih, bisa, tapi mesti menunggu lele yang ke-70, baru bisa disantap," sahutnya.

"Soal atraksi 69 lele ini, bisa tidak kulihat?" pintaku.

Kageyama mengangguk. "Bisa saja, sekitar jam tiga, yang berarti sepuluh menit lagi kaubisa menontonnya. Banyak murid yang tak pernah bosan ke sini karena pertunjukkan mereka setiap tiga hari sekali selalu berbeda."

Aku melongo. "Hah? Berbeda? Bagaimana mungkin?"

"Mungkin dilatih oleh klub pecinta hewan?" tanyanya balik.

"Memang ada?" Aku masih tidak percaya. Ini sekolah atau komunitas?

"Kata Ennoshita-san ada? Aku tak pernah tahu karena klub di sekolah ini banyak. Terlalu pusing mengetahuinya satu per satu. Yang jelas klubku hanya satu, sih," sahutnya balik.

Ingin kubalas balik, "Siapa yang peduli?", tapi pasti akan mengganggu suasana, maka kuurungkan sajalah.

Kageyama setelah itu menatapku lama, seperti tengah menilik. Aku spontan berjengit ditatap seperti itu, lantas kuutarakan pikiranku, "Kenapa?"

Kageyama tampak kelimpungan. "Tidak, hanya saja, kita pernah bertemu?"

Aku langsung tergugu-gugu. "T-tidak?"

"Ah! Kau orang yang nyaris terkena servisku tadi!" Kageyama menyentak, seperti habis menemukan sesuatu yang belum terpecahkan.

Jadi ingat waktu pagi tadi, sungguh mengesyalkan. Mau tak mau aku mengiakan, kali ini dengan bibir yang menipis seakan gemas. "Ralat ya, bukan nyaris terkena, tapi sudah terkena. Tanganku tadi sakit sekali, sampai memerah segala. Kau sedang servis apa mau ikut tawuran?"

Kageyama langsung merasa bersalah. "Euh, maaf, sungguh itu tidak sengaja, aku tidak tahu jika ada orang tadi."

Tak langsung kubalas, kuperhatikan jam tanganku yang tengah menunjukkan waktu lima menit sebelum jam tiga. "Lima menit lagi," ucapku pada diri sendiri. "Oh, jadi setiap yang baru masuk selalu dipandu ke tempat-tempat keajaiban ini? Jadi tugasku hanya menyaksikan?"

Seketika, Kageyama pun mempertemukan kedua tangannya, seolah melupakan sesuatu. "Baru ingat, Kak Zena menambahkan yang lain. Katanya, karena kau telat mengikuti tur ini, akan ada tugas tambahan sebagai sanksi."

Firasatku mulai memburuk. "Sanksi? Apa itu?" tanyaku hati-hati.

"Mengumpulkan kumis dari 69 ikan lele ini," balasnya dengan tenang tanpa peduli dengan raut frustrasiku sekarang.

Seketika, kugigiti bibirku sampai setetes darah mencuat dari permukaan.

Benar-benar, SMA PAW, sekolah yang cukup absurd.[]

09/09/18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro