Timun Mas dan Cemara Kipas
Sebentar, sebentar .... Mari mulai dari yang paling mula dulu.
Mbok Srini. Ditinggal suaminya mati karena penyakit keras. Isi kisah janda itu cuma bekerja dan berobat sampai akhir hayat sang suami, sementara keduanya tak sempat diberi kesempatan memiliki pelipur lara: si buah hati.
Namun, suatu malam, beberapa hari selepas Mbok Srini memutuskan untuk tinggal di sebuah gubuk yang agak jauh dari kampung. Penduduk banyak yang mendengar tangisan bayi mencagun dari pada atap daun nipah yang kian reyot itu. Aneh, tentu saja, tidak ada penduduk yang merasa kehilangan anak. Tidak ada yang melahirkan di bulan-bulan terakhir. Sama sekali. Bahkan jika satu-satunya kuntilanak penguasa hutan bambu yang mengelilingi gubuk kami ikut ditanyai, maka pasti jawabannya bukan. Itu jelas tangis bayi manusia.
Penduduk merasa gusar, tidak mungkin Mbok Srini melahirkan sementara suaminya telah mati puluhan tahun silam. Berawal dari suara tangis bayi, didukung pengucilan diri janda itu dari kampung. Mulailah kabar miring yang beredar bahwa Mbok Srini telah berbuat serong.
Tunggu dulu, jadi aku anak hasil perzinaan? "Ibuku ... seorang sundal, Pakdhe?"
"Ah .... Jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku teman kecilnya, kendati kini jauh, aku tahu Srini sangat menjaga harga diri."
Pakdhe menghentikanku berspekulasi. Ia, yang melihat kepalaku terteleng kemudian berkomentar, "Pantas saja ibumu kepayahan. Kamu bocah matang awal rupanya ...."
"Saya belum mengerti. Tidak mungkin kalau menurut cerita pertama, agak janggal mendengar bayi muncul dari dalam timun mas. Tapi ... kalau bukan, saya anak siapa? Bagaimana ibu bisa memiliki saya, padahal bapak sudah meninggal?" tanyaku.
Pakdhe tersenyum. "Kamu serius sekali. Sebetulnya apa yang membuatmu penasaran, Timun? Asal mulamu, atau bapakmu?"
"Saya tidak tahu, tapi ... saya seperti merasa membutuhkan kejelasan jati diri saya," kataku seraya menyambut hasil penjualan jajan yang kutitipkan pada Mbok Sri.
"Nak Timun!" Pakdhe memanggil.
Aku berbalik dan sedikit mendekat untuk mendengar.
"Sebenarnya tidak salah mencari tahu lewat kami, tapi baiknya tanyakan langsung kepada ibumu." Ia berdeham. "Dan aku percaya mukjizat, Timun. Ada putri dari kerajaan seberang yang pernah dikutuk menjadi seekor keong mas, ada raja macan yang dikutuk menjadi lipuran. Maka tidak mustahil jika ibumu mendapatkan anugrah dari sebuah timun raksasa."
Aku mengiyakan saja, kembali berlalu menapaki jalan basah menuju gubuk ibuku.
Di separuh perjalanan, aku menepuk dahiku sendiri, mentang-mentang cuaca sudah terang, nyaris saja caping yang kubawa terlupakan.
Aku berputar ketika diriku terserempak angin kencang. Sedetiknya tubuhku mematung oleh sebab kejut, lamat-lamat suara pohon ambruk bersinambung cepat di depanku. Bulu kudukku semakin meremang terserang aroma wangi kayu bakar ibuku menguar, namun lebih segar. Sesaat sebelum aku lari, kurasakan sesuatu tergoyang di atas kepalaku.
Sebuah caping.
Aku belum sampai mengambilnya, aku ingat belum sempat memakainya. Tapi benda itu begitu saja sudah terwalak di kepalaku. Suara pohon tumbang terdengar lagi. Wangi kayu bakar ibu ikut tercium. Sesaat, banyak alasan untukku berlari dan menjerit. Siapa yang mengembalikan capingku?
Satu di antara makhluk penghuni hutan bambu pekarangan kami, yang paling menyebalkan adalah si halus. Tanpa sengaja ia menoleh ke arahku. Sosok kuntilanak itu langsung terbang melintas begitu tahu lariku hendak menyerbunya.
Kutubruk pintu gubuk. Kulihat ibu memandangku nanap di samping dipan, lalu ia bangkit untuk mengangkat lampu teplok dan mendekatkannya ke wajahku.
"Timun. Ada apa to?"
Kutimbang pertanyaan ibu sejenak, lalu kepalaku menggeleng.
Tiba-tiba ia menarik lenganku, lantas dengan gerakan cepat memalang pintu. Aku duduk di dipannya, kemudian ia mengikuti di sampingku.
Aku merasa ibu menunggu sesuatu. Rautnya tidak sabar membuat mulutku terbuka. Tapi aku tidak tahu ingin berkata apa. Entah perkara bapak, timun dan danawa, kuntilanak, atau suara pepohonan rubuh yang kudengar di perjalanan pulang tadi. Tapi kurasa ia akan senang kalau mendengar pilihan terakhir.
"Tadi Timun mendengar banyak pohon rubuh saat pulang, pasti banyak sekali sengon yang ambruk karena hujan. Besok kita bisa dapat banyak kayu bakar untuk masak gethuk, Bu." Usahaku melambankan degup jantung.
Seperti dugaan, wajah ibu langsung semringah begitu mendengarnya. Hanya sebentar. Raut sangsi kembali, serta-merta ia berkata, "Ibu rasa tidak. Itu peringatan. Dahulu suara-suara serupa juga pernah terdengar. Tapi esoknya, setelah orang-orang berduyun-duyun mencari arah suara itu berasal, tidak ada satu pun dari mereka yang menemukan pohon tumbang." Remang-remang aku bisa melihat maniknya kosong menatap api. "Kamu mencium aroma cemara?"
Aku mengingat lagi baunya, dan kurasa memang benar itu wangi cemara. Aku mengangguk.
Ibu menghela napas berat. Lalu menautkan jemarinya pada jemariku. Mataku bertubrukan dengan iris berselubung getir milik ibu.
"Berapa usiamu sekarang, Timun?"
"Satu hari sebelum tujuh belas, Ibu."
Mata ibu memejam sebentar, kemudian menghembus napas. "Jika kamu sudah bangun besok, segera larilah ke arah busut itu. Kamu akan menemukan sekantung pusaka yang ibu pinjam dari pertapa di busut Gandul. Gunakan sebaik-baiknya, Timun. Karena saban hari makhluk itu datang menagih utang, Tuhan menakdirkan semesta tuli. Tidak ada yang mendengarmu, Timun, termasuk ibu. Hanya kamu dan sang pencipta yang dapat melihatnya. Jangan sampai kamu dilalap takut. Kalau kamudengar suara pohon rubuh dan suaraku, jangan dihirau, Timun. Itu semua tipuan. Tetap berlari. Nalurimu akan tahu harus berbuat seperti apa. Jika sudah sampai kamu di kaki busut, naiklah.
"Sembunyikan tubuhmu di antara tumbuhan pandan dan tutupi tubuhmu dengan daun pisang. Jangan keluar sampai aroma cemara kipas sirna. Berjanjilah untuk kembali dengan selamat sebagaimana ibu telah berdoa. Ibu tidak akan menyerahkanmu pada makhluk buruk rupa."
"Kembalilah kamu harta sejati ibu."
Cahaya api membayangi tidurku malam itu. Aku takut terlelap. Tapi tidak ingin terbangun. Karena paginya, sama sekali tak kulihat ibu.
Ucapannya terngiang. Aku cepat-cepat berlari menjauh dari gubuk. Tubuhku gemetar entah mengapa. Terdengar pohon di belakangku rubuh, kudengar serak ibu juga bersuara.
"Mbok Rondho! Aku datang menagih janji kita akan cinta sejatiku yang kau bawa. Tiga belas tahun. Kembalikan utangmu, sudah pantas usianya untuk kunikahi." Suara itu menggema sebelum ibu bersuara.
"Benahi dulu rupamu, Danawa! Putriku telah pingsan karena takut. Tidak cukup wangi cemaramu menariknya kalau tampangmu seperti hendak memakannya."
"Lancang! Kamu tidak tahu bagaimana cinta sejati bekerja, Mbok Rondho! Dia harus mematahkan kutukanku.
"Kamu mengakuinya, Danawa! Itulah sebabnya kamu tidak pernah melihat pantulan rupa burukmu. Pantas kalau nanti Timun kabur begitu melihatmu!"
"Baiklah, akan kutunggu sampai ia bisa melihat rupaku seutuhnya. Kalau benar ia berlari dariku, tentu akan kumakan saja Timun Mas bulat-bulat. Ingatlah, empat tahun lagi, Mbok Rondho! Tidak akan bisa mencegahku memilikinya. Karena kamu telah melanggar janji, matamu akan buta saat hari itu tiba. Jika Timun Mas lari, artinya dia sama bodohnya pasal cinta sejati."
Aku terjatuh dan kepalaku terantuk kayu. Pandanganku berputar saat terbangun. Petanda macam apa yang Tuhan sampaikan. Hingga hal serupa terjadi, sama sekali tak kujumpai wajah ibu.
Bambu di sekitarku bergetar. Aku merasakan gempa. Suara pepohonan patah terdengar nyaring, bersamaan aroma cemara kipas menguar. Ucapan ibu terngiang. Aku cepat-cepat berlari menjauh dari gubuk. Menembus selimut kabut, mulai kunaiki kaki busut.
Agak jauh dari lembah, aku berbalik. Dan aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Sosok buruk rupa setinggi pohon pinang tengah mengejarku. Muka busuk, kaki besar, rambut gimbal, hidung besar dengan mata sebesar buah kelapa. Aku yakin bahwa ada puluhan pohon cemara kipas tumbuh rendah di atas punggungnya, karena kulihat danawa itu berjalan membungkuk. Sementara makhluk menyerupai kuntilanak berseliweran di sekitarnya. Banyak sekali. Sampai kakiku gemetar dan ambruk di tengah rimbun tanaman pandan. Aku menemukan daun pisang, kututupi tubuhku olehnya.
Pepohonan di sekitarku seperti mulai rubuh satu persatu. Aroma segar daun pandan menutup aroma cemaranya. Perutku panas seketika aku meringkuk. Ada kantung-kantung kusam mengganjal di sana.
Makhluk buruk rupa itu semakin mendekat. Saat mata hijaunya menemukanku, muncul keinginan untuk melemparinya sesuatu. Kutimang kantung dari yang paling ringan, dan kulempar sekuat tenaga. Lalu bersembunyi lagi di balik daun pisang.
Tak kusangka sedetik kantung pertama mengenainya, sebuah hutan bambu muncul tiba-tiba. Tapi danawa cemara berhasil melewati benteng yang kubangun. Bambu-bambu kalah. Lengannya tergores, kakinya tertusuk, namun ia masih tak berhenti mematahkannya.
"Itu ulahmu, Timun Mas?"
Tubuhku dibanjiri keringat dingin. Aku menimang kantung kedua -- lebih ringan dari kantung lainnya.
Danawa mengelak, lantas akar-akar hijau menjulur dari dalam kantung. Sepersekian detik tumbuhan aneh melilit tubuhnya, tumbuh lebat buah menyerupai timun hijau. Danawa makan hingga ke sulur-sulurnya. Aku begidik dan bangkit dari tempat persembunyian. Ia menyadari keberadaanku.
"Tunggu! Jika tak bisa mencintaiku, tolong sehari saja kita menikah. Dan setelah kutukannya patah, kamu bisa menceraikanku."
Jangan dihirau, Timun.
Dengan buru-buru aku lari dan melempar kantung ketiga yang lebih ringan dari satunya. Dari kejauhan, aku hampir bisa melihat air menyembur dari dalam kantong. Lembah meluapkan air, danawa telah tenggelam. Namun saat aku berhenti, tanah di bawahku mendadak terguncang. Tubuhku terperosok, berguling hingga ke kaki bukit, kemudian terjungkir tepat di depan danawa mengenduskan hidungnya pada kepalaku. Ia mengerang. Dan aku tidak punya pilihan lain selain melempar kantung terakhir.
Masuk ke dalam mulutnya!
Sesaat sunyi menulikan, sebelum danawa berteriak seram kala kantung itu membakar lidah. Aku memacu kaki untuk kembali ke puncak. Sementara makhluk itu terus kebingungan terkobar api. Kakiku lemas. Tak kuasa memandangi danawa kesakitan.
Petir menggelegar. Danawa tersambar. Keberadaannya lenyap dari pandangan. Digantikan pemuda yang terlentang malang, terpejam, sama sekali tak buruk rupanya.
Aroma cemara menguar. Jantungku sakit. Tak kuasa menahan tangis.
"Apa yang harus kulakukan? Aku membunuh cinta sejatiku."
"Sudah kubilang, Timun. Ibumu sangat menjaga harga dirinya. Hatinya dipenuhi kutukan kematian suaminya." Aku menoleh, menemukan Pakdhe berada di sampingku. "Dan kamu menurutinya."
Tangisku kembali pecah. Aroma segar cemara kipas menguar.
-selesai-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro