Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Candrasa Baratayuda

"KAKANGMAS ANTASENA!" suara berintonasi tinggi milik seorang remaja laki-laki memecah keheningan kompleks istana Madukara. Sesosok pemuda yang memiliki raut tengil berlarian di halaman berlapis paving block berwarna kelabu. Mahkota kesatrianya hampir terjatuh karena gerakan lari yang diselingi berlompatan layaknya anak kelinci.

"Kakangmas Antasena!!!" Pemuda itu berseru sekali lagi. Kali ini lebih nyaring, lebih memekakkan telinga. Burung-burung jalak yang tadinya hinggap di waringin sangkeran di sekitar pagar istana berterbangan menjauh, terkaget dengan adanya huru-hara suara yang datang dengan tiba-tiba.

Sementara itu, Antasena, objek pemanggilan si pemuda bersuara nyaring akhirnya menoleh. Ekspresinya kesal. Jelas sekali aktivitasnya sedang tidak ingin diganggu.

"Ada apa, dhi?"

"Begini kakang, aku mau minta bantuan."

Antasena mengernyitkan alis. Jarang sekali Wisanggeni yang mengklaim diri sendiri sebagai anak cerdas dan cerdik itu meminta bantuan pada orang lain.

"Bantuan apa, Wisanggeni?" Antasena heran. Tidak biasnya, adik sepupunya yang satu ini meminta bantuan, terlebih pada Antasena. Pasalnya, dialah yang selalu memberi solusi-solusi brilian terhadap masalah-masalah yang dihadapi saudara-saudaranya. Pada saat polemik batalnya pernikahan sang kakak Bratalaras, misalnya. Kala semua orang kalut akan murka dan sesal, hanya Wisanggeni yang mampu berpikir di luar kotak, lantas memberi penyelesaian cerdik nan membuat Arjuna terkagum.

Nah, hari ini adik sepupunya itu sampai berlarian mengejarnya. Antasena bertanya-tanya. Masalah macam apa yang menyebabkan adiknya itu tak mampu menyelesaikannya sendiri hingga meminta bantuan?

Apakah dunia mau kiamat dan Wisanggeni mencoba menghentikannya seorang diri?

Antasena bergidik ngeri. Pasti. Pastilah masalah sebesar itu.

Melihat kakak sepupunya yang termangu, Wisanggeni menjentikkan jari, "Kangmas, sudah dengar tentang perang yang mau meletus, kan?"

"Ada apa dengan itu, dhi?"

"Aku mau meminta restu dari Sang Hyang Wenang, mas, sekalian minta wejangan buat persiapan perang. Mas mau ikut ke kahyangan Alang-Alang Kumitir?"

***

Semua orang tahu, Wisanggeni punya catatan kriminal yang berbeda dari anak-anak Pandawa lain. Terlebih, peringai para putra Arjuna yang terkenal akan kesantunan dan wibawa mereka yang selalu dijunjung tinggi membuat sosok Wisanggeni yang begitu 'berbeda' langsung dikenal oleh khalayak. Perjalanannya mencari kedua orang tua diawali dengan peristiwa yang akan senantiasa diingat para dewata : amukan si bocah bara yang membabi buta.

Semua kisah itu bukan bermula dari ketiadaan. Ada api, ada bara. Meski Wisanggeni tak mewarisi kelemah lembutan ibunda serta halus tata krama sang ayah, dia tak mungkin bertindak tanpa adanya alasan yang kuat.

Wisanggeni merupakan sesosok manusia yang rupawan. Sang ayah adalah putra Prabu Pandhu yang tersohor di seluruh negeri, Raden Arjuna, saudara ketiga Pandawa yang terkemuka. Sedangkan sang ibu adalah seorang bidari jelita dari kahyangan Jonggring Saloka, Batari Dresnala. Pernikahan itu mengalami kepelikan : Batara Guru menghendaki untuk memisahkan keduanya dan menginginkan Dresnala menikah dengan pria lain, Dewasrani, cucu dari Batara Guru. Dresnala yang tengah hamil tua, diminta menggugurkan janin yang telah tujuh bulan ia kandung. Tentu, tak sampai hati sang ibunda melakukan itu. Ia mencintai suami dan anaknya, maka Dresnala melakukan segala cara untuk menyelamatkan keluarga.

Walau pada akhirnya bayi itu dapat terlahir, Batara Brama—ayah Dresnala—atas perintah Batara Guru membuang jabang bayi itu ke kawah candradimuka, berharap kematian meregangkan nyawa dari raga. Batara Narada—penasihat Batara Guru—yang memihak Arjuna, diam-diam mengeluarkan Wisanggeni kecil dari dalam kawah untuk selanjutnya diberikan dalam asuhan Sang Hyang Wenang di kahyangan Alang-Alang Kumitir.

Ketika ia beranjak dewasa dan mengetahui asal-usulnya, rasa marah di dalam dirinya menggelegak bak api yang membara. Wisanggeni lantas menyambangi kahyangan Suralaya dan menumpahkan amarah di teritori Batara Guru tersebut. Lepas memberi pelajaran pada para dewata, Wisanggeni turun untuk mencari ayah dan ibunya. Dari sanalah ia bisa bertemu dengan saudara-saudara satu ayahnya, juga dengan Antasena, salah satu sepupunya.

Karena Baratayuda—perang antara Pandawa dan Kurawa—adalah peperangan besar, Wisanggeni merasa ia harus meminta nasihat pada orang yang telah mengasuhnya selama ini. Alasan untuk mengajak Antasena tidak lain karena dialah satu-satunya putra Pandawa yang memiliki kesaktian setara Wisanggeni. Kekuatan yang besar harus diikuti dengan kebijaksanaan. Wisanggeni ingin dia berperan dalam kemenangan para Pandawa nantinya. Kalau bisa, berduet dengan Antasena seperti cara mereka bertarung seperti biasa, pasti akan sangat menyenangkan.

Sang Hyang Wenang memang mendengarkan permintaan Wisanggeni dengan tenang. Tetapi, apa yang mereka dapatkan kala menghadap di kahyangan Alang-Alang Kumitir tak seperti yang keduanya harapkan.

"Wisanggeni anakku," netra Sang Hyang Wenang menatapnya lekat, "tiada tempat bagimu dalam carita Baratayuda, nak."

***

"Perang akan meletus sebentar lagi, ya?"

Para putra Arjuna memiliki kebiasaan untuk rutin berkumpul di suatu tempat. Bila ada suatu problematika pelik, mereka akan bersama mencari solusi. Tetapi seringkali, perkumpulan itu terjadi dengan tujuan yang jauh lebih sederhana : bertegur sapa sesama saudara, bercengkerama bersama.

Tadinya, Wisanggeni berharap pertemuan kali ini akan menjadi tempat untuk bertukar cerita. Atau, bila memiliki kesempatan, ingin ia meminta pendapat pada saudara-saudaranya tentang titah Sang Hyang Wenang yang baru ia terima. Namun, harapan itu sudah pupus sebelum Wisanggeni menyetir arah pembicaraan. Abimanyu, kakaknya yang tertua, mengangkat topik yang mati-matian Wisanggeni hindari.

"Para Kurawa takkan berhenti, kakangmas." Sahut Bratalaras, "Ayah dan paman-paman kita telah banyak menerima ketidakadilan dari paman-paman Kurawa. Perang ini adalah puncak dari semua peristiwa yang telah terjadi."

"Kebajikan melawan angkara, ya?" Tambah Sumitra, "tentu saja hal semacam ini akan terjadi."

"Paman-paman Kurawa tidak akan berhenti sebelum seluruh keturunan Pandawa musnah 'kan? Itu berarti tidak ada alasan untuk tak meladeni genderang perang yang mereka tabuh." Bratalaras mengangguk. "Pihak kita juga punya kesatria-kesatria perkasa yang setanding dengan para raksasa itu, kan? Pakdhe Werkudara, contohnya. Atau kangmas Gatotkaca."

"Lho, kita kan juga punya Wisanggeni!" Irawan menyikut Wisanggeni yang tengah melamun, membuatnya terkaget, "Wisanggeni dan Antasena, duo kita. Gatotkaca dan Antareja, sepupu kita."

Ruangan menjadi riuh karena Wisanggeni mendadak menjadi sorotan. Hal itu membuatnya canggung dan tak bisa menanggapi semua pujian itu dengan baik. Abimanyu mungkin menyadarinya, karena itu si sulung membawanya keluar ruangan dengan dalih ingin membahas hal penting.

"Dhi, ada apa? Apakah ada hal yang mengusikmu?" Tanya Abimanyu khawatir.

Seketika, perkataan Sang Hyang Wenang berdentu-dentum dalam kepala Wisanggeni, seakan membenarkan situsi saat ini.

"Kalian berdua, anak-anakku, tidak diperlukan dalam carita Baratayuda."

"Mengapa seperti itu, Guru?" Protes Wisanggeni saat itu, "Saya yakin, saya dan Antasena justru adalah penyokong kuat d pihak Pandawa! Kami diberkahi kekuatan dari para Batara, sebuh nilai plus untuk melawan paman-paman Kurawa, 'kan?"

Tadinya, Wisanggeni tak mengerti. Ada api yang tiba-tiba tersulut begitu Sang Hyang Wenang berkata bahwa dengan kehadirannyalah Pandawa akan mengalami kekalahan. Bagaimana bisa masa depan justru menjadi paradoks berkebalikan?

"Anakku, ini adalah perang kebajikan melawan angkara." Wisanggeni masih ingat bagaimana Sang Hyang Wenang mengelus kepalanya, penuh pengertian. "Sedangkan kalian adalah anugerah dari dewata."

Ah, rasanya Wisanggeni ingin menangis sekarang.

Ditatapnya Abimanyu yang masih memandangnya khawatir. Maaf, ya, kakang. Aku tidak bisa membantu, meski aku ingin bertarung di sisimu dan saudara-saudara yang lain.

"Tidak apa-apa mas," dusta Wisanggeni, "hanya saja, besok aku dan kangmas Antasena mau ke kahyangan Alang-Alang Kumitir untuk menemui Sang Hyang Wenang. Kurasa aku hanya sedikit gugup mas, hehe."

Karena aku tidak akan kembali.

"Begitu," Abimanyu mengangguk-angguk, "Syukurlah."

***

Tidak ada yang tahu di mana gerangan dua kesatria Pandawa yang memiliki kesaktiantiada tanding. Tiada yang melihat jejak-jejak Wisanggeni, Putra Arjuna dan Antasena, putra Bima di mana pun. Keduanya seakan bersembunyi ke dalam perut bumi—menggunakan salah satu kesaktian Antasena, amblas bhumi. Tetapi, semua itu terjawab tatkala Semar datang dan memberi kabar mengejutkan dari kahyangan Alang-Alang Kumitir.

"Wisanggeni dan Antasena telah melakukan moksa secara mulia, sebagai tumbal kemenangan Pandawa dalam Baratayuda."

-selesai-

Note : karakter Wisanggeni hanya ada dalam pewayangan Jawa, dia tidak tertulis dalam Mahabharata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro