Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Si Tukang Kibul

Aku duduk di atas batu. Meraut batang pohon dengan sebilah kapak yang nanti kugunakan untuk berburu. Setelah makan siang, aku akan pergi mencari kayu bakar dan daun kering sebagai bahan bakar api unggun. Di saat malam, aku akan tidur—meski sebagian orang beranggapan aku tengah berkeliaran. Membunuhi orang-orang di desa.

Selama tujuh belas tahun pengasingan, aku hanya makan tumbuhan dan hewan buruan. Tak sekalipun menginjakkan kaki pada desa yang dulu aku tinggali. Orang-orang tak lagi mengenaliku. Terlebih mereka mengusirku. Menuduh sebagai pembunuh anak dari bupati di desa mereka.

Karenanya, selama itu pula aku sendirian. Tapi seorang petapa pernah mendatangiku suatu hari. Memberikan satu biji timun yang dia bilang akan melahirkan teman hidupku nanti; seorang istri. Seperti kisah Lutung Kasarung, aku berharap keajaiban datang. Tapi, kusadari bahwa aku tak mungkin menjaganya. Tak hanya nihil pengalaman bertani, aku pun tak mengerti bagaimana membesarkan seorang bayi.

Jadi, kusimpan biji itu, hingga seorang wanita tua muncul. Untuk beberapa waktu, aku menyelidikinya. Meyakinkan diri bahwa dia pantas membesarkan calon isteriku. Pada akhirnya aku tahu, orang-orang memanggilnya Mbok Srini. Dia tinggal seorang diri di sebuah gubuk di tepi hutan. Suaminya telah meninggal. Tapi aku tidak tahu kenapa dia memilih tidak menikah lagi. Nanti kalau aku tanya aku dikira tetangga kurang kerjaan.

Suatu malam, aku berdiri di antara pepohonan, menatap rumah Mbok Srini dan melihatnya keluar rumah. Berkata padanya bahwa aku memiliki anak yang dia idamkan. Tak lama, dia muncul dari pintu anyaman bambu gubuk reotnya, berjalan ke arahku yang tersembunyi di dalam bayang-bayang dedaunan hutan. Sebelumnya, aku meletakkan bungkusan di bawah siraman cahaya bulan, karena itu Mbok Srini dengan mudah menemukannya; sebuah biji timun berwarna emas di dalamnya.

Aku melihat binar matanya. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Apakah terbersit untuk menjual bibit itu agar menjadi kaya atau menanamnya? Tapi aku tidak mau mengambil risiko. Jadi, aku muncul di belakangnya. Dia membeliak. Berteriak.

"Ampun Tuan Raksasa! Jangan memakanku! Aku masih ingin hidup!"

Mendengar hal ini, aku terbahak. Karena aku besar, apakah berarti aku kanibal? Aku hanya manusia yang kebetulan dikutuk jadi raksasa—karena terlalu sering berbohong. Rasanya dituduh seperti ini terasa menjengkelkan. Kalau begitu aku berpura-pura saja sekalian.

"Aku tidak doyan kau, Wanita Tua! Dagingmu alot, kulitmu kisut, dan kau tidak punya lemak. Pasti tidak enak. Karena itu, aku memberimu biji timun itu. Tanamlah, dan jangan berpikir untuk menjualnya. Ketika besar, dia akan berbuah. Jika kau menemukan seorang anak lahir darinya, rawat dia. Kalau tidak, aku akan membunuhmu!"

Si wanita tua itu gemetaran. Tapi dia mengangguk patuh karena ketakutan.

"Tapi ingatlah. Di saat umurnya sudah tujuh belas tahun aku akan datang mengambilnya sebagai santapan."

Setelah itu aku pergi. Menghilang di antara pohon-pohon besar di hutan.

Sejujurnya, saat itu aku berpikir bahwa mustahil wanita renta itu percaya. Coba pikir saja, buat apa aku menunggu tujuh belas tahun untuk makan manusia? Aku bisa mati karena puasa. Lagi pula, ada banyak manusia di desa, buat apa pula aku menunggu begitu lama?

Meskipun begitu, aku datang tujuh belas tahun kemudian. Saat kakiku yang besar menjejak jalanan hutan, wajahku yang buruk rupa—aku tidak bohong saat ini—membayangkan calon isteriku, segera pipiku bersemu.

Namun sesampainya di sana ...

"Hey, WanitaTua, keluarlah! Aku datang untuk menagih janjiku!"

Dan wanita itu keluar. Dengan takut-takut ia berkata, "Tuan Raksasa, Timun Mas sedang sakit hari ini. Rasanya pasti tidak enak. Datanglah kemari seminggu lagi."

Oh, namanya Timun Mas. Tapi kemudian wajahku berkerut. Benarkah? Aku ingin bilang aku ingin menjenguknya. Tapi mungkin nanti dia akan mati mendadak karena melihat tampangku yang menyeramkan. Lagi pula, tubuhku tak muat masuk ke dalam pintu rumahnya. Bisa-bisa roboh nanti jika aku memaksa. Tapi omong-omong, serius dia percaya bualanku itu?

"Baiklah. Jaga dia baik-baik. Tapi aku akan datang satu minggu lagi."

Sesuai perjanjanjian, aku datang lagi. Kali ini, calon isteriku muncul. Dia adalah gadis berwajah kecil, berkulit cokelat dan bermata cantik. Tapi anehnya, dia memakai celana. Tunggu dulu! Calon isteriku bukan laki-laki, 'kan? Jadi kutatap dadanya. Di balik lilitan kemben yang usang itu, terdapat sepasang buah dada. Syukurlah, meski kecil yang penting punya. Lalu aku mesem-mesem sendiri seperti orang gila.

"Baiklah, Timun Mas, hari ini kau harus berpisah dengan Wanita Tua itu dan ikutlah denganku!"

"Tunggu dulu!" seru Mbok Srini. "Untuk terakhir kali, bolehkah aku memeluknya?"

Aku menghela. "Ya."

Dan mereka pun berpelukan. Tapi lamat-lamat kulihat mereka saling berbisik. Mataku menyipit. Mereka tidak sedang merencanakan sesuatu, 'kan? Sebenarnya, itu hanya dugaan, tapi aku tidak tahu bahwa kejadian buruk akan benar-benar menimpaku kemudian.

Timun Mas yang kini telah berpisah dengan Mbok Srini kubiarkan berjalan di depan. Kejadian tadi membuatku khawatir kalau dia akan kabur. Tapi meskipun begitu, toh dia tetap berusaha kabur. Dia berlari dan aku mengejar. Tentu saja kakinya yang kecil tak mungkin mengalahkan langkahku yang lebar.

Namun, dalam aksi kejar mengejar itu, tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Oh ya, ternyata karena itu dia tidak memakai kain jarik! Dan tiba-tiba, ia melempar sesuatu ke belakang. Bijian-bijian yang dalam sekejap menumbuhkan sulur-sulur. Melilit kakiku dan berusaha menghentikanku. Tapi yang benar saja, aku tidak akan mungkin berhenti karena tumbuhan timun!

Aku tertawa-tawa heboh. Dan karena langkahku pula, bumi berguncang-guncang. Ayolah, tak usah jatuh. Kepleset pun tak apa Timun Mas, agar aku bisa menangkapmu. Namun yang terjadi selanjutnya dia malah melemparkan sesuatu lagi. Sepertinya itu jarum, dan mendadak rerimbunan pohon bambu muncul. Oke, kali ini sejujurnya cukup sulit. Ranting-rantingnya tajam. Tak ayal tubuh bagian atasku yang telanjang banyak tergores.

Sejujurnya, pohon-pohon bambu itu cukup menghambatku. Timun Mas sudah cukup jauh di depan. Aku tidak yakin bahkan jika berteriak apa suaraku bisa sampai padanya? Padahal aku ingin menjelaskan niatku. Kenapa dia berbuat begini kejam pada calon suaminya?

Dan di saat aku berlari tunggang-langgang mengejarnya, tiba-tiba saja aku terpeleset. Tubuhku yang besar tercebur ke dalam lumpur yang lengket. Jangan tanya, bangun pun susah sekali rasanya. Sekarang, yang bisa kulihat hanya angkasa.

Hey, Timun Mas, kamu pergi ke mana? Datang ke sini sebentar. Aku ingin menjelaskan semua padamu. Aku menyesal membual pada ibumu yang bodoh itu. Aku tidak menyangka dia akan pecaya. Dia jual otaknya di mana? Atau, dia pura-pura percaya?

Ya sudah, biarlah Timun Mas pergi sekarang. Aku pura-pura mati saja. Mungkin dia masih merasa berat meninggalkan ibunya. Toh, lain kali aku bisa datang lagi ke rumahnya. Aku cuma berpikir, apa mereka tidak kepikiran buat pindah saja? Kenapa juga menunggu tujuh belas tahun untuk melakukan hal-hal konyol seperti ini? Wah, aku bingung mereka keterlaluan pintar atau ketololannya di luar kadar.

-selesai-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro